"seandainya kamu tahu, betapa hati ini ingin kamu selalu ada. Dan seandainya aku punya cukup kata untuk menjelaskannya,
Mungkin aku tak perlu menunggumu terlalu lama."Moha, aku mengenalnya empat tahun lalu. Saat semester pertama di kelas 2 SMP. Kebetulan kami sekelas, dan seperti saat ini, dia duduk tepat dibelakang bangkuku. Bedanya dulu aku dibarisan paling depan dan dia dibaris kedua.
Dan dulu masih ada teman sebangkunya yang bernama Ali. Mungkin karna Ali itu sahabatnya, makannya dia jadi bisa banyak bicara, banyak tertawa dan lebih banyak bercanda. Bayangan yang sangat berbeda dari saat dia bersamaku, dia tak banyak bicara dan lebih sering diam. Atau hanya sesekali melirikku saat aku berbicara atu bercerita tentang sesuatu, dan lalu kembali menunduk. Padahal kami tidak bicara berdua, karna banyak teman lain disekitaran ikut berkumpul dimeja kami. Tentu karna moha itu remaja yang menarik, dan banyak anak kelas yang diam-diam naksir dia. Atau anak laki-lakinya yang ingin sepopuler dia.
Begitulah moha dahulu. Dia bahkan tak menunjukan gelagat bahwa dia itu menyukaiku. Sampai suatu hari kutanyakan padanya."kenapa si kamu diem mulu?" dia tak menggubris, dan dengan santainya melanjutkan langkahnya menuju kantin sekolah. Aku sedikit kesal, tapi tak lama dia kembali dan menghampiriku.
" bukan apa-apa, aku hanya suka bila mendengarmu bicara." uggghhhh! Hatiku terasa hampir meledak. Hanya satu kalimat, tapi dia mampu meluluh-lantahkanku.
Tatapannya tajam, bahkan hanya dengan melihat caranya memandang papan tulis, kau akan tahu betapa dia itu berkharisma. Ganteng? Mhhh, lumayan, tapi dia lebih cenderung swag, dengan langkahnya yang solah berirama.
Moha tak banyak berubah, dia masih suka memakai celana pendek dengan kaos polos. Masih suka nyanyi, masih suka bangun telat, dan masih suka memandangiku dengan cara yang sama. Dan akupun masih sama. Masih menggilainya."kalo dingin harus pake jaket!" moha memberikan jaketnya kepadaku. Masih tersisa kehangatan tubuhnya disana. Serta bau khas dari tubuhnya.
Dia tak hanya bicara, dia selalu melakukan semuanya. Moha yang seperti itulah, yang selalu mampu membuatku sulit memejamkan mata semenjak mengenalnya.
"kita makan, ini udah waktunya makan siang." wajahnya menghadap Ali, tapi matanya mencuri kehadiranku.Ya, aku disini. Dan aku mendengarmu.
Tak perduli kami berempat, atau berdua, dia selalu memperlakukanku dengan cara yang sama. Cara yang terkadang tak bisa ku mengerti, dia seperti itu karna suka atau dia memang begitu pada semua? Dia sungguh tak bisa kumengerti, dan diapun tak pernah menjelaskannya.
Kupikir daripada mengharapkannya yang tak jelas, lebih baik aku mencoba dekat dengan yang lain. Bukan aku menyerah, aku hanya tak ingin tersiksa oleh bayangannya. Oleh dia, moha yang gak pernah bilang apapun tentang perasaannya."hahaha, masa sih?" tawaku dibarengi rasa tak percaya, saat aldi berkata dia menyukaiku. Aldi adalah seniorku kala itu. Setelah suatu sore kami kebetulan bertemu dirumah pamanku. Dia jadi sering datang kekelasku dan mengajakku bicara tentang apa saja.
Dan semenjak itu pula moha dan ali mulai jarang dikelas, mungkin karna tak nyaman dengan kehadiran aldi. Karna hampir setiap waktu istirahat aldi datang, dan terkadang mengajakku makan siang bersama.
Dan tentu saja itu membuat kami berempat jadi jarang kumpul bareng, paling kalau aldi tak datang, baru kami kumpul-kumpul lagi. Dan moha tetap begitu, tetap pendiam. Bahkan terasa seperti menghindariku. Dia membuatku merasa kehilangan, meski belum memilikinya, dan menurutku itu aneh. Hatiku, entah kenapa, seolah tak rela."suwer na! Aku suka kamu." aldi kembali menjelaskan kata-katanya. Aku masih diam, kebingungan harus menjawab apa.
Lalu, moha yang sejak tadi juga ada disana bersama uci dan ali, tiba-tiba menarik lenganku.
"kamu mulai sekarang pacarku, jadi jangan lagi membuatku cemburu." aku kaget bukan main. Membuatku menyipitkan mata, ni patung pancoran beneran gak sih? Masa cara bilang sayang begitu.
"kenapa si mo, kok tiba-tiba gitu?"
"karna kamu juga begitu, pandai membuatku cemburu!" aku tertawa, seneng, bingung, gak percaya, dan lucu melihat wajahnya yang seperti itu. Ini benerankan?
"akukan belom jawab mo." dia kembali menarik lenganku, mengajakku pergi dari lorong depan kelas, dan dari mereka semua.
"em, em, em!" dia menggelengkan kepala.
"aku tak menerima penolakkan kirana." lagi-lagi aku dibuat tak percaya, ternyata patung kaku ini bisa juga bikin aku bahagia.
Oh iya lupa, aldi tentu kebingungan. Dari wajahnya, dia sudah mundur. Uci dan ali hanya geleng-geleng tak percaya sambil bertepuk tangan. Aku? Aku masih belum sadar dengan apa yang terjadi, ini lebih seperti mimpi.Malamnya.
+masa pacar gak bilang selamat malam.{¬.¬}
-selamat malam!Kirana tertawa melihat balasan moha. Polos, atau ahhh entahlah.
+terus?
-terus?
+isshhh ahhhh
-ya, apa? Harus gimana?
+apa kek, bilang apa gituh. Sayang, cinta, masa gitu doang mo.
-hhmmhh
+udahlah, mau tidur ajah.Kirana melihat lagi layar hapenya, ternyata pesannya hanya dibaca. Cukup tau lah ya. Dia cemberut, memukul-mukul bantal. Nyesel seribu kali gak nerima aldi ajah tadi. Begitu pikirnya.
Ting-tong! Hapenya berbunyi. Kirana bangkit, merapihkan rambutnya yang awut-awutan. Pelan-pelan melihat kelayar hapenya, dag-dig-dug, tak mau berharap apa-apa. Takut sakit hati lagi, ini sudah terasa cukup baginya.-Aku mencintaimu, dan kamu tak tahu.
Aku mencintaimu, dan aku ingin kamu tahu.
Aku mencintaimu, dan kini kamu tahu.
Aku hanya perlu mencintaimu,
Karna aku tahu, tak ada cara lain untuk mencintaimu.Aku, hanya perlu mencintaimu.
Kirana sumringah, pertama hanya tersenyum, lalu semakin lebar, sampai akhirnya tertawa seperti orang gila. Guling-guling, mukul-mukul bantal, loncat-loncat. Berulang dibacanya pesan itu, masih seperti mimpi.
Ting-tong!
-gak suka?
+apaan sih
-kok gak dijawab?
+itukan puisi, emangnya harus jawab apa?
-katakan saja kamu mencintaiku.Kirana kembali tertawa, ah lelaki ini. Siapa dia sebenarnya? Kenapa dia mampu melakukan hal seperti ini? Membuat hatinya berkelepak seperti burung.
+aku, cuma ingin mencintaimu.
Malam yang menyenangkan, diakhiri dengan kalimat-kalimat yang sebelumnya hanya disimpan. Dan hanya sesekali di intip dengan penuh keraguan.
Kini, tulisan kalimat-kalimat itu telah menemui pembacanya. Bersemayam, di hati yang rindu akan kata-kata. Dan tertidur lelap ditanah yang telah basah oleh hujanan bahagia.
*****Takdir? Jika bisa aku tak ingin mengenalmu. Takdir, seolah tak suka melihatku bahagia. Hanya setahun, hanya setahun takdir membiarkanku dan moha hidup tenang dan bahagia. Karna tahun-tahun berikutnya, adalah tahun yang ingin kuhapuskan dari dunia.

KAMU SEDANG MEMBACA
Stuck On Stupid
RomanceApakah takdir selalu melihat dari sudut pandangnya yang jenaka, dan mengubah semua, semaunya? Seperti mengubahmu, diwaktu, dimana aku tak mau. Lalu mengiris jalan dan membentangkan jarak antara kita. Apakah takdir setega itu, untuk mengupas waktu da...