"Kami tidak akan kembali."
"Daripada kau kebingungan seperti itu, Ramuda, saranku kau tanyakan langsung pada orangnya."
"Terus mengemis-ngemis perasaan biar hubungan kami seperti dulu lagi, begitu? Ew. Hidupku tidak seperti roman dalam ceritamu, Gentaro. Klise."
"Klise ada karena nyata, lho."
"Peduli setan."
"Kau sama sekali tidak manis,"
"Itu nyata, lhooo."
"Profesimu kan membuat hal-hal yang manis, gaun pengantin, misal."
"Jangan bawa-bawa profesiku,"
"Siapa tahu kau bisa sadar diri."
Apa sekarang? Mengumpat di depan Yumeno Gentaro dan melemparinya delik paling sinis? Ramuda meloloskan dengus samar, diselip cibir kecil, lalu memutar kedua bola mata. Sedikit menyesal karena ia mau-mau saja menghabiskan jam istirahat siang untuk bertemu penulis muda itu di kafe terdekat gedung kantor, tapi Ramuda juga tahu ia harus merasa berterima kasih karena waktu sibuk Gentaro-sensei rela disisakan untuknya.
"Kau cuma takut."
Alis Ramuda menukik tinggi, tidak lama sebelum turun kembali, dan pada saat itu pula ujung jemari yang sedang sibuk memutari lingkar bibir cangkir berhenti sesaat. Gentaro memberinya sorot mata dan garis senyum yang tidak mudah Ramuda tebak, tapi ia juga tidak akan memaksakan diri. Tidak akan ada yang menduga kalau penulis terkenal macam Yumeno Gentaro rupanya pandai bermain provokasi.
"Aku tidak takut," balas Ramuda akhirnya. "Cuma tidak ingin berekspetasi tinggi."
"Kedengarannya bukan Ramuda sekali,"
"Oh, diamlah, bicaramu seperti tokoh-tokoh pendukung protagonis di cerita romantis."
"Begitulah." Bahu Gentaro berkedik lugas. "Makanya aku tidak terlalu senang menulis cerita romantis. Kau tahu, hati manusia itu terlalu banyak teka-teki, lebih sulit dipahami daripada menemukan pelaku pembunuhan."
"Aku ke sini bukan untuk dengar curhatanmu, ew."
"Terus kenapa minta bertemu?"
"Kebetulan ada waktu?"
"Hei, aku ini orang sibuk."
"Sombongnyaaa."
"Tanyakan langsung orangnya."
Ramuda berdecak. Tidak berpikir basa-basi di antara mereka berakhir secepat ini, Gentaro memang selalu bisa mengalihkan topik pembicaraan.
"Hasilnya tidak akan berubah, Pak Tua itu tetaplah Pak Tua yang aku kenal."
"Kau kan belum coba bertanya."
"Jinguji Jakurai—"
"Sampai kapan pun kau tidak akan tahu kalau tidak mencoba, Ramuda."
"Kenapa kau yakin sekali?"
"Kenapa harus merasa tidak yakin?"
"Yakin terhadap suatu hal itu tidak bisa dihitung presentase kemungkinan terjadinya."
"Kalau tahu kenapa masih bertanya?"
"Gentaro menyebalkan, amat sangat sangat sangat menyebalkan."
"Sama-sama, senang jadi tempat keluh kesahmu, Ramuda-chan."
~0.0~
Ramuda tidak benar-benar pulang dengan membawa hasil kosong.
Usai menghabiskan jam istirahat dan kembali ke kantor, kembali ke tumpukan rancangan juga gaun warna-warna mencolok dan tentu saja, celotehan Hifumi atau debat tak penting Dice, ucapan Gentaro kerapkali membayangi kepala Ramuda. Bahkan menimbulkan pertanyan-pertanyaan lain; kenapa ia tidak yakin tetapi Gentaro merasa sebaliknya. Kenapa ia tidak mencoba seperti yang dikatakan Gentaro. Kenapa ia harus merasa takut. Kenapa ia harus seperti ini. Kenapa ia merasa takut. Kenapa ia tidak mencoba. Kenapa harus takut—dear, sekelumit kerumitan bodoh ini membuat Ramuda mulai mempertanyakan kewarasannya sendiri.
Hati manusia penuh teka-teki, ungkapan menggelikan dan hiperbolis, tapi bukan berarti tidak benar. Konyol juga rasanya Amemura Ramuda yang tidak pernah memikirkan hal detail semacam hati, mau sedikit mengakui pernyataan yang beberapa saat lalu Gentaro katakan.
Pertanyaan-pernyaan itu belum hilang ketika Ramuda mengucapkan selamat malam ke seluruh rekan kerja dan keluar gedung, pukul setengah sebelas terhitung jam lembur, teringat kalau perutnya belum diisi lagi dan kini kembali merengek. Kemudian ia berpikir apakah stok bentou di konbini barangkali masih tersisa sebelum kemudian lamunan Ramuda buyar oleh pekik nyaring; tolong, lepaskan, jangan mendekat—lalu konklusi jatuh pada suara wanita. Ramuda spontan memutar langkah, tidak jadi mengambil rute yang biasa dilewati dan berhenti di antara gang-gang sepi berhimpit dinding tinggi, berbatu bata lumut, lembab dan titik-titik genangan air. Satu orang wanita seperti dugaan Ramuda, dua lelaki asing, satunya berhidung bengkok dan satunya lagi berkuping piercing dan itu mengganggu. Ssh, coba diam sebentar nona manis, tidak akan lama kok, si hidung bengkok berucap dimanis-maniskan, satu tangannya bermain di sekitar paha si wanita sementara yang lain menahan pergelangan tangan.
Ramuda berdeham pelan, lalu, "Yahooo, selamat malam niisan-tachi~ Boleh aku ikut bergabung?"
Selintas ia sempat bertanya-tanya apakah Gentaro perlu adegan heroik menyelamatkan sang protagonis dalam naskah novelnya sebelum kemudian Ramuda melesat cepat dengan tangan terkepal.
KAMU SEDANG MEMBACA
saudade [jakuramu]
FanfictionJakurai menanti, Ramuda belum mampu menerima kembali. [Hypnosis Mic. Jinguji Jakurai x Amemura Ramuda. Cover by me]