Black Glasses

37.3K 1.4K 84
                                    

Sebelum membaca cerita ini, dimohon dengan sangat untuk menghargai penulis.

DILARANG MENJIPLAK, MEMPERBANYAK, MENGUBAH, MAUPUN HAL LAINNYA YANG TERKAIT DENGAN ISI CERITA INI. BILA PENULIS MENGETAHUI ADA YANG MELAKUKANNYA, AKAN SEGERA DI TINDAK-LANJUTI SAAT ITU JUGA.

Terimakasih sebelumnya. Okidi Enjoyed!^^

---

Dering ponsel yang tidak kunjung berhenti menjerit, akhirnya dapat mengalihkan perhatiannya pada benda mungil itu. Dengan gusar, ia meraih ponselnya, seraya mendengus kesal mendapati nama yang terpampang pada layar ponselnya. Sudah ketiga kalinya, lelaki sombong yang tak berperasaan itu menghubunginya. Apa lagi yang diinginkannya?

Gadis itu hanya bergumam menjawabnya. Sungguh, ia tidak kuasa untuk mendengar suaranya. Tolong jangan berucap!

"Val..."

Vale menepikan mobilnya pada bahu jalan. Ia tidak mungkin dapat mengemudi dengan pandangan yang melebur, akibat bendungan kristal bening di pelupuk matanya.

"Maaf, tapi aku sudah menganggapmu tidak lebih dari yang kau bayangkan, Val. Aku menyayangimu..."

"Ya, sebagai adik," potongnya seraya mengangguk lemah meyakinkan dirinya sendiri.

"Benar!"

Ya Tuhan, tolong hentikan semua ini!

"Kau akan mendapatkan yang lebih baik dariku, Val," ujarnya di seberang, membuat Vale menangis sesegukan tanpa dapat terlihat olehnya.

"Selamat tinggal, Sayang."

Ponsel itu lantas terlepas begitu saja dari genggamannya. Vale membenturkan keningnya pada kemudi mobil. Ia berharap kenangan akan hal-hal indah bersama lelaki itu segera terhapuskan.

Namun semua tak semudah yang dibayangkannya. Bahkan pada benturan ketiga, gadis itu masih mengingat jelas bagaimana bentuk garis tegas yang memahat wajah tampan itu. Usahanya tak membuahkan hasil. Dan kini, kepalanya terasa berat karena ulahnya sendiri.

"Bodoh!" Rutuknya pada diri sendiri.

Vale menarik napas, mengembuskannya perlahan. Tersenyum simpul seolah tanpa beban, mengingat apa yang terjadi beberapa menit lalu. Gadis itu kembali mengemudikan mobilnya tanpa arah maupun tujuan.

Ponselnya kembali berdering. Nyaris saja ia menginjak pedal rem secara mendadak. Saat membaca isi pesan yang terkirim dari salah satu sahabatnya -upaya untuk menghiburnya- sudut bibir gadis itu terukir kembali membentuk seulas senyum.

Ya. Sekedar menghibur untuk menenangkan pikiran dan mendengarkan lelucon garing dari mereka, mungkin tak ada salahnya.

***

Ketukan pintu disertai langkah kaki seseorang memasuki kamarnya, membuat lelaki itu berdiri seraya tersenyum simpul.

"Sudah siap?"

Ia mengangguk. Sudut bibirnya tertarik saat wanita cantik itu menuntunnya sampai ke dalam mobil yang begitu harum, menyerupai aroma wanita yang kini telah duduk di kursi pengemudi.

"Baru saja Renza mengirimkanku pesan. Dia memberitahuku bahwa dia masih harus mengurus seorang pasien. Sepertinya begitu darurat, sehingga butuh waktu mendadak seperti ini. Bagaimana kalau kita ke kafe dulu? Hanya untuk menyegarkan pikiran. Lagi pula sudah lama sekali kita tidak berkunjung ke tempat Tante Eve," jelas wanita itu dengan senyuman manis tak luput dari wajahnya.

Lelaki itu mengangguk samar. Namun tidak ada yang tahu, terdapat kilat kesedihan dari kedua mata yang bersembunyi dibalik kacamata hitamnya. Ia ingin melihat kembali bagaimana bentuk kafe itu, yang dulu sering sekali dikunjunginya. Hanya untuk meminum secangkir kopi sampai berjam-jam. Lelaki itu tidak akan merasa bosan. Ia begitu menikmati pemandangan luar dari balik jendela kafe tersebut, sekedar untuk menenangkan pikirannya.

Eyes OpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang