Chapter 4 | Terlambat

14 3 0
                                    

Jangan lupa vote+komen:)

•••

Di sini Reza sekarang, rumah yang di desain sederhana namun masih tampak mewah, rumah bercat putih bercampur abu-abu dengan pagar yang tinggi menjulang.

Sekarang masih pagi namun seragam sekolahnya sudah tampak awut-awutan, rambutnya yang berantakan tapi malah membuatnya semakin keren di hadapan para kaum hawa. Ia mengendarai mobil berwarna putih yang menjadi hadiah dari orang tuanya saat ia berulang tahun yang ke 17 kalinya.

Ia mendengus sebal. "Lama banget sih tuh anak"

Rutinitas Reza setiap paginya. Menjemput sang mantan terkasih yang leletnya bukan main saat pagi hari. Ia terkadang menunggu hingga 20 menit di dalam mobil atau pun di dalam rumah Fanya.

Pintu pagar terbuka sedikit, menampakkan Fanya dengan penampilan naturalnya seperti biasa. Tampilannya sih natural, tapi mampu membuat Reza tambah mencintainya.

"Lama yah nunggunya?" Tanya Fanya saat sudah berada di dalam mobil Reza.

"Lo pikir aja sendiri" Ucap Reza sewot.

"Ululu, ngambek nih ye" Kata Fanya dengan mencubit gemash pipi Reza. "Daripada ngambek mending makan" Tanpa persetujuan Reza, Fanya menyuapinya dengan roti selai dalam sekali suap.

Uhuk, uhuk,, Reza tersedak karena ulah Fanya. Ia menatap horor ke arah Fanya. Yang di tatap seperti itu hanya menampilkan deretan giginya.

"Lo mau bunuh gue?" Tanya Reza setelah menelan bulat-bulat roti tadi.

"Lo emang mau mati?" Tanya Fanya dengan wajah polosnya.

"Kalau gue mati nanti yang sebut nama lengkap lo di samping penghulu siapa?" Reza menaik-turunkan alisnya sambil menatap Fanya.

Fanya yang mendengar apa yang di katakan Reza barusan cukup terkejut. "Nanti gue cari penggantinya, gue kan cantik" Ucapnya santai kemudian memutus acara tatap-tatapan mereka.

"Ck, ngak ada yang mau sama lo" Cibir Reza.

"Apa lo bilang?!  Cari gara-gara aja!!" Semprot Fanya. Ia melirik jam tangannya, jam sudah menunjukkan pukul 07.20 sepuluh menit lagi bel akan berbunyi dan mereka akan mendapat hukuman karena terlambat.

"ZA! UDAH JAM SEGINI, BURUAN JALAN PE'A!" Ujarnya heboh.

"Lo sih, pake acara ngajak sidang isbat dulu" Tuduh Reza ke Fanya.

"Kok gue? Lo aja yang mulai!" Fanya tak mau kalah. "Cepetan dong, gue gak mau di hukum lagi" Lanjutnya.

"Iya, iya. Bawel banget"

•••


"Mampus, kita telat 'kan" Kata Fanya saat melihat pintu gerbang sudah tertutup rapat, tak ada lagi satpam berkumis tebal yang berjaga. Waktu masuk sudah lewat 10 menit, mau bolos juga nanggung, udah keburu sampai.

"Gara-gara lo sih" Tuduh Reza.

"Kok gue, ya lo lah!" Fanya mengarahkan jari telunjuknya ke arah Reza.

"Jadi gimana? Mau manjat?" Tawar Reza.

"Yakali, gue pake rok" Tolak Fanya.

"Ya terus mau gimana? Bolos?" Tanya Reza lagi. "Manjat aja deh" Lanjutnya.

Ia berjalan mengitari gerbang sekolah hingga sampai di sisi gerbang yang lumayan pendek.

"Mau ikut atau bolos?" Tawarnya ke Fanya.

"Ck, gimana caranya?" Tanya Fanya. Tak mungkin 'kan ia memanjat sementara ia menggunakan rok?, yang ada Reza malah kesenengan.

"Gue naik duluan, terus nanti tarik tangan gue" Finish Reza. Melempar tasnya melewati pagar kemudian mulai memanjat. Ia memanjat dengan lihai, postur tubuhnya yang jangkung memudahkannya dalam urusan panjat-memanjat.

Reza mengulurkan tangannya ke arah Fanya yang diam mematung menatap aksi nekad Reza. Biasanya kalau dia telat ia lebih memilih membujuk pak parjo-- satpam sekolahnya-- dengan berbagai macam rayuan.

"Gue gak bisa, takut" Gumamnya. Entah mengapa pagar sekolah yang tinggi 3 jengkal dari tingginya itu tampak mengerikan.

"Ngak papa, ada gue. Ayo" Reza kembali mengulurkan tangannya ke arah Fanya.

Fanya mengangguk pelan. Dengan terpaksa ia menerima uluran tangan Reza. Ini akan menjadi pengalaman pertama dan terakhir kalinya ia memanjat pagar sekolah.

Reza turun terlebih dahulu kemudian kembali mengulurkan tangannya ke arah Fanya, membantunya untuk turun.

"Gampangkan manjat pagar sekolah, apalagi sama ahlinya" Kata Reza menyombongkan diri. Mereka sudah berada di dalam lingkungan sekolah yang sepi karena proses belajar-mengajar sudah mulai beberapa menit lalu.

"Masuk kelas yuk" Ajak Fanya. Ia menarik tangan Reza agar segera pergi dari sana.

"REZA! FANYA!"

Mendengar suara yang menginterupsi itu membuat mereka berdua terdiam di tempat. Kaki mereka seakan di beri perekat hingga tak dapat melangkah.

"Kalian berdua yah! Telat lagi'kan!" Suara tadi terdengar lebih pelan dari tadi. Fanya mengenal suara itu, sangat kenal.

Fanya dan Reza berbalik menghadap seorang guru dengan postur tubuh ideal, tinggi semampai, rambut hitam pekat sebahu, serta seragam yang pas melekat di tubuhnya.

"Eh ada Bu Rumi" Kata Reza dengan cengiran bodohnya.

"Bu Rumi apa kabar?" Fanya ikut-ikutan bersuara.

Orang yang mereka panggil dengan sebutan Bu Rumi itu menggeleng pelan. Ada-ada saja tingah dua muridnya itu.

"Kenapa telat?" Tanya Bu Rumi tegas.

"Gara-gara ponakannya nih Bu" Tuduh Reza ke Fanya.

Fanya menatap Reza dengan tatapan tajam. Di saat seperti ini mereka masih sempat tuduh-tuduhan.

Bu Rumi, guru BK dengan wajah menawan itu merupakan adik dari Papa Fanya.

"Tante, maaf yah. Gara-gara Reza nih" Adu Fanya.

"Udah-udah. Kalian telat berapa menit?" Tanya Bu Rumi.

"10 menit" Jawab mereka bersamaan.

"Lari keliling lapangan 20 kali" Ucap Bu Rumi dengan tangan yang terlipat di depan dada.

"Hah?! Kok banyak banget sih Bu. Kan cuma telat 10 menit" Protes Fanya.

"Dikali dua, kalian kan berdua" Kata Bu Rumi dengan gaya santainya.

"Yahh Bu, kurangin dikit lah" Kata Reza.

"Ngak, lari sekarang atau Ibu panggilin Bu Rinka?" Ancam Bu Rumi.

"Oke Bu!, 20 putaran. Ayo Za!" Fanya menarik tangan Fanya agar mengikutinya menuju ke arah lapangan yang luasnya melebihi samudera Pasifik. Oke, ini berlebihan.

Fanya lebih memilih berlari 20 putaran bersama Reza daripada harus berurusan dengan guru yang satu itu. Katakanlah ia lebih memilih kalah sebelum perang.

.
.
.
Heyhoo!! I'm back.
Maaf yah kalau ada typo:)

Sya:)

True FeelingsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang