Jarak

70 14 0
                                    

"Assalamu'alaikum." Siang ini rumahku ramai. Sanak saudara menjejakkan kaki bersilaturahmi di rumahku.

Hari ini adalah hari besar. Dimana umat muslim merayakan keberhasilannya setelah sebulan penuh berjuang untuk memperebutkan pahala. Menahan nafsu, membelenggu setan-setan yang senantiasa merayu kami untuk membuat suatu kesalahan.

Sekarang pukul 10 pagi. Aku melihatmu melangkahkan kaki melewati pintu rumahku.

Perawakanmu sungguh rupawan. Dibalut dress putih selutut, rambut panjang tergerai indah, senyum manis tercetak di wajah sendumu.

Aku selalu ingat bagaimana saat pertama kali kita bertemu. Di depan pintu ruang kepala sekolah, aku melihatmu yang pada saat itu merupakan murid baru. Kamu tersenyum ramah kepadaku, sesaat kemudian kepala sekolah menyuruhku untuk mengantarmu ke kelas. Kamu bercerita banyak, alunan tawamu sungguh indah. Untuk pertama kalinya aku merasakan perasaan yang berbeda ketika berhadapan dengan perempuan.

Rasanya seperti ada ribuan kupu-kupu menggelitik perutku. Aku tahu, aku rasa ini terlalu berlebihan. Terlalu klise untuk bisa disebut cinta. Namun, ketika aku menyatakan perasaanku padamu rupanya cintaku tidak hanya bertepuk sebelah tangan.

Kamu menerima mawar putih pemberianku. Asap merah jambu melatarbelakangi peristiwa langka ini. Tepuk tangan, sorak sorai teman-teman mengiringi tawa bahagia kami.

Aku tidak akan pernah lupa pengalaman manis itu.

"Selamat Hari Idul Fitri, tante." Kamu menyalami ibuku. Suaramu tetap merdu setelah sekian bulan kita tidak bersua.

"Ya ampun Karen, makin cantik aja kamu." Ibu tertawa renyah. Menepuk puncak kepalamu dengan bangga. "Gimana kuliahnya di Aussie?"

"Baik, tante. Di sana anaknya ramah-ramah, aku juga nggak sendirian. Banyak juga orang Indonesia yang kuliah di sana." Kamu tersenyum. Ah, aku tidak akan bisa melupakan lengkungan itu.

"Hebat ya kamu. Gibran mah nggak boleh jauh-jauh dari tante, sholat subuh aja masih dibangunin. Di Jakarta aja udah cukup." Ugh, ibu selalu saja memalukanku di hadapanmu. Tapi tak apa, asal aku bisa mendengar tawamu.

"Gibran, sini! Ada Karen, nih!" Ibu berteriak memanggilku. Aduh, kenapa ibu harus memanggilku, sih?

Aku merasakan jantungku berdetak lebih cepat, pun dengan adrenalinku yang terpacu. Mensugestikan ke otakku agar lebih baik aku kabur dan bersembunyi saja dari hadapanmu. Namun, sudah terlambat. Netramu sudah menangkap sosokku yang sedang mengambil ancang-ancang untuk melarikan diri.

"Halo, kak Gibran!" Kamu menghampiriku diselingi tawa renyah yang selalu sedap di telinga. "Apa kabar, kak? Udah lama nih nggak ketemu."

"H-halo! Ah, kabarku baik. Iya ya udah lama nggak ketemu. Haha." Aish, kenapa aku jadi gagap begini? Ayolah, di depan mantan harus stay cool.

"Uwaaah! Kak Gibran makin tinggi aja ya. Masih main basket sama temen-temen, kak?" Tolonglah, hatiku lemah kalau sudah dipuji begini.

"Masih, walaupun jarang." Aku menggaruk tengkukku yang nyatanya tidak gatal sama sekali. "Mereka pada sibuk sama kuliahnya, bahkan ada yang udah kerja."

"Oh, begitu ya. Ka--" perkataanmu terpotong ketika mendengar dering telepon berbunyi. "Sebentar ya, kak."

Sambil menunggu kamu bertelepon, aku meraih makanan ringan yang tersaji di meja. Menyapa saudara sepupu yang mampir ke rumah untuk bermaaf-maafan.

"Emmm, kak Gibran!" Aku menoleh. "Aku pulang sekarang, ya?"

"E-eh? Kok cepet banget?" Aduh! Aku kelepasan. Kenapa pula kalimat itu yang keluar? Seolah-olah aku menginginkannya lebih lama berbincang denganku.

"Maaf, kak. Jadwal penerbanganku jam 1 nanti. Jadi aku harus bergegas." Oh, rupanya kamu ingin kembali ke Aussie.

"Gimana kalau aku anterin?" Aku menawarkan bantuan. Ini bukan modus, hanya tulus manawarkan bantuan. Iya, benar.

"Maaf lagi nih, kak. Pacar aku udah nungguin di depan." Rupanya pacarmu sudah menunggu. Eh, apa katamu?! P-pacar?!

"Sampai nanti, kak!" Kamu melambaikan tangan, senyummu merekah, seolah puas sudah membuatku skakmat, menyatakan bahwa kamu sudah move on dan melupakan kenangan indah yang kita rangkai bersama.

Aku masih berdiri mematung 2 menit kemudian.

Aku memutar kambali kejadian dimana detik-detik kamu memutuskan hubungan denganku.

Katanya, kamu tidak bisa melanjutkan hubungan ini setelah hampir 3 tahun berjalan. Karena, kamu tidak mendapatkan restu dari keluargamu.

Percayalah, cinta terpaut jarak antar negara saja sudah berat. Apalagi jika Assalamu'alaikum dijawab Nî Haô.

***

Gatau, ngakak aja nulis beginian. Wkwk.
-🌠

CharmolypiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang