Back Hug

17.6K 967 46
                                    




(repost, privat, dan tidak ada perubahan)

**

Suasana dalam mobil gadis itu saat ini terasa berbeda. Entahlah, Vano ingin membuka mulut, upaya mengawali pembicaraan untuk sekedar bertanya. Pertanyaan yang terus menari dalam benaknya. Namun, ia sedikit ragu. Ah tidak, bahkan lelaki itu sangat penasaran dengan seseorang yang membuat Vale tidak mengindahkan pertanyaannya.

Vale-pun begitu. Ia ingin sekali menyemburkan sebuah kalimat yang semakin menggelitik bibirnya untuk membuka mulut, sekedar untuk mencairkan suasana diantara keduanya. Namun ia takut jika lelaki itu akan bertanya tentang Dave.

Oh astaga, kenapa dengan dirinya? Bukankah Dave tidak ada artinya lagi untuk seorang gadis bernama Valecia Rain? Lantas, untuk apa takut untuk mengakui? Toh bayang-bayang Dave nantinya hanya akan menghantuinya sementara waktu, mengingat lelaki disampingnya kini-lah yang tak jarang membuatnya sulit tertidur.

Ah sudah, tidak perlu dipikirkan, batinnya. Ingat Valecia? Vano tidak menyukai keheningan. Pasti lelaki itu yang akan memulai percakapan mereka terlebih dahulu...

"Valecia?"

"Gotcha! Sudah kuduga!" Pekiknya membuat Vano nyaris berjengit.

"Kau duga? Apa yang sudah kau duga?" Lelaki itu mengerutkan dahinya.

Vale menyengir tak karuan, "Apa kau lapar?" Ia mengusap tengkuknya, kikuk. Gadis itu mencoba mengalihkan pembicaraannya. "Aku ingin makan di tempat yang berbeda."

"Aku akan mengajakmu ke restoran pamanku. Menu yang tersedia, begitu menggiurkan. Dan kau harus mengetahuinya, Vano, pemandangan disana sungguh indaaaaah... sekali!" Lanjut gadis itu seraya merentangkan sebelah tangan yang terbebas dari stir kemudi saat mengucapkan kata 'indah' dengan nada gembira.

Seolah tersentak oleh sebuah kenyataan, Vale menginjak pedal rem dengan mendadak. Bibirnya terkatup rapat. Dilihat dari sudut matanya Vano yang terdiam dengan raut wajah begitu datar. Seandainya lelaki itu melepas kacamatanya, pasti Vale akan dapat melihat kilat kesedihan dalam kedua matanya.

Betapa bodoh dirinya!

Vale berdeham kecil, "Vano, aku tidak bermaksud begitu. Mm... Ma-maksudku, aku hanya..." Gugupnya dengan suara parau.

Vano menoleh sedikit kearahnya, "Tidak apa. Kau sepertinya belum terbiasa dengan keadaanku," ujar lelaki itu seraya menekan kata terakhirnya, membuat Vale semakin dihantui rasa tidak enak hati.

Oh Tuhan, beri aku pencerahan!

"Kalau begitu kita putar arah saja ya, bagaimana?" Saran gadis itu seraya menggigit bibirnya.

Vano menautkan alisnya, "Bukankah kau merasa lapar? Mengapa harus kembali ke kafe?"

CaféVe memang menyediakan berbagai macam menu ringan yang terasa lezat, menurutnya. Namun, tetap saja ia lebih menyukai makanan rumah atau restoran mahal yang mempunyai menu berat dan membuatnya puas bahkan sampai merasa begah, juga disertai pemandanganyang indah dan tidak membosankan. Atau paling tidak, McDonal's menurutnya bukan masalah.

Dan sepertinya ia berubah pikiran.

Gadis itu akan membawa Vano ke suatu tempat, dimana lelaki itu akan berterima kasih padanya dan tidak akan melupakan momen tersebut.

Vale mengulum senyum.

***

Vale menutup pintu mobilnya disamping kemudi. Gadis itu menuntun Vano ke sebuah gerbang besar di hadapannya.

"Dimana kita sekarang?" Vano mengernyitkan dahi saat pendengarannya menangkap suara tawa beberapa kecil dari kejauhan.

"Panti Asuhan."

Eyes OpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang