BERSELIMUT HUJAN

25 3 4
                                    

Kepala Zian mendongak menatap langit sore yang tampak tidak bersahabat, awan kelabu bersama hembusan angin yang menerpa tubuhnya berhasil membuat surai hitamnya berantakan. Bukan hanya surai hitamnya saja yang dibuat kacau, namun dedaunan kering yang jatuh di tanah ikut memeriahkan cuaca mendung dengan terbang tak beraturan di atas kepalanya.

Kepala Zian tidak lagi menengadah ke arah langit, tubuhnya terpaku di tempatnya berpijak sedangkan mata hitamnya membeku begitu mendapati eksistensi gadis bersurai bak jelaga itu meringingkuk di bawah pohon yang berada tepat di samping parkiran dengan seragam olahraga. Seperti hari hari yang telah berlalu, lagi-lagi Zian masih enggan untuk mendekat.

Angin dingin kembali menerpa tubuhnya, ada air mata sang langit juga yang tanpa izin jatuh di atas kepalanya dan membuatnya tersadar, ia harus segera tiba di rumah sebelum tubuhnya basah kuyup.

Zian berlari secepat yang ia bisa dengan tas yang diletakkan di atas kepala agar tubuhnya tak basah kuyup, setidaknya ia bersyukur tas sekolah miliknya dilengkapi dengan jas anti air yang akan melindungi buku-buku sekolahnya dari air mata sang langit.

"Kenapa aku harus lupa untuk membawa jas hujan atau payung," Zian menggerutu, terduduk di bangku kosong yang disediakan ibu-ibu warung yang ia kunjungi untuk ikut berteduh selama beberapa saat sampai hujannya reda. Sepatu sekolahnya basah dengan celana bagian belakangnya yang kotor terkena cipratan air.

Sepuluh menit remaja pria itu berdiam diri di warung kecil tidak membuat cuaca berbaik hati padanya dengan menghilangkan awan-awan gelap itu dan mengembalikan sinar sang surya di sore hari, Zian mendengus, beberapa kali memeriksa buku-buku sekolahnya.

"Sepertinya hujannya tidak akan reda dalam waktu cepat, sebaiknya den ini nunggu di dalam saja," ibu-ibu gendut penjaga warung bersuara ramah, dengam baju daster yang membalut tubuhnya ia terlihat sibuk dengan teko panas yang sepertinya berisi teh yang baru saja ia buat.

"Tidak terimakasih bu," Zian menjawab sopan, tersenyum.

"Ini ada teh, siapa tahu bisa hangatkan badannya den kasep," Zian mengangguk, menerima segelas teh hangat yang diberikan ibu-ibu gendut pemilik warung untuknya.

Ujung bibir Zian tertarik begitu telapak tangannya menyentuh permukaan gelas yang hangat, meniupnya beberapa saat dan menyesapnya.

"Terimakasih bu," Zian meletakkan gelas yang hanya menyisakan setengah air teh di dalamnya, menatap ke depan untuk kembali memperhatikan derasnya hujan.

Lima menit berlalu dan hujan masih tidak berniat untuk berdamai dengannya, tiga menit berikutnya mata hitamnya kembali dibuat terbelalak dengan kehadiran gadis bersurai bak jelaga lewat di depannya dan menerobos hujam tanpa peduli dengan tubuhnya yang basah kuyup. Zian ingin bersuara, hampir bersuara memanggilnya sebelum ucapannya lenyap di ujung lidah. Lagi-lagi ia tidak cukup berani meski hanya untuk memanggil nama gadis itu.

Zian berbenah, kembali menggendong tas sekolahnya dan izin pulang pada ibu-ibu gendut pemilik warung. Berlari, tak peduli dengan celana seragam sekolahnya yang sudah benar-benar tak karuan terkena cipratan air untuk mengejar gadis bersurai bak jelaga yang berjalan jauh di depannya.

Napas Zian tak karuan, remaja pria itu kini tidak lagi berlari dan justru terlihat berjalan pelan untuk tetap menjaga jarak dari gadis bersurai bak jelaga yang berjalan tak jauh dari tempatnya. Gadis itu terlihat begitu tenang meski seluruh pakaian dan tas sekolah yang ia kenakan basah kuyup, mungkin ia juga tidak akan peduli begitu mendapati seruruh isi tas sekolahnya ikut basah karena ulahnya menerobos hujan.

"Kenapa tak pernah bersuara? Aku bukan sosok pengganggu yang akan mengganggu teman sekelasku sendiri," gadis bersurai bak jelaga itu bersuara, menghentikan langkah kakinya dan hal itu sukses membuat Zian terkejut dan mematung di tempatnya. Zian menunduk, tak berani menatap mata bulat gadis di depannya yang selalu ia pandang secara diam-diam tanpa sepengetahuan gadis itu.

"Kau teman yang baik Zian, terimakasih," gadis itu tersenyum, berbalik dan kembali melanjutkan perjalanan pulangnya. Sedangkan Zian, jangan tanyakan pasal remaja pria itu. Dengan pipi memerah remaja bernama lengkap Zian Naufal itu masih mematung di tempatnya, menggosok kedua telinganya dengan telapak tangan seolah-olah bertingkah jika ia tidak mempercayai apa yang baru saja ia di dengar telinganya.

●●●

Pukul enam pagi, Gadis bersurai bak jelaga itu mendapati permukaan mejanya penuh kata-kata kasar yang ditulis dengan kapur, kursi tempatnya duduk ditempeli beberapa permen karet bekas dan beberapa sampah plastik di atasnya. Ia menghela napas, membersihkan tempat duduknya sebelum menjatuhkan bokongnya di atasnya. Sapu tangan yang tak pernah ia lupakan dikeluarkan dari saku rok sekolahnya, membersihkan coretan kapur di atas permukaan meja.

"Apa ada sampah di kolong mejamu untuk dibuang?" Seruan sesorang dari samping berhasil membuat gadis bersurai bak jelaga itu mendongak dan menatapnya. Ia mendapatinya, taman sekelasnya bernama Zian berdiri di samping mejanya dengan tempat sampah kecil di tangan.

"Terimakasih," gadis itu menjawab pelan dan memasukkan semua sampah di kolong mejanya ke dalam tempat sampah yang diasongkan Zian. Tidak, dia bukan gadis yang jorok yang membuang sampah sisa jajanan istirahat di kolong meja, itu bukan ulahnya melainkan ulah teman sekelasnya yang mungkin akan lebih tepat jika ia menyebutnya kebiasaan teman sekelasnya.

Gadis bersurai bak jelaga itu tidak pernah merasa kaget dengan kolong meja yang penuh dijejali sampah setiap pagi, kecuali satu hal yaitu bangkai tikus yang beberapa hari ini selalu hadir disana dan membuatnya menjerit. Itu kebiasaan baru teman-teman sekelasnya.

"Apa yang kau lakukan Zian, biarkan tempat itu seperti itu. Bukankah itu tempat sampah!" Seruan dari arah lain masuk ke telinga semua orang yang berada di dalam kelas, gadis bersurai bak jelaga menunduk, Zian menoleh ke asal suara dan menyahut, "ini jadwal piketku, aku tidak mau kena marah guru!"

"Kau terlalu naif Zian, kalau begitu kau masukkan saja gadis itu ke dalam tempat sampah sekalian! Bukankah dia juga sampah!"

Zian memalingkan wajahnya dari teman sebangkunya itu, mendengus tak suka dan memperhatikan gadis bersurai bak jelaga di depannya yang menunduk dalam. "Jangan didengarkan, bersihkan kolong mejamu dan masukkan semua sampahnya ke sini."

●●●

Konnichiwa minna! Genki desu ka?
Kita bertemu lagi di kisah Bloody love ini. Bagaimana kelanjutan kisahnya? Saya harap tindakan teman-teman gadis bersurai bak jelaga itu tidak ada yang menirukan, dan tidak boleh ditiru.
Terimakasih yang sudah membaca kisah ini dan jangan lupa share pada teman-teman lain.
Doumo arigatou gozaimasu.

Salam hangat dari Silma, Sima, dan Shi-chan.

Bloody LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang