Prolog

144 78 138
                                    

Terik matahari pagi ini sukses menyilaukan mata Vania karena dia berada di barisan paling depan. Tumben. Itu kata yang bisa mendeskripsikannya saat ini. Biasanya dia selalu baris di belakang saat upacara. Jika di barisan paling depan dia tidak bisa bergerak sama sekali. Menoleh saja tidak bisa. Karena itu dia lebih suka di barisan belakang. Keuntungannya tentu saja bisa mengobrol dengan teman tanpa takut ketahuan, tetapi itu tidak baik.

Vania menatap lurus seseorang yang berada di tengah lapangan dengan gagahnya mengenakan pakaian petugas upacara. Pria itu memiliki wajah dan bentuk badan yang sempurna. Siapa saja bisa dibuat kagum hanya dengan sekali lirikan. Dia Devan Syahreza. Dia adalah jawaban kenapa hari ini wanita berambut lurus itu ada di barisan paling depan. Dia ingin melihatnya dengan jelas. Dia ingin melihat wajah tampannya itu hingga puas.

"Kepada sang merah putih, hormat grak!" perintahnya. Kemudiaan semua peserta upacara memberi hormat diikuti paduan suara yang menyanyikan lagu Indonesia Raya.

***

"Puas nggak tadi liatin Devan?" suara yang sudah akrab di telinga Vania itu berhasil menghentikan langkah kakinya. Dia menoleh ke arah suara itu.

"Puas bangett Vin! Dia tadi ganteng banget. Gue sampe nggak mau kedip"

Gavin Vino Mahendra. Dia lebih dari seorang sahabat untuk Vania. Dia selalu menjaga Vania, dia selalu ada di saat Vania membutuhkannya, dia selalu menghibur Vania saat Vania terpuruk, dan dia selalu bersedia mengulurkan tangannya di saat Vania terjatuh. Vania bersyukur karena Vino ada di dalam rangkaian cerita hidupnya.

Vino kemudian berjalan mendahuluinya. Vania mengikutinya dari belakang sambil terus memasang wajah bahagianya yang tidak bisa dia tutupi.

"Terlalu berlebihan lo. Mukanya emang ganteng, tapi dia nggak punya hati Van"

Vania mencoba mempercepat langkahnya agar sejajar dengan Vino. Wajahnya yang tadinya senang entah kenapa sekrang berubah menjadi kesal. Vania menghentikan langkahnya begitu juga Vino.

Vania menatap kedua manik mata Vino yang berwarna hitam pekat itu dengan penuh rasa kesal.

"Bisa nggak sih Vin lo jangan ngejelekin orang yang gue suka terus! Gue tau udah banyak cewek yang patah hati gara-gara dia"

"Kalo udah tau, kenapa lo masih suka sama dia? Gue nggak mau lo jadi salah satu diantara cewek-cewek itu"

Vania hanya terdiam. Kanapa? Dia saja tidak tahu jawabannya kenapa dia masih menyukai pria itu sampai detik ini.

"Dan asal lo tau, kejadian waktu itu udah buat gue benci sama dia dan lo juga seharusnya benci sama dia, bukannya suka!"

Memang benar seharusnya Vania membencinya. Tapi dia tidak bisa. Seberapa keras dia mencoba untuk membencinya, dia semakin menyukainya. Tidak semudah yang Vino pikirkan untuk membenci seorang Devan.

Vino tidak pernah mendukung Vania saat tahu Vania menyukai Devan. Vino masih mengingat kejadiaan waktu itu, dimana Devan mempermalukan Vania. Hari itu tepat hari ke-3 MOS. Hari yang tak akan pernah Vania lupakan dalam hidupnya. Hari yang membuatnya sangat marah dan kesal kepada Devan. Tetapi dihari itu juga Vania dibuatnya jatuh cinta...

Hai semua😊. Terimakasih sudah membaca part ini sampai selesai. Tolong tulis pendapat kalian di kolom komentar dan jangan lupa Vote👌.
.
Maaf jika masih banyak typo:)

Story Of Vania [Hiatus]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang