IBLIS

22 3 3
                                    

Ribuan pemikiran yang tak satu pun dimengerti gadis bersuai bak jelaga itu berkecamuk di kepalanya, luka di tangan kanannya sudah dibalut plester yang diberi obat merah namun dadanya masih terasa sesak. Ia tidak mengerti, apakah sesak ini akibat ulah teman-teman sekelasnya yang beberapa kali selalu memukul sampai menginjak tubuhnya atau karena hal lain. Kepalanya masih terasa pusing, mungkin akibat benturan yang didapatnya saat kejadian di toilet beberapa jam lalu.

"Bunda, aku ingin pulang. Aku ingin semuanya kembali seperti dulu," gadis itu bercicit pelan di bawah pohon mangga tepat di belakang kontrakan rumahnya yang masih tersisa, sejak ayahnya dikurung di balik jeruji besi semua aset yang dimiliki keluarga habis disita, hanya tersisa dua kontarakan kecil yang saat ini salah satunya ia tinggali sendirian.

Gadis itu memang masih bisa bertahan tanpa kedua orang tuanya, dari uang kontrakan setiap bulan ia menggunakannya untuk membayar uang sekolah dan untuk mengisi tubuhnya yang semakin hari semakin kurus ia bekerja sebagai model majalah remaja yang ia lakoni sejak duduk disekolah dasar dulu.

Gadis bersurai bak jelaga itu diam ketika angin senja membelainya lembut, anak rambutnya yang tidak terikat menari dengan gemulai mengikuti irama angin. Tubuh gadis itu jatuh terduduk di bawah pohon, menunduk, mencoba sebisanya untuk menenangkan dirinya sendiri.

Beberapa menit terdiam dengan posisinya akhirnya gadis bersurai bak jelaga itu berhasil mengendalikannya, mendongak, menatap tiga nama anak kecil yang terukir di batang pohon mangga dengan mata bulat bak biji buah lecinya.

Angin senja kembali membelainya lebih lembut dari sebelumnya, gadis itu memalingkan penglihatannya dari ukiran nama di depannya, perpaling dan memilih untuk menjadikan rumput liar disekelilingnya sebagai fokus utama. Dadanya kembali sesak, penglihatannya kabur sebelum suara tawa anak kecil masuk dan memenuhi seluruh pendengarannya.

Gadis bersurai bak jelaga itu menutup kedua telinganya dengan telapak tangan, memohon agar tuhan membuat telinganya tuli akan suara tawa tiga anak kecil yang sangat familiar di telinganya.

"Coba pakai jepit rambut, pasti akan terlihat lebih menggemaskan."

"Ah benarkah? Bagaimana jika bando?"

"Itu bagus, akan lebih baik jika ditambah lensa kontak untuk membuat matamu lebih indah."

Suara-suara itu semakin kencang, gadis bersurai bak jelaga meringis, mencoba lebih kuat menekan telapak tangannya ke telinga, berdoa agar suara-suara itu hilang dari pendengarannya.

"Kenapa kau begitu menggemaskan?!"

"Kenapa kau masih tanpak cantik meski jatuh miskin?!"

"Kenapa kau lebih manis dari pada kami heh?!"

Suara celotehan riang tiga anak kecil berubah, masih dengan pemilik suara yang sama namun dengan orang yang jiwa kemanusiannya seolah lenyap dalam kurun waktu satu tahun. Gadis bersurai bak jelaga itu tentu saja mengenali suara-suara itu, jauh dari kata menganal karena sejak usianya masih lima tahun suara celotehan merekalah yang membuatnya tertawa, suara celotehan merekalah yang membuatnya tahu arti kata pertemanan. Namun, saat ini ia mengenal suara celotehan itu sebagai suara para penjabut nyawa, suara para iblis yang selalu menyeret tubuhnya pada jurang kematian.

Gadis bersurai bak jelaga itu terisak, maringkuk di atas karpet rumput liar sebelum berusaha sekuat tenaga untuk menenangkan dirinya beberapa menit kemudian. Air matanya tidak lagi keluar dari kelopak matanya, napasnya masih naik turun namun isak tangis hilang dalam waktu beberapa menit. Gadis bersurai bak jelaga itu bangkit, melangkah pelan ke arah batang pohon mangga untuk melihat lebih dekat tiga nama yang terukir disana. Kembali menenangkan dirinya, ia harus belajar menerima eksistensi tiga nama yang terukir dipermukaannya.

"Aku merindukan kalian yang dulu."

●●●

"Apa itu bayi tikus? Dari mana kau mendapatkannya?" Suara gadis berambut pendek yang selalu mengikutinya sejak tiba di sekolah masuk ke pendengaran Sopi yang sibuk dengan coretan di meja dan meletakkan seekor bayi tikus di atanya, Sopi tersenyum berjalan santai ke arah mejanya sendiri dan menjatuhkan bokongnya di atas kursi.

"Aku meminta sopirku untuk mencarikanku hewan menjijikan itu, bukankah dia mirip permata kecil kita," gadis itu tertawa, teman gadis yang ia kenal sejak usia lima tahun itu juga ikut tertawa.

"Bukankah dulu kalian itu berteman baik?" Suara lain menyahut, itu Lutvia, gadis yang memiliki bola mata bulat dengan bulu mata lentiknya itu hari ini membiarkan rambut panjangnya tergerai. Tersenyum kecil menyapa dua teman sekelasnya yang baru saja datang.

"Seperti itulah," Sopi menjawab dengan bahu terangkat, merilik meja di barisan tengah yang terlihat paling kacau dari meja lainnya. "Dia selalu lebih unggul satu langkah dari kami, langkahnya yang gaib membuat kami tak pernah bisa menjadi yang lebih unggul dari padanya. Sampai hari ini, meski ayahnya masuk jeruji dan semua aset yang dimilikinya hilang ia tetap unggul. Wajahnya selalu terpampang jelas di majalah-majalah remaja. Aah, kau membuatku ingin merusak wajah manisnya itu Lutvia."

"Maaf," Lutvia menjawab pendek, berjalan ke arah mejanya di bagian belakang.

Namun hari ini, semua orang di kelas kehilangan sosok gadis bersurai bak jelaga itu. Tidak ada pagi hari yang dibuka dengan jeritan tertahan gadis bersurai bak jelaga yang menemukan bangkai tikus atau bayi tikus yang diletakkan Sopi di atas mejanya, tidak ada suara helaan napasnya yang selalu terdengar memilukan. Karena hari ini, untuk pertama kalinya gadis bersurai bak jelaga itu tidak hadir dengan alasan demam. Sungguh konyol, mungkin seperti itulah umpatan dalam diam dari teman-teman sekelasnya yang gagal untuk bermain-main bersama gadis bersurai bak jelaga mereka hari ini.

Namun begitulah nyatanya, dalam kamar kontrakan berukuran kecil gadis itu meringkuk di bawah selimut, terisak.

"Bunda, bantu aku," gadis itu bercicit di kamar kecil kontrakannya, kedua daun telinganya disembunyikan di bawah bantal, meringis, suara-suara yang menyerukan kata-kata kasar padanya memenuhi indra pendengarannya.

Suhu badannya tinggi, dadanya naik turun mengendalikan napasnya yang tak karuan. Malam ini hujan turun mengguyur bagian kecil dari bumi, suara air hujan yang pecah menabrak jendela menjadi melodi di malam yang dingin. Gadis bersurai bak jelaga terisak dalam tidurnya, tak berhenti menangis meski kelopak matanya sudah terpejam sejak beberapa menit lalu.

●●●

Konnichiwa minna! Genki desu ka?
Kisahnya masih berlanjut ya, saya harap kalian menyukainya. Cerita sedikit, pasal bayi tikus itu sebenarnya pengalaman saya sendiri. Oh tidak tidak, saya tidak mengalami hal yang dialami gadis bersurai bak jelaga itu, saya harap tidak akan pernah. Saya pernah menginjak bayi tikus begitu bangun dari tempat tidur. Terkejut, oh sudah pasti. Tapi rasa gelinya itu...
Oke, terimakasih sudah membaca dan jangan lupa bantu share pada teman-teman lain.
Doumo arigatou gozaimasu.

Salam hangat dari Silma, Sima dan Shi-chan.

Bloody LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang