Dua

87 17 0
                                    

Jauh sebelum Eka tinggal bersama dengan Wa Ajeng dan Wa Adun, Eka sempat tinggal bersama Kakek dan Neneknya di Ciselang, salah satu kampung di Purwakarta yang cukup jauh dari pusat kota.

Orang tua Eka berpisah ketika Eka baru saja duduk di bangku kelas satu Sekolah Dasar, Eka belum tahu apa-apa waktu itu, yang Eka tahu keluarganya adalah keluarga yang paling bahagia dengan hiruk pikuk desa.

Desa Cirende, desa di mana rumah Eka berada di sana. Salah satu daerah di Purwakarta yang tidak banyak dijangkau orang waktu itu. Sebelum sekolah, Eka banyak menghabiskan waktu di sawah yang berada di kaki bukit.

Kini, bukit yang dikenal Eka sebagai Bukit Mak Haji yang asri berubah menjadi bukit yang siap dikeruk pasirnya, bukit di sampingnya pun sudah dibelah sebagai jalan untuk truk-truk pengangkut pasir yang beroperasi.

Begitu kurang lebih yang Eka dengar dari teman-temannya di desa yang masih terhubung melalui whatsapp.

Menginjak kelas empat, Eka harus menerima kepergian Kakek yang sudah Eka anggap sekaligus sebagai Bapak.

Bapak sudah menikah lagi waktu itu dan menetap di Bandung, itu juga yang menjadi alasan mengapa Eka tinggal bersama Kakek dan Neneknya di Purwakarta.

Dan sejak Kakek berpulang, Nenek tidak pernah mendapati sehatnya. Kelas enam semester akhir sakit Nenek semakin parah dan harus dibawa tinggal di rumah Wa Ajeng, kakak kandung Bapak satu-satunya.

Semester akhir di kelas enam menjadi tahun yang pahit bagi Eka. Seolah mendapat sambaran petir di siang panas, hari terakhir Ujian Nasional tidak menjadi hari yang bahagia untuk Eka.

Kang Samin, anak pertama dari Wa Ajeng dan Wa Adun yang biasa mengantar jemput Eka sekolah, waktu itu menjemput dengan pakaian serba hitam, wajahnya semakin memerah ketika dihampiri Eka, dan Eka sudah dapat menebak gelagat itu.

Kepergian Kakek dan Nenek menjadi hilangnya harapan Eka untuk hidup di hari esok, ia tidak tahu harus berbuat apa dan pergi ke mana.

Bapak memang cukup lama tinggal di Purwakarta setelah Nenek meninggal, sekitar satu minggu sampai tahlil terakhir selesai, namun keberadaan keluarga baru Bapak di sana menyebabkan ada jeda antara Bapak dan Eka.

Sementara Ibu yang sudah diberi tahu ternyata tidak kunjung datang tanpa memberikan alasan.
Wa Adun berkali-kali menghibur Eka dengan mengajak sekolah di mana anak keduanya, yakni Teh Sarah pun sekolah di sana.

Wa Ajeng pun mengiyakan dan turut mengajak. Dalam keadaan masih bingung, Eka hanya menurut.

Wa Adun yang saat itu sudah menjadi Pegawai Negeri Sipil di Pemerintahan Daerah mengurusi segala kepentingan Eka tanpa pamrih.

Dari mulai seragam sekolah, buku, membayar biaya administrasi sekolah, semuanya ditanggung oleh Wa Adun. Jasa yang tidak akan pernah Eka lupakan.

Menginjak semester dua di kelas tujuh, Eka mendapati kedatangan Bapak setelah proses penjualan rumah Nenek di Ciselang selesai.

Eka kira Bapaknya itu akan membawanya tinggal di Bandung, ternyata di rundingan bersama dengan Wa Ajeng dan Wa Adun waktu itu Bapak meminta tolong kepada Kakak Kandung dan Kakak Iparnya untuk mengurusi anak semata wayangnya yang malang.

Sedangkan untuk biaya sekolah Bapak bilang tidak perlu khawatir, Bapak akan berusaha untuk menanggung.

Lagi-lagi kenyataan pahit yang harus Eka terima. Sejak saat itu Eka tinggal menetap bersama dengan Wa Ajeng dan Wa Adun di Gang Beringin, tempat tinggal yang cukup dekat dengan pusat kota di Purwakarta.

Nama Eka pun masuk ke daftar anggota Kartu Keluarga milik Wa Adun tidak lama setelah itu, karena Wa Adun tahu betul data itu akan diperlukan untuk administrasi sekolah.

Maka dari itu Eka tidak pernah mengambil dengan hati sedikit pun tiap ucapan ceplas-ceplos yang disampaikan oleh Wa Ajeng, sikap itu hanya bagian kecil dari kebaikan Wa Ajeng yang tidak tertimbang beratnya.

Sejauh ini Eka tinggal, Eka sudah dapat memahami sikap Wa Ajeng, cukup dalam hitungan menit bahkan pun detik, amarahnya itu akan kembali berubah menjadi sikap lemah lembut.

Kali ini terbukti dengan kedatangan Wa Ajeng ke kamar Eka untuk meminta tolong dijahitkan gamisnya yang sebelumnya sudah dipotong dan dijelujur.

“Kaaa, masih sibuk?” Tanya Wa Ajeng sembari menyimpan bahan gamis di atas mesin jahit Eka.

“Nggak Wa, cuma lagi ngetik-ngetik aja.” Jawab Eka yang masih mengetik sampai menemukan titik. Setelah itu ia duduk menghadap Uwanya.

“Seperti biasa Uwa mau minta tolong dijahitin gamis. Nih bahan yang kamu beli waktu itu buat Uwa, baru sempat Uwa potong.”

“Ohiya Eka bawa sekarang aja. Biar nanti pas istirahat di kampus, Eka bisa pergi ke Toko Obras dulu, sekalian beli benang yang cocok sama warna bahannya. Uwa nggak ke Warung Sayur Mang Iko pagi ini?”

“Ini mau ke sana.”

“Mau Eka antar? Sekalian panasin motor sebelum ke Kampus.”

“Boleh. Yasudah Uwa ambil dompet dulu ya.”

🍁🍁🍁

Jadikan tulisan ini sebagai pahala investasi untuk saya dengan hanya mengambil manfaatnya jika ada. Jika tidak ada, maka segala ketidak-bermanfaatannya jangan diambil sedikit pun.

🍁🍁🍁

〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰〰

⬇⬇⬇

Wanita Matahari & Pria dari PersimpanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang