SENYUM SANG GADIS BERSURAI BAK JELAGA

10 3 2
                                    

Zian meneguk habis minuman yang diberikan Lutvia untuknya siang ini, jam istirahat yang gaduh. Seisi kelas dan guru-guru sibuk membicarakan para pria tua yang satu jam lalu keluar dari ruang guru, meminta maaf atas perbuatan mereka yang menganggu aktivitas belajar mengajar di sekolah. Dari sudut ruangan, komplotan Revan sibuk tertawa karena pikiran konyol mereka beberapa hari lalu, dari barisan depan anak perempuan asik bergosip yang kali ini entah topik apa lagi.

Beberapa kata berhasil mengubah jalan pikiran semua teman sekelasnya. "Maafkan kami yang telah menggunakan racun tikus untuk membasmi tikus yang habis memakan hasil panen kami, kami pikir tikus-tikus itu akan mati di sawah bukan gedung sekolah yang berdiri di depan persawahan para penduduk," tutur petani tua yang datang ke sekolah pagi ini dan meminta maaf pada pihak sekolah.

"Sudah ku bilang bukan aku," Zian menoleh, mengangguk lantas tersenyum. Dilihatnya gadis bersurai bak jelaga berdiri di ambang pintu, tersenyum memperhatikan suasana kelas. Seperti biasanya, surainya yang indah dibiarkan tergerai, pakaian sekolahnya pun selalu terlihat rapi. Gadis yang manis. Dengan kaki jenjangnya gadis itu melangkah menuju mejanya di barisan tengah, duduk dengan hidmat tanpa terganggu dengan suasana kelas yang gaduh.

"Zi," Lutvia berseru, berhasil mengambil alih fokus pria itu. Bergumam "apa?"

"Jangan ceritakan ini pada siapa pun, minggu lalu dia mengirim surat padaku, bukan surat ancaman, teror atau sebagainya, itu artinya aku bukan bagian dari penonton bukan?"

Zian mengerjit, tidak mengerti satu patah kata pun yang keluar dari mulut Lutvia. "Apa? Siapa? Surat apa?"

Gadis itu menggerutu, mengusap wajahnya dengan telapak tangan lalu menoleh ke arah meja kosong di barisan tengah, meja yang dulu menjadi tempat sebuah luka besar dan penyiksaan berlangsung. "Seharusnya kita melapor, seharusnya kita menolongnya dari ulah teman-teman, seharusnya kita mengulurkan tangan untuk membantunya, atau setidaknya kita menjadi telinganya berbagi cerita. Bukannya seharusnya ia tumbuh dewasa bersama kita? Dia gadis yang baik, sungguh-sungguh baik."

Zian terdiam, mengerti. Mata hitamnya menatap punggung gadis bersurai bak jelaga yang masih terduduk di mejanya, meringis.

"Ku harap aku juga bukan bagian dari penonton."

●●●

Konnichiwa minna, genki desu ka?
Bagaimana dengan kisah Bloody Love kali ini, kalian menyukainya?
Maaf jika kisah ini tidak sesuai dengan apa yang kalian pikirkan, sebenarnya seharusnya ini jadi akhir kisahnya, tapi,,,,,, masih ada lagi🙂
Terimakasih telah membaca dan jangan lupa bantu share pada teman-teman lainnya.
Doumo arigatou gozaimasu.

Bloody LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang