Chapter 2

35 3 2
                                    


Setelah mendapatkan banyak wejangan yang didapatkan dari seluruh keluarganya, yang paling ia ingat adalah perkataan ibundanya,

"jadilah istri dan ibu yang mampu mengayomi keluarga terutam anak-anakmu kelak. Patuhilah segala perintah dan perkataan suamimu nduk, karena dialah ganti ibumu dan ayahmu saat didalam rumah tangga kalian. Kalian harus memiliki momongan agar hubungan kalian semakin kuat dan kokoh. Maaf...maaf...ibu tak dapat menjagamu lagi nduk. Bahkan ibu juga tidak pernah menjagamu dari tekanan istana. Apabila engkau dapat bebas dari tekanan yang tidak kamu suka, lakukanlah yang menurutmu benar tanpa melupakan konsekuensinya. Ibu hanya dapat mendukungmu dan mendoakanmu dari sini." Tangis sang ibunda pecah. Ia tak dapat lagi menahan kepedihan hatinya yang sebentar lagi akan berpisah dengan separuh hati dan separuh hati suaminya. Bagian sang suaminya dalam bentuk Raden Ayu Amelia Hadiningrat.

Selama ini ia dan suaminya selalu berharap bahwa putri mereka dapat mengenyam pendidikan yang tinggi agar pandangan dari orang lain tidak rendah pada mereka.

Pernikahan mereka yang tanpa restu karena beda kasta, membuat keluarga baru tersebut menjalani kemelaratan yang dashyat hingga lahirnya putri cantik mereka yang dinamai Amelia.

Karena kemiskinan inilah yang membuat suaminya menemui ayahnya yaitu Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Mangku Negara Senapati Ing Ayuda Kaping IX, agar memberi mereka sedikit kekayaan untuk dapat memberi makan putri kecil mereka. Kanjeng Gusti menuruti keinginan Raden Mas Wijaya harus berperang melawan kolonial bersama pasukan kesultanan Yogyakarta saat itu atau menceraikan ibunya Amelia.

Demi gadis kecilnya... entah mengapa setelah ia menyanggupi persyaratan berperang dari sang ayah, Raden Mas Wijaya langsung mengirim surat tentang tawaran balas budi dari sahabat lamanya yaitu Raden Mas Taufik Hadiningrat untuk membawa gadisnya menjadi menantu keluarga Hadiningrat setelah berumur 16 tahun. Ia tau bahwa ia takkan mampu lagi menjaga putrinya dengan penuh kesedihan ia menunggu balasan surat tersebut. Terkadang ia menyesal telah menjodohkan putrinya tetapi ia juga takut bahwa keluarga nya tidak dapat menerima Putrinya. Hingga detik-detik terakhir ia akan pergi berperang, surat balasan itupun tiba dan jawabannya dari Keluarga Hadiningrat yaitu mereka menyanggupinya. Hatinya pun mulai tenang, ia ikhlas apabila mati di medan perang demi keluarga kecil yang ia cintai.

Raden Ayu Winiarsih memeluk erat anak gadisnya. Oh Gusti... kiranya Engkau bersedia memberi kebahagian kepada anak hamba. Itulah yang ia rapalkan berulang-berulang bahkan kendaraan yang membawa anak gadisnya itu hilang dari pandangannya, ia pun langsung jatuh pingsan diatas tanah yang agak basah akibat hujan yang mengguyur semalam.

Raden Ayu Amelia Hadiningrat mengusap airmata setelah keraton tempat tinggalnya mengecil dan hilang darri pandangannya. Ibu mertuanya Sonia bukanlah seorang jawa melainkan seorang wanita Jakarta asli, mengusap lengan Amelia pelan seakan tau pedihnya hati menantunya karena berpisah dari zona nyamannya. Amelia tersenyum tulus melihat betapa antusiasnya sang mertua. Hal ini tak luput dari pandangan Arya yang menyetir mobil yang juga duduk bersebelahan dengan ayahnya. Entah bagaimana, Sonia menginginkan duduk dibelakang bersama Amelia mungkin karena ia tahu bagaimana rasanya berpisah dengan orang tua.

"terimakasih."ucap Amelia dengan senyum tulus sekali lagi.

Sonia mengangguk lalu ia menarik kepala menantunya kearah bahunya, seraya berkata

"tidurlah, kamu pasti lelah!"

Ameliapun tertidur dengan nyaman.

***

Jakarta, Oktober 1965

"sudah bangun wahai putri tidur?"sinis Arya sambil mengirup kopi hitam nya dengan tenang.

Kasih dan CintaWhere stories live. Discover now