Satu

234 23 6
                                    

Mendapati jadwal mengajar di kampus pukul sepuluh pagi membuat Eka mempunyai kesempatan untuk sekadar meracik teh manis hangat sebagai upaya untuk mengambil kembali hati Wa Ajeng.

Tadi malam Eka baru saja melakukan hal yang membuat Uwanya kesal. Bu Iswari, salah satu tetangga mereka meminta tolong kepada Eka untuk dijahitkan seragam bolong milik anaknya yang sekolah di luar kota, padahal besok paginya anaknya itu akan kembali ke sana.

Bu Iswari memperlihatkan wajah kesal kepada anaknya yang sibuk main ketika mendapati waktu kepulangan, sekaligus menunjukkan wajah memohon untuk dikasihani kepada Eka.

Kedatangan Bu Iswari pada pukul sebelas malam membuat Eka tersentuh, Eka melihat bagaimana seorang Ibu berjuang dan berkorban untuk anaknya, berusaha mengedepankan keberanian daripada rasa malu bertamu ke rumah orang lain di waktu hampir tengah malam.

Maka diterimalah permintaan itu oleh Eka, meski ia baru saja pulang dari kampus satu jam yang lalu tetapi Eka setuju kalau seragam itu bisa diambil sebelum subuh, mengejar keberangkatan kereta api yang tiketnya sudah dipesan.

Peristiwa itulah yang membuat Wa Ajeng kesal. Menginjak usianya yang ke tiga puluh dua tahun, Eka memang lebih sering menerima omelan dari Uwanya, sedikit saja Eka membuat hati Uwanya itu tidak senang, maka siap-siap saja untuk menerima omelan dari A sampai Z, yang mana semua omelan itu akan berujung pada statusnya yang belum menikah.

Bagi Wa Ajeng, seorang perempuan yang sudah melewati usia tiga puluh tahun dan belum menikah adalah seorang perempuan yang sedang mempunyai masalah besar karena si perempuan sudah melewatkan masa pernikahan idealnya.

Maka dari itu keberadaan Eka di rumahnya sebagai kemenakan satu-satunya dengan statusnya yang belum menikah merupakan sasaran empuk bagi Wa Ajeng untuk segera diselesaikan masalah besarnya itu.

Padahal bagi Eka sendiri, belum menikah di usia kepala tiga bukan masalah sama sekali.

"Teh manisnya, Wa"

Dua cangkir teh manis yang semula berat di nampan kini sudah mendarat di meja. Eka melihat Wa Ajeng masih asyik dengan jelujurannya, sedang Wa Adun yang juga sedang asyik dengan korannya melirik sebentar kepada apa yang sudah dibawa oleh Eka.

"Terimakasih Ka, ini teh manis kesukaan Uwa?"

"Insya Allah iya Wa, teh manis dengan sedikit gula," Eka merapatkan telunjuk dan jempolnya untuk mengukur sedikit gula yang ia masukan ke dalam teh.

Wa Ajeng yang semula tidak memberikan reaksi apa-apa mulai terdengar helaan nafas beratnya, tebak Eka ini adalah gelagat buruk untuknya.

"Bikin teh manis saja kamu nggak bisa-bisa Ka, selalu nggak manis, kalau rasa manisnya nggak ada, mana bisa dibilang teh manis. Coba kamu dari sekarang mulai memperbaiki cita rasa makanan dan minuman kamu di dapur, jangan sibuk di kampus dan di organisasi melulu." Jelas Wa Ajeng panjang lebar.

"Insya Allah Wa akan segera Eka perbaiki, Uwa mau Eka ambilkan gula?" Tanya Eka, ia bertanya begitu kepada Wa Ajeng karena pikirnya keberadaan gula di sana barangkali membuat Wa Ajeng lebih leluasa untuk menambahkan gula sebanyak mungkin kepada teh manis buatannya.

"Sudah-sudah, tidak usah Ka! Nanti juga kalau Wa Ajeng minum teh manisnya sembari melihat wajah Wa Adun, teh manisnya akan jadi kemanisan." Sahut Wa Adun yang kemudian mendapatkan tatapan sinis dari isterinya itu.

"Kamu nggak ke kampus Ka, hari ini?" Tanya Wa Adun sembari mengambil teh manis yang sudah disuguhkan oleh Eka sedari tadi.

"Nanti Wa, jam sembilanan. Soalnya hari ini jadwal ngajar Eka jam sepuluh."

"Yasudah kalau begitu, kamu selesaikan saja tugas kamu yang lain, supaya nanti di kampus, kamu sudah tidak kepikiran tugas apa-apa lagi."

"Iya Wa."

Eka segera kembali ke dapur untuk menyimpan nampan lalu bergegas ke kamar untuk menyelesaikan tugasnya yang lain, terlihat laptopnya sudah menyala sejak bakda subuh tadi.

Wa Adun yang masih di teras mencoba untuk mengajak isterinya bicara terkait wajah masam yang masih ditunjukkan kepada Eka sedari tadi malam.

"Ibu kalau kesal sama Eka tidak usah bawa-bawa statusnya yang belum menikah. Lidah Ibu itu tajam, entah sudah berapa kali Eka mendapatkan luka atasnya."

Wa Ajeng hanya menyimak perkataan suaminya, jari jemarinya masih bermain dengan jarum dan benang.

"Lagi pula yang dilakukan oleh Eka adalah perbuatan yang baik, Bapak tidak melihat ada yang salah, Eka menolong Bu Iswari di waktu yang tepat.

Eka yang menolong kok jadi Ibu yang kesal? Tadi malam yang membukakan pintu untuk Bu Iswari padahal Eka, yang tadi pagi membukakan pintu untuk Bu Iswari pun Eka. Kalau Ibu punya masalah dengan Bu Iswari ya selesaikan saja dengan Bu Iswari, jangan sampai Eka terkena amarahnya."

Wa Ajeng menggeleng, ini saatnya beliau yang berbicara.

"Bapak itu tidak tahu bagaimana Bu Iswari ini adalah salah satu tetangga kita yang selalu menjadikan status Eka yang belum menikah sebagai bahan pembicaraan bersama dengan tetangga-tetangga yang lain. Ibu rasa Eka tahu itu, karena tidak jarang Bu Iswari ini menyinggung Eka dengan nada yang keras supaya Eka dan Ibu mendengarnya."

Wa Ajeng kembali melanjutkan jelujurannya.

"Seharusnya tadi malam itu menjadi saat yang tepat untuk Eka membalas sikap Bu Iswari selama ini, banyak kok alasan jujur yang bisa Eka berikan, tinggal bilang saja kalau dia capek karena baru pulang dari kampus, atau sampaikan saja keberatan kalau seragamnya harus diambil sebelum subuh.

Meminta tolong kok sampai tidak tahu aturan begitu, beliau bukan orang yang mudah mengingat jasa orang Pak, Ibu yakin sehabis peristiwa tadi malam, Bu Iswari akan kembali menjadikan Eka sebagai buah bibir orang banyak karena status belum menikahnya."

"Bapak tahu Ibu bersikap begitu karena saking sayangnya kepada Eka, tetapi sikap baik yang sudah Eka lakukan jangan sampai lupa untuk diapresiasi. Membalas perbuatan Bu Iswari yang kurang berkenan dengan kebaikan adalah pilihan Eka, sedangkan membicarakan keburukan Bu Iswari dan memberikan muka masam kepada Eka, Bapak khawatir hanya akan menjadi dosa bagi Ibu."

Wa Ajeng memandang wajah suaminya, amarahnya tiba-tiba mereda. Pikirnya, kalau sudah berbicara dosa saatnya ia untuk mengalah.

"Yasudah kalau begitu sekarang Ibu mau meminta Eka untuk menjahitkan gamis Ibu. Bapak mau berangkat dinas, kan? Ayo Ibu mau salam."

"Ohiya sudah hampir jam delapan ya. Bapak berangkat ya, akur-akur sama Eka! Bapak minta tolong untuk dijaga hatinya."

Wa Ajeng mengangguk lalu mencium punggung tangan Wa Adun lembut yang kemudian dibalas dengan ciuman hangat di kening Wa Ajeng.

Hal itu merupakan tradisi mereka sebelum pergi ke kantor atau berpisah di mana pun, tradisi yang seringkali membuat Eka merindukan keluarganya.

🍁🍁🍁

Jadikan tulisan ini sebagai pahala investasi untuk saya dengan hanya mengambil manfaatnya jika ada. Jika tidak ada, maka segala ketidak-bermanfaatannya jangan diambil sedikit pun.

🍁🍁🍁

〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰

⬇⬇⬇

Wanita Matahari & Pria dari PersimpanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang