DIBALIK TOPENG IBLIS

3 3 0
                                    

"kau pikir apa yang kau lakukan pada Permata hah?! Kau sahabatnya, ah tidak kau adalah melaikat pencabut nyawanya. Hei, pernahkah kau berpikir apa yang Permata rasakan di setiap detik hidupnya?! Aku mendengarkan semua ceritanya, luka fisik yang ia dapat dari ulah sahabatnya sendiri, kata-kata kasar hingga hinaan! Pernahkan kau berpikir seberapa besar penderitaan Permata selama ini, keluar masuk psikolog, rasa sakit, hingga halusinasinya?! Kau beruntung, Permata masih menggapmu sahabatnya," itu suara Reza, semakin banyak kalimat yang keluar dari mulutnya semakin tinggi pula nada bicaranya. Suara pria yang biasanya terdengar lembut kini berubah total, dingin dan tajam, dan hal itu berhasil membuat hati Sopi menciut, menangis dan ambruk di atas rumput. Di sisi lain, tepat di belakang tubuh jangkung Reza berdiri gadis sang pemilik nama yang hanya diam memperhatikan, meringis begitu mendengar pria itu membentak sahabatnya, itu bukan Reza yang dikenalnya.

"Seharusnya kau tak pernah dilahirkan," Reza mengumpat, beranjak dari posisinya tanpa memperdulikan Sopi yang terisak di tempatnya. Jangan tanyakan keberadaan Permata, karena sejak ia membuka matanya pagi tadi tak ada satu pun yang mendapati sosoknya, semua orang tuli akan suaranya, buta akan sosoknya. Tak peduli seberapa keras gadis bersurai bak jelaga itu berteriak, tak peduli seberapa lincahnya gadis bersurai bak jelaga itu melompat-lompat di depan semua orang.

"Maaf," Sopi bersuara, meraung-raung mengucap kata maaf berkali-kali. Permata menjadikannya objek utama, tak peduli lagi dengan sosok Reza yang telah berlalu di ujung jalan dengan mobilnya.

"Aku mohon maafkan aku, aku benar-benar minta maaf. Ku mohon."

Air mata permata tumpah, bibirnya bergetar menahan isak tangis. Tidak, tidak pernah ada lagi rasa sakit sejak pagi tadi, tidak pernah kecuali detik ini ketika kedua mata bulat bak biji buah lecinya mendapati Sopi yang meraung-raung di depan matanya.

"Ku mohon berhenti, aku baik-baik saja. Ku mohon berhenti Sopi," permata bersuara, sosok tanpa raga itu memeluk erat tubuh mungil yang ambruk di atas tanah, menangis. "Aku baik-baik saja, kau boleh memperlakukan ku sesukamu. Aku menyukainya, sungguh menyukainya. Aku tahu kau sudah berjuang keras melawan semuanya, aku tahu kau marah akan segala hal, dan setidaknya aku bisa membantumu. Aku bisa membantu sahabatku menjadi objek kemarahannya, ku mohon berhenti menyalahkan dirimu sendiri."

"Dia benar, dia benar bukan? Seharusnya aku memang tak pernah dilahirkan."

"Ku mohon hentikan."

●●●

Beberapa bulan lalu, Sopi mendapati tubuhnya dibanting dan ambruk di atas lantai dingin yang berdebu, meringis, luka di siku kirinya yang masih basah terbentur. Teriakan dari arah pintu berhasil membuat napasnya tertahan, menunduk, berusaha sekuat tenaga untuk menahan tangisnya. "Maaf, tapi aku tidak bisa bolos les karena ibu akan marah," Sopi bersuara, bercicit lebih tepatnya.

"Dan hari ini kau membuatku marah! Sudah berapa kali aku bilang berhenti mengikuti hal-hal tak berguna, kau pikir siapa yang membiayaimu hah!"

"Ma..."

"Ayah bilang berhenti menjawab!" Sopi tersentak, menunduk lebih dalam, takut.

"Dengar, kau seharusnya berterimakasih karena aku masih memberimu makan. Kau dengar itu hah?!" Pintu kayu di depan Sopi di banting, mengeluarkan suara berdebam keras yang lagi-lagi berhasil membuat tubuhnya bergetar ketakutan. Sopi merangkak ke arah pintu, berusaha berdiri dan meraih gagang pintu yang sudah jelas-jelas dikunci ayahnya dari luar. Untuk ketiga kalinya di minggu ini ia harus bermalam di dalam gudang kecil yang kotor, sendirian, tanpa ada satu pun cahaya yang masuk kecuali dari celah pentilasi udara di atas pintu.

"Aku minta maaf," Sopi terisak, meringkuk di ujung pintu dengan memeluk tubuhnya sendiri. Tidak ada yang bisa ia lihat disekelilingnya, percuma juga ia menyalakan saklar lampu di samping pintu karena ia tahu betul jika kabel lampunya sudah lama putus. Terpojok di tengah-tengah kegelapan membuat tubuhnya bergetar, bukan karena takut, melainkan isak tangis yang berlahan lepas.

Subuh paginya pintu tua itu baru bisa dibuka, setidaknya ayahnya membiarkan gadis itu pergi dan menggunakan kamar mandi sebelum sopir ibunya datang menjemputnya ke sekolah. Tidak bukan itu, pria paruh baya itu membuka pintu untuk menyuruh putrinya membuatkan makanan, menjadikannya bahan hinaan untuk dirinya sendiri dan pergi begitu saja entah kemana. Sopi menghela napas lega, setidaknya pagi ini penderitaannya tertunda karena kepergian ayahnya dan jam sekolahnya.

"Hari ini neng Sopi pulang ke rumah ibu ya neng?" Sopir pria berusia 39 tahun yang dipekerjakan ibunya itu bersuara sopan, tersenyum begitu Sopi menjawabnya dengan anggukan kepala dari jok belakang mobil.

"Bapak bawa pesanan saya yang kemarin kan?"

"Iya neng. Tapi untuk apa yang neng ke sekolah bawa bayi tikus? Maaf nih bapak tanya-tanya."

"Katanya untuk praktek," Sopi menjawab singkat, tersenyum dengan layar ponsel digenggaman tangannya, hari ini akan menjadi hari menyenangkan di sekolah pikir Sopi. "Oh ya pak, nanti jemputnya agak telat ya."

"Oke siap neng."

●●●

"Ku mohon lepaskan aku, bukankah bayi tikus pagi tadi sudah cukup," permata bercicit, terduduk di lantai toilet sebelum satu ember air membuat seluruh tubuhnya basah, meringis, ternyata satu ember air masih kurang, sisanya pukulan kecil dari ember kosong.

"Apa, kau pikir aku akan berhenti hah! Jika hidupku menyakitkan kenapa hidupmu tidak bisa!" Sopi bertetiak, matanya membulat dengan dada yang laik turun. "Apa kau tahu seperti apa rasa dinginnya lantai gudang yang gelap? Apa kau tahu seperti apa bentuk murkanya dari seorang ibu hanya karena alasan kau bolos les satu hati? Apa kau tahu rasa pukulan dari seorang ayah hah?!"

"Sopi..."

"Berhenti memanggil namaku! Kau pikir kau siapa hah?!" Tangan Sopi meraih surai indah milik permata, mencengkeramnya dengan kuat.

"Kami datang! Hei Sopi, biarkan kami bergabung juga. Ada satu ember air pel yang kami dapat di luar!" Suara lain menyahut, berhasil melukis senyum tipis di wajah Sopi dan membuka pintu toilet yang sebelumnya ia kunci.

"Masuklah, permata kecil kita sudah siap."

●●●

Konnichiwa minna, genki desu ka?
Kisahnya masih berlanjut ya, maaf nih di bab sebelumnya saya tidak bisa berkata apa pun.
Bagaimana apa kalian menyukai kisah untuk hari ini? Saya harap kalian hanya mengambil hal baiknya saja. Tapi bolehkan saya meminta sesuatu? Saya hanya ingin meminta pendapat kalian tentang keseluruhan dari kisah ini, bagaimana? Tadinya saya pikir kisahnya akan berakhir sabtu kemarin, tapi pikiran saya dijejali satu kisah lagi. Aaa maafkan Silma, Sima dan Shi-chan ini.
Terimakasih telah membaca, dan jangan lupa bantu share pada teman-teman lain.
Doumo arigatou gozaimasu.

Salam hangat dari Silma, Sima, dan shi-chan.

Bloody LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang