[Repost/Private]
***
Vale membolak-balikan tubuhnya. Ia begitu gelisah saat ini. Entahlah, sepertinya kasur yang selalu bermanja-manja dengannya kali ini terasa begitu tidak nyaman. Seakan menolak untuk tidak ditidurinya. Gosh!
Vale memukul pelan guling yang berada dalam dekapannya. Bagaimana mungkin ia mengira benda dalam dekapannya itu adalah Vano! Wajah Vano yang tersenyum tanpa kacamata yang selalu dikenakan lelaki itu. Menyembunyikan kedua mata yang terlihat begitu tajam dan indah.
Vale menegakkan badannya, resah.
Apakah mungkin ia merasakan hal yang sama kembali saat bersama Dave? Bahkan ia baru mengenal Vano, dan belum terdapat alasan yang cukup kuat untuk membuktikan detak jantungnya yang berdebar setiap bersama dengan lelaki itu.
Vano, lelaki itu mempunyai kekurangan yang tidak biasa. Ralat, Vale tidak pernah berdekatan dengan siapapun yang mempunyai batasan. Tidak, ia tidak menjauhi siapapun yang mempunyai kekurangan seperti Vano maupun keterbatasan lainnya. Hanya saja ia tidak ingin membuat orang tersinggung karenanya tanpa ia sadari.
Dan sebuah pengecualian hadir pada lelaki ini.
Entahlah, menurutnya Vano adalah orang yang asyik. Sangat berbeda. Bahkan, justru karena "keadaan"nya itulah yang membuat Vale merasa ingin mengetahui segala hal tentang lelaki itu. Namun, menjaga perasaan orang lain adalah hal utama yang patut disegani. Ia tidak ingin lelaki itu merasa kurang atau bahkan tidak merasa nyaman bersamanya.
Bersamanya?
Sepertinya ia akan kembali ke CaféVe, besok.
***
Vano meraba-raba tempat tidurnya, mencari ponsel tua nan kuno yang membuatnya terusik akibat jeritannya.
"Halo?"
"Vano, apa kau sudah tidur?"
"Lalu siapa yang mengangkat telepon darimu, hm?" Vano mendengus pelan. Terkadang, usaha Tasya untuk sekedar berbasa-basi tidaklah hebat.
Terdengar tawa kecil dari sebrang, "Baiklah, aku hanya ingin memberi tahumu. Hari ini aku pulang ke rumah," jelas wanita itu dari sebrang.
Ke rumah? Tentu. Tempat tinggal tetapnya kini adalah rumah Renza, suaminya. Sementara rumah yang ditempatkan oleh Vano adalah rumah peninggalan kedua orangtua mereka. Rumah yang begitu besar, membuat Vano merasa sepi karena hanya dihuni oleh dirinya seorang.
Vano dan Tasya memang telah bersepakat untuk tidak menjual rumah itu. Terlalu banyak kenangan untuk mereka hiraukan begitu saja. Lagipula, Vano telah mengetahui seluk beluk interior bangunan itu tanpa perlu 'melihat'-nya. Ia sudah hafal diluar kepala, dimana saja tempat dan ruangan dalam rumah itu.
Tasya tidak pernah merubah letak tempatnya. Ya, kecuali peralatan serta perlengkapan berbau dapur yang sering digunakan wanita itu tanpa pernah tersentuh oleh Vano, setelah peristiwa itu.
"...kau janji akan baik-baik saja kan, Vano? Mungkin aku tidak akan menemanimu dalam 3 hari ini. Aku perlu mengurusi Renza yang terlalu sibuk dengan pekerjaannya akhir-akhir ini. Dia terlihat begitu kacau, ku harap kau mengerti."
"Kau tahu aku telah melewati masa balita, Tasya."
"Akan ku usahakan untuk menemuimu secepat mungkin."
"Ya."
Vano meletakan ponselnya kembali.
Hari tanpa Tasya. Tanpa seseorang yang menemaninya. Sepertinya ia benar-benar akan merasakan hal yang sama seperti narapidana yang di kurung dalam sel tahanan. Lain halnya, ruang yang ia tempatkan adalah rumah layaknya sebuah istana. Bukan ruangan yang dibatasi oleh jeruji besi. Dan lelaki itu dapat keluar kapanpun yang ia inginkan. Tapi justru keadaannya-lah yang membuatnya mau-tak-mau harus menetap dalam gelapnya sepi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Eyes Open
General FictionValecia Rain, gadis cantik yang dapat memikat semua lelaki karena sebuah alasan yang dibuatnya sendiri. Siapapun tidak dapat menolak paras cantiknya. Namun, siapa yang mengira semua itu adalah kebohongan kecil yang selama ini disembunyikannya? Da...