Siang itu Vania yang berusia 10 tahun sedang mengayuh sepeda pink miliknya dari sekolah menuju rumah. Jarak antara rumahnya dengan sekolah tidak terlalu jauh, jadi dia memilih menggunakan sepeda saja. Sepeda itu dia beri nama "Pinky". Ya, memang terlihat konyol menamai sebuah sepeda. Tapi memberinya nama Pinky itu suatu kesenangan tersendiri.
Vania mengayuh sepedanya dengan cepat karena perutnya sudah berteriak minta diisi. Dia lapar. Sekarang sudah masuk jam makan siang. Bayangan sayur bening dan ayam goreng masakan Ibunya hari ini semakin membuatnya lapar. Dia meminta Ibunya untuk memasakkan kedua masakan itu hari ini.
Vania tidak menyadari ada sebuah batu berukuran sedang yang ada di depan. Sepedanya tersandung batu itu dan diapun terjatuh.
Tangan dan kakinya terluka. Rasanya sangat perih. Vania menangis. Tangisannya semakin kencang tetapi tidak ada yang menolong.
Vania menenggelamkan kepalanya di antara kedua lutut sambil terus menangis. Sesekali dia melihat kearah Pinkynya yang tergeletak di sampingnya.
"Ayo aku bantu berdiri"
Suara itu. Terdengar sangat tulus dan membuatnya tenang. Suara itu asing. Suara yang pertama kali Vania dengar. Yang jelas itu bukan suara anak permpuan.
Vania mengangkat kepalanya lalu melihat kearah sumber suara itu. Dilihatnya seorang anak lelaki yang sedang mengulurkan tangan sambil memberikan senyuman manisnya.
Vania menerima uluran tangannya dan anak lelaki itu mencoba membantunya berdiri."Kamu nggak papa?" tanya anak lelaki itu.
Vania mencoba menghapus sisa air matanya. Aku menatap kedua manik matanya yang berwarna sedikit kecoklatan.
Vania hanya menggeleng, menyatakan jika dia tidak apa-apa. Sebenarnya dia berbohong. Luka ditangan dan kakinya ini bukan tidak apa-apa.
"Tangan sama kaki kamu luka"
Ternyata anak lelaki itu menyadari luka yang ada di tangan dan kaki Vania. Dia menatap Vania penuh kecemasan. Vania bisa membaca dari wajahnya. Mereka baru saja bertemu, tetapi Vania merasakan ketulusannya.
"Nggak papa kok" Vania berbohong lagi.
"Aku antar kamu pulang ya"
"Aku bisa pulang sendiri"
Dia mendirikan sepeda milik Vania. Wajah anak lelaki itu masih terlihat cemas.
"Aku antar. Kamu tunjukin jalannya"
Dia berjalan sambil menuntun Pinky milik Vania. Vania mengikutinya dari belakang. Tiba-tiba anak lelaki itu menghentikan langkahnya. Vania terus berjalan hingga kini dia sejajar dengan anak lelaki itu. Lalu anak lelaki itu melanjutkan kembali langkahnya.
"Oh iya kita belum kenalan. Nama aku Gavin Vino Mahendra. Panggil aku Vino. Nama kamu siapa?" Vino melihat kearahnya sambil terus berjalan.
"Namaku Vania Aqilla Fatharani. Panggil aja Vania"
"Aku baru pindah ke komplek ini minggu kemarin" ujarnya. Percakapan mereka tidak berlanjut.
Vino merasa arah menuju rumah Vania itu seperti arah menuju rumahnya.
Akhirnya mereka sampai."Ini rumahku"
"Dan itu rumahku" ujar Vino sambil menunjuk rumah berwarna cream disebelah rumah Vania yang dulunya kosong.
Sekarang kami bertetangga? Ibunya Vania waktu itu pernah bilang akan ada tetangga baru, tetapi Vania tidak tahu jika itu Vino karena dia belum pernah melihat Vino keluar rumah.
"Pak, Pak Adi" panggil Vania kepada Pak Adi yaitu tukang kebun di rumahnya.
Pak Adi langsung membukakan gerbang dan menyuruh mereka masuk.
"Yaampun, neng Vania kenapa kok sampe luka-luka gini?" tanya Pak Adi.
"Tadi Vania jatuh dari sepeda Pak" belum sempat Vania menjawab, Vino sudah menjawabnya duluan.
"Aduh. Bentar bapak panggilin Mamah kamu dulu" Pak Adi kemudian masuk kedalam rumah dan memanggil Ibunya Vania.
Vania dan Vino duduk diteras rumah. Tidak ada percakapan diantara mereka. Karena memang tidak ada yang bisa dibicarakan.
"Yaampun sayang. Kamu nggak papa kan? Mana yang luka? Pasti sakit ya" suara panik ibunya itu langsung memecah keheningan diantara mereka.
"Nggak papa kok mah"
"Tangan sama kaki kamu sampe luka gini. Jatuh diamana kamu?"
"Jatuh di dekat warung Bu Siti Mah"
Warung Bu Siti itu adalah warung sembako yang letaknya tidak terlalu jauh dari komplek.Ibunya itu sekarang mengalihkan pandangannya ke arah Vino.
"Kamu siapa?"
"Saya Vino yang tadi nolongin Vania dan saya juga tetangga baru tante"
"Oh, jadi kamu anaknya Mba Nindi. Terimakasih ya Vino"
"Sama-sama tante"
"Yaampun Vino lupa! Tadi Vino disuruh Ibu beli garam di warung. Vino pergi dulu tante" sambung Vino sambil menyalimi tangan Ibunya Vania dan kemudian pergi.
Vino kebetulan bersekolah di SD yang sama seperti Vania dan mereka sekelas. Mungkin orangtua Vino menyekolahkan Vino di sekolah itu karena letak sekolah yang tidak terlalu jauh dari komplek perumahan.
Waktu terus berlalu. Mereka semakin dekat satu sama lain. Mereka tumbuh dewasa bersama-sama dan Vino selalu menjaga Vania.
Hai semua😊. Makasih udah baca part ini sampai selesai. Tolong tulis pendapat kalian di kolom komentar dan jangan lupa Vote👌
➡ Update setiap hari Minggu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Story Of Vania [Hiatus]
Ficção AdolescenteKisah tentang persahabatan, cinta yang tak terbalaskan, perjuangan cinta, upaya merelakan, dan kehilangan. Aku sayang dia. Tetapi hanya sebagai sahabat. Tidak lebih dari itu. Hatiku sudah jatuh kepada seseorang. Dan orang itu bukan dia. Dia sangat b...