enam

509 75 6
                                    

Itu adalah malam yang larut, pukul dua belas, teng, ketika Ramuda dikejutkan oleh pintu yang terbuka agak kasar (kalau tidak ingin disebut mirip dobrakan) dan figur tinggi Jinguji Jakurai berderap keluar dengan keadaan yang tidak pernah ia sangka.

Jakurai mengikat rambutnya yang panjang itu dengan gaya ponytail, banyak helai jatuh melewati telinga dan pipi, pipi dengan semu sewarna apel, fokus ke sana kemari pada binar mata, sinis sekaligus tajam, tapi juga sulit untuk ditebak dan garis senyum yang dia torehkan.

"Pulang malam lagi, Amemura-kun, kebiasaan ha ha ha,"

Bahu Ramuda menegang. Oh, tidak. Jangan Jakurai yang ini.

"Tidak baik, lho, pulang malam-malam begini, huuu."

Mata dipicingkan. "Kau mabuk," tandas Ramuda jengah. Diburu panik sewaktu mengeluarkan kunci dari dalam ransel sembari merapat ke pintu apartemen miliknya. Berurusan dengan Jakurai yang ini sangat tidak baik. "Kau mabuk, demi Tuhan," ulangnya sekali lagi, "jadi jangan dekat-dekat—APA-APAAN KAU! DASAR CABUL!"

Panik, panik, tak mengira Jakurai akan gesit menarik kedua bahunya, menarik tubuh Ramuda dan menenggelamkannya dalam satu pelukan erat, sangat erat hingga hidung membentur dada dan Ramuda kesulitan bernapas. Kunci terjatuh lalu Ramuda meronta, satu dua pukulan melayang ke punggung Jakurai, entah berpengaruh atau tidak. Ramuda siap memberikan cubitan di pinggang pria itu, tapi siapa yang akan menduga jika satu kecupan singkat yang mampir di keningnya lantas menghentikan segala gerik dan ronta Ramuda. Dari kening pindah ke puncak kepala, kekeh renyah, renyah sekali, dan ditutup kecup ringan pada tulang mandibula bagian kanan. Nyaris menyentuh bibir sebelum akhirnya kepala Jakurai memberatkan bahu Ramuda.

"Kau mabuk," cicit Ramuda, mengulang sekian kali, untuk segala kesadaran yang masih ia pertahankan. "Sudah tahu toleransi alkohol rendah, masih saja bandel." Ia menerima balasan berupa gumaman, hm hm yang panjang, Ramuda menepuk kening dengan keras. "Dokter macam apa kau ini, Jinguji Jakurai bodoh."

"Temani aku malam ini," masih dalam gumaman, dari Jakurai. "Sebentar juga tidak apa-apa."

"Seperti aku sudi menemani orang mabuk,"

"Ayolaah, tadi aku cuma diberi buah tangan sake usai kunjungan rutin, kalau mau ambil di apartemenku saja."

"Tidak, terima kasih. Sekarang berdiri yang benar, kau ini beraaaaat!"

"Makanya," tawa sengau. "Temani aku malam ini, hm, hm."

"HEI, HEI! Jangan menggosok hidungmu di leherku!"

"Cih, titik sensitifmu tidak pernah berubah, Amemura-kun. Manisnya."

"SINTING!"

Ramuda menyerah, dan waktu berjalan sangat cepat selaik kerjapan mata. Seolah ia mendengar tawa Dice dan Gentaro karena melihatnya kesusahan, dengan amat susah payah membopong tubuh tinggi Jakurai yang Ramuda akui (untuk saat ini) perbandingan dengan tubuhnya sendiri begitu jauh. Punggung dan pingganggnya pegal setengah mati, perlu perjuangan ekstra sampai Ramuda berhasil menemukan kamar tidur dan melempar (melempar secara leksikal, bukan dalam makna konotatif lagi) Jakurai hingga menimbulkan bunyi buff halus yang jelas. Tidur yang benar, titah Ramuda ketus, mencoba pergi tanpa meninggalkan jejak atau suara, tetapi kegesitan Jakurai belum sepenuhnya pudar; kelima jemari yang melingkar di pergelangan tangannya itu, kemudian rentatan racau dan membuat kuping Ramuda gatal.

"Jakurai," Ramuda lelah, demi apa. "Lepaaaaaas, aku harus pergi."

"Aku jadi bertanya-tanya,"

Dear, racauan Jakurai mulai parah.

saudade [jakuramu]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang