GADIS BERSURAI BAK JELAGA

62 7 7
                                    

"Orang-orang itu tahu akan banyak hal, mendengar lebih banyak, bahkan melihat lebih tajam. Tapi sayangnya orang-orang itu bisu, telinga mereka menuli dalam waktu satu detik. Dasar penonton. Tidak, bukankah aku bagian dari mereka. Aku buta dan tuli meski aku tahu sebanyak orang-orang itu tahu tentangnya. Aku melihatnya, mendengar dengan jelas jeritan minta tolongnya yang terdengar memekakkan telinga. Aku melihatnya, surainya yang berwarna jelaga melambai, jari-jari lentik yang dilumuri darah tak kasat mata itu menyapu udara untuk meraih sesuatu yang tak bisa dilihat siapapun. Aku adalah bagian dari mereka, para penonton. Dan aku benci mengakui hal itu."

"Apa yang kau tulis heh?" Tangan bocah yang sejak dua tahun lalu menjadi teman satu bangku Zian mengambil alih buku bersampul coklat tanpa izin sang pemilik, membuka-buka setiap halaman dan bertingkah seolah tengah memahami apa yang tertulis disana. Zian mendengus, tahu betul jika tak ada satu katapun yang dibaca oleh temannya itu.

"Wah ternyata meski tak pandai berolahraga setidaknya imajinasimu bisa digunakan. Aku sarankan kau mengirim hasil tulisanmu ini pada penerbit ternama."

"Kau itu berniat memuji atau mengejek heh. Kembalikan buku milikku. Memangnya kau bisa mengerti isi bukunya hah? Disuruh buat riview dongeng kancil saja kelimpungan nyari contekan," oceh Zian setelah mendapatkan barang miliknya kembali.

"Aku ini malas bukan bodoh."

"Terserah, sebaiknya jangan menggangguku," Zian berlalu begitu saja, merasa terganggu dengan tingkah temannya itu. Dari tempatnya sekarang ia bisa mendengar teman sebangkunya itu mendengus dan menjatuhkan badan kurusnya di atas kursi. Siap dengan posisi ternyamannya ditemani ponsel kebanggaannya, semua alat tulis ia singkirkan dan ditumpuknya sembarangan, menaikan kaki ke atas meja dengan punggung bersender pada kursi kayu miliknya.

Dibalik itu, Zian masih berdiri di depan kelas. Memainkan koin logam yang ia keluarkan dari saku celananya dan membiarkan punggungnya bersender pada dinding kelas yang dingin. Bola mata hitam yang selalu tampak indah itu menatap lurus ke depan, tak peduli dengan siswa yang berlalu-lalang di hadapannya. Eksistensi gadis kecil dengan surai bak jelaga yang berdiri di depan toilet wanita itu terlalu menarik dan ia tidak ingin melewatinya barang sedetik, kemeja putih berkalung dasi kupu-kupu, rok seragam yang selalu terlihat rapi, serta gigi gingsulnya yang manis begitu senyumnya terlukis. Zian memperhatikannya dari jauh, tak pernah berani mendekat. Keberadaan gadis itu terlalu kuat, ia tidak ingin mengganggunya.

"Hai Zi, pergi ke kantin yuk!" Itu suara lain yang Zian dapati begitu gadis berkuncir satu berdiri di samping tubuhnya dengan senyum ceria, namanya Lutvia, mata bulatnya indah tapi tidak seindah gadis lain yang ia lihat sudah tidak ada lagi di tempatnya beberapa saat lalu.

"Ayo, tapi kau yang traktir."

"Dih, yang ada cewek yang ditraktir," gadis itu cemberut sembari menyamakan langkahnya dengan Zian. Begitu sudah berhasil berjalan disamping Zian dengan langkah lebar tanpa dosa tangannya menggandeng Zian yang hanya diam memaklumi tingkah gadis itu.

"Apa kau mencium aroma aneh?" Zian bersuara, memperhatikan mimik wajah Lutvia yang berjalan di sampingnya begitu keduanya melewati toilet wanita. Gadis yang ditanya menoleh, mengangkat bahu "namanya juga toilet," jawabnya.

Tidak, bukan itu. Mata hitam Zian melirik pintu toilet wanita yang tertutup, mencoba mencari sesuatu dan berhasil mendapatinya tepat setelah tangan mungil Lutvia menarik tubuhnya. Rambut hitam bak jelaga yang awalnya terlihat rapi beberapa saat lalu kini terlihat kacau, matanya merah dengan seragam sekolah yang tak kalah kacaunya. Basah, seragam sekolah yang membalut tubuhnya basah kuyup dengan aroma tak sedap, ada cairan merah yang menetes dari telapak tangannya. "Maaf," ucap Zian dalam diam.

●●●

Gadis itu, gadis dengan surai bak jelaga yang kini tengah berpegangan erat pada kemeja putihnya yang jauh dari kata rapi. Beberapa pasang mata yang menatapnya iba bagai mata elang yang membidik anak ayam baginya, seluruh seragamnya basah, jari-jarinya bergetar menahan nyeri di tangan kanannya karena tergores dan tak pernah diberi kesempatan untuk menghentikan pendarahannya. Matanya merah menahan tangis, gigi yang tersusun rapi jika tanpa gingsul bergemeletuk menangan isak, dadanya sesak bukan hanya harena rasa takut namun karena pukulan dan diinjak berkali-kali sejak dua minggu lalu.

"Aku mohon," bibir itu bergetar, bircicit meminta permohonan, berharap tuhan memberinya kesempatan untuk lolos dari cengkraman orang-orang di hadapannya.

Tapi doanya tidak dikabulkan untuk hari ini, surainya ditarik kasar hingga tubuhnya ambruk dihadapan gadis sang pemilik tangan yang menggenggam rambutnya dengan erat. Memohon, dibarengi dengan air mata yang berhasil lolos dari ujung mata bulat bak biji buah lecinya.
Tidak, orang-orang di depannya tuli akan suaranya yang meminta permohanan. Kepalanya terasa pecah namun matanya masih mendapati cengiran orang-orang dihadapannya dan suara tawa mereka yang tertahan. "Lihat, dia menangis. Permata kecil kita bisa menangis sekarang!"

Tangan lain mengambil alih, menarik lebih kasar rambut hitam legamnya yang sudah tak berbentuk. "Kenapa, kenapa miski kau menangis semuanya masih tampak menggemaskan!"

Gadis bersurai bak jelaga meringis, kelopak matanya tertutup begitu satu ember air pel lagi-lagi mengguyur tubuhnya. Kepalanya melayang ke arah dinding, terbentur dan kembali ditarik. Wajahnya dalam waktu seperkian detik tenggelam dalam ember berisi air pel yang terlihat gelap, meringis.

"Aku mohon lepaskan aku," lagi-lagi doanya terucap dalam diam, kepalanya benar-benar terasa pecah begitu mendapati beberapa pasang mata itu tak lagi tapat dilihatnya. Suara sepatu perlahan hilang di telinganya, berganti dengan suara berdebam keras dari pintu toilet yang ditutup kasar.

Gadis itu membiarkan kelopak matanya tertutup selama beberapa saat dengan posisi terduduk di lantai toilet yang dingin dan basah, kepalanya tertunduk, menangis tanpa suara. Hari ini ia harus menunggu semua orang di sekolah benar-banar sudah pergi untuk pulang, ia tidak mau menjawab pertanyaan yang sama jika orang-orang mendapatinya pulang dengan keadaan seperti ini.

Setengah jam setelahnya Gadis bersurai bak jelaga itu membiarkan kakinya menggiring tubuhnya yang basah karena air pel ke dalam kelasnya, menunduk lebih dalam, meringis begitu suara tawa dari teman satu kelasnya pecah karena kehadirannya. Ocehan penuh kata-kata kasar meluncur masuk dengan sempurna ke dalam pendengaran gadis itu, berhasil membuatnya menunduk lebih dalam dan berjalan cepat menuju tas sekolahnya yang tergeletak di lantai. Tunggu, kenapa tas sekolahnya ada disana?

Gadis bersurai bak jelaga itu berjalan lebih cepat ke arah tas sekolahnya berada, menariknya dalam pelukan sebelum memastikan isi tas sekolahnya baik-baik saja. Dengan tangan gemetar lagi-lagi ia dibuat untuk kembali menahan tangisnya karena ulah teman perempuannya di toilet beberapa saat lalu, dan sekarang teman satu kelasnya berulah dengan memasukkan bangkai tikus yang entah berasal dari mana ke dalam tas sekolahnya.

Tawa kembali pecah, ribuan kata-kata kasar kembali meluncur ke pendengarannya. Garis bersurai bak jelaga itu meringis, menutup resleting tas sekolahnya dengan cepat dan berlalu begitu saja meninggalkan kelas, apa pedulinya dengan bangkai tikus yang masih berada di dalam tas sekolahnya, yang gadis itu inginkan saat ini adalah sendirian.

"Uuh, coba lihat dia membawa ayahnya di dalam tas sekolah!"

"Hei, bukan kah seharusnya ayahnya berada dalam jeruji karena kasus korupsi!"

"Ya, itu dia. Putri dari seorang koruptor alias tikus berdasi!" Gadis bersurai bak jelaga itu menutup kedua telinganya dengan telapak tengan, mencoba sebisanya agar telinganya tidak mendengar ocehan tak penting yang keluar dari mulut teman-teman satu kelasnya.

Koridor sekolah sudah sepi, namun suara tawa dan ocehan teman-teman satu kelasnya yang sepertinya sengaja tidak pulang cepat terdengar nyaring, bukan hanya di koridor namun juga terdengar lebih nyaring ribuan kali lipat dan menyakitkan begitu di dengar telinganya.

●●●

Konnichiwa Minna! Genki desu ka?
Ada kisah baru nih, bagaimana menurut kalian untuk pembukaan kisah yang satu ini? Saya harap kalian menyukainya.
Sedikit cerita, kisah ini lahir setelah Saya menonton ulang drama berjudul 3年A組.
Semoga kalian suka dengan kisahnya.
Terimakasih telah membaca dan jangan lupa share pada teman-teman lain.
Doumo arigatou gozaimasu.

Salam hangat dari Silma, Sima, dan Shi-chan.

Bloody LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang