18. Sebuah Harap

677 75 5
                                    

'Jika aku ingin, sudah dari awal kulakukan. Aku tak berharap banyak selain kepercayaanmu sekali lagi.'

.

.

.

Suasana semacam ini seharusnya mampu kutangani. Aku sudah memprediksi hal seperti ini akan terjadi. Namun tetap saja aku gugup ketika mata itu menilik seluruh tubuh seolah mengenaliku. Ini gawat. Aku malah tak tahu harus bersikap bagaimana.

"Maaf, siapa nona disampingmu Tuan... ?" tanyanya menyelidik. Aku hanya bisa berharap Yoongi mampu mengurusnya dengan baik.

"Min Yoongi," balasnya seraya tersenyum simpul.

"Oh, ya. Tuan Yoongi. Jadi, siapa nona ini. Kurasa kita pernah .... bertemu. Mungkin?"

Firasat buruk. Kulirik pria disebelahku yang nampak biasa saja. Sementara aku sibuk membetulkan kacamata dan mengelap telapak tanganku pada rok hitam yang kukenakan sebab yang berkeringat. Tidak boleh. Aku harus bertahan.

"Dia sekertarisku. Ann."

Wanita itu masih memperhatikanku saat aku tersenyum padanya berusaha menjadi senormal mungkin.

"Aah. Nona ini bukan orang Korea?"

Yoongi menggeleng kemudian kembali berkata, "bukan, nyonya direktur. Dia keturunan Eropa. Dia .... istriku."

.

.

Sebentar. Apa yang dia katakan barusan?

Apa kau dengar dia bilang istri?

Apa ini? Jantungku, tolong bersikap biasa saja.

"Oh? Istrimu? Lantas ada keperluan apa?"

Kenapa wanita busuk ini jadi bertanya macam - macam? Astaga! Aku benar - benar mengandalkanmu.

"Anda belum tahu rupanya. Saya salah satu pemilik saham disini."

Acuh tak acuh, bibi Ahn pun pergi berlalu meninggalkan kami. Akhirnya aku dapat bernapas lega.

"Direktur macam apa yang bahkan tak tahu pemilik saham perusahaannya. Bukankah itu terlalu ceroboh," ujar Yoongi saat kita baru memasuki mobil.

Benar juga. Berarti kemungkinan rencanaku bisa berjalan mulus. Aku tersenyum pada Yoongi disebelahku yang ternyata sedang menatapku juga. Sepertinya dia paham apa yang kupikirkan.

...

Disebuah ruangan dengan lampu yang remang - remang, seorang pria yang tengah menghisap rokoknya baru saja menyalakan pc komputernya. Tak lama telepon di mejanya berbunyi nyaring.

"Halo?" sahutnya.

Ia menghisap rokoknya kembali dan mengeluarkan asapnya lewat hidung serta mulutnya. Baru kemudian terdengar suara dari sang penelpon.

"Apa kabar tuan Kim?"

Alisnya mengernyit. Diletakkannya puntung rokok itu pada asbak di sebelah kanannya.

"Siapa?" tanya lelaki yang dipanggil Kim tersebut.

Penelpon yang tak dikenalnya ini tertawa. Membuat ia menjauhkan gagang telepon itu dari telinganya. Ia lalu bertanya - tanya mengenai identitas wanita ini.

'Bagaimana orang ini bisa tahubjomor telepon pribadiku?' batinnya.

"Kau kaget? Aku direktur utama Ahn Company. Aku ada tugas besar untukmu."

Kalimat perintah itulah yang membuatnya kembali pada panggilan tersebut. Mungkin semalam ia mimpi indah hingga sebuah proyek besar datng padanya. Senyum liciknya terukir di wajah yang penuh luka itu. Lelaki paruh baya dengan mata yang bajak lautnya kini menjawab dengan lebih sopan, "Oh? Nyonya Ahn. Wah wah... Silahkan. Apa yang bisa saya bantu?"

Mi Casa, Min YoongiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang