Lebih Dari Selamanya

70 6 3
                                    

"kita adalah kita. Kamu adalah kamu. Dan aku adalah aku. Kamu tak akan sepertiku, dan aku tak akan sepertimu. Karna masing-masing dari kita telah cukup bagi yang lain. Dan aku, tak mau apapun selain kamu."
_-moha kepada kirana-_

    Angin januari menusuk sampai ketulang. Membelai dedaunan di pinggir jalan yang dilalui moha. Lalu menyentuh pipinya, meninggalkan kebekuan yang mengakar.
Suara Khalid mengalun ditelinganya, seolah Khalid hadir disana, menari-nari sembari bernyanyi lagu 'self' miliknya. Dan sesekali menyentuh bahu moha, sesekali lengan, sesekali kaki, lalu seluruh tubuhnya mulai ikut menari. Mengikuti keinginan hati. Suara khalid dan musiknya mengalir kedarah, menggerakan saraf-saraf terkecilnya. Moha hanyut.
    Lagu khalid berakhir, berganti Shawn Mendes dengan 'Particular tastenya'. Moha menjentikan jari dan ikut bernyanyi. Tanpa disadarinya Seseorang mengikutinya sedari tadi. Bukan khalid juga bukan Shawn. Bukan! Tapi dia adalah bintang dilangitnya, dia hamparan bunga dikebunnya, dia kunang-kunang di udaranya. Dia hijau, biru, dia adalah warna. Dia adalah kirana, wanita yang menenggelamkannya. Yang tak membiarkannya melewatkan hari sendiri tanpa kerinduan yang ditanam wanita berperawakan mungil itu dibenaknya. Dia kirana, hal terbaik yang terjadi dihidupnya. Dia kirana, dia segalanya.
    Tangan yang terasa amat kecil itu menyentuh punggung lebarnya. Sudah ditebaknya, dia tahu, tangan itu, dia amat tahu. Moha menghentikan langkahnya, menyambut lengan yang kini melingkar dipinggangnya. Kirana, begitu mungil, terasa akan muat disakunya.
"hari ini, aku merindukanmu mo!" moha melepaskan pelukan kirana. Menggenggam tangan kirana erat, dan berjalan beriringan. Lalu menoleh sesaat, mencuri pandang.
"aneh!" tersungging senyum dibibir moha.
"kenapa?" kirana bertanya dengan gaya bicaranya yang manja.
"aneh, kenapa rinduku tak pernah bosan untuk menemuimu?" mereka tersenyum, saling menertawakan.
Kehangatan itu, menjalar sampai kedada. Jantungnya berdegup, lebih berirama dari biasa.

Kenapa kirana? Kenapa aku tak bisa berhenti?. Kenapa kirana? Kenapa walau aku tahu segalanya, itu tetap tak pernah terasa cukup untuk menjauhimu?. Kenapa kirana? Kenapa kamu? Kenapa hanya kamu, yang ku mau?.....

   Angin januari kembali bertiup, menyentuh helaian rambut kirana, menutupi sebagian wajahnya.

    Beritahu aku kirana, bagaimana hatimu?. Kabarkan padaku, aku ingin tahu.

    Warna hijau daun kini tak nampak lagi, memudar dipeluk kegelapan malam. Dan waktu lebih memilih diam, tanpa kericuhan ataupun kebisingan yang tak berarti.
    Bicara adalah cara agar seseorang dapat mendengarmu. Namun diam adalah cara moha, untuk membuat kirana lebih banyak bicara. Dia suka mendengarkan, dia suka kirana yang begitu, yah, yang seperti itu. Yang sedang berbicara dengan wajah ekspresif, manja nan menggoda. Ingin dipeluknya.

"mana uci?" moha menyela kirana yang sedang asik bercerita tentang harinya.

"mhh, katanya bentar lagi dateng. Kita suruh nunggu di toko buku." moha mengangguk, tangannya masih lekat memeluk lengan kirana.

"okeh."

   Moha mendorong pintu toko. Dan langsung disambut meja kasir disebelah kanan, serta seorang kasir yang sedang sibuk menghitung harga. Berbagai jenis buku berbaris rapih didepan mereka, di rak-rak yang telah di atur sedemikian rupa.
Moha mulai mencari buku yang di incarnya, sebuah buku karya Nicholas Sparks, The Notebook.
    Belum selesai mencari, uci datang dan menepuk pundaknya. Dia datang bersama seorang lelaki putih, dengan hoodie orange dan sepatu senada. Terlihat ramah, namun sepertinya ancaman bagi moha. Karna lelaki itu, tampan. Shit!

"mo, kenalin jajang! Panggilannya jeje." moha menaruh tawa dihatinya. Nama gak cocok ama muka. Ck! Ck! Ck!.
Jeje langsung memberikan lengannya, mengajak berkenalan. Tapi moha hanya membalas dengan anggukan. Keramahan itu, di abaikan.

Stuck On StupidTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang