Heaven ; 3

721 85 12
                                    

Hanya bisa menahan dan terus bertahan saat balok kayu itu dipukulkan tepat di seluruh punggung Jungkook. Meringis sampai menangis, karena tak bisa melakukan apa-apa. Bodoh, harusnya Jungkook sudah melarikan diri dari dulu.

"Kau tidur di gudang!"

Jungkook mengeluarkan sebuah foto dari saku hoodienya, foto yang selalu dia bawa, sampai lusuh, dirinya dan Jimin. Mereka terlihat bahagia. Sampai Jimin pergi dua hari yang lalu, meninggalkan Jungkook sendiri.

"Hyung, aku tidak kuat."

Malam ini Jungkook bertekad, akan keluar dari neraka ini. Dia sungguh tak tahan berjuang sendirian. Dengan tertatih-tatih, Jungkook perlahan mengendap-ngendap menuju hutan terdekat. Jalur pelarian paling sempurna. Disepanjang perjalanan Jungkook merasakan nyeri hebat di punggungnya, gerakkan tubuhnya pun sulit dikontrol. Kepalanya pun terasa sakit.

Walaupun begitu, dia memaksakan diri. Pelan tapi pasti Jungkook mulai sulit bernapas, hingga terbatuk-batuk. Tumbang, Jungkook akhirnya tak mampu menahan semuanya. Saat Jungkook pingsan, dia terperosok jatuh, berguling menuruni bukit dengan cepat, dan berhenti tepat di tengah jalan. Hampir saja Jungkook tertabrak mobil, jikalau sang pengemudi tak menginjak rem.

"Hei, kau bisa dengar aku?" Samar, Jungkook mendengarnya. Seorang pria tengah mengecek kondisinya. "Masih ada denyut, meskipun lemah."

"Bawa saja ke rumah sakit, sayang," ujar seorang wanita.

"Ayo, masukkan ke mobil." Pria paruh baya membantu pria muda mengangkat Jungkook. Setelah itu, Jungkook tak merasakan apapun itu, pada tubuhnya juga pada kesadarannya.

🍁🍁🍁

Seokjin masih duduk berhadapan dengan pemuda yang Jungkook panggil Jimin. "Kau, Park Jimin?"

"Ya, bagaimana anda tahu?" Terhenyak, Seokjin tak menyangka, didepannya kini adalah Park Jimin.

"Panjang ceritanya. Tapi kenapa kau tidak mengenal Jungkook?" Seokjin kembali menggali informasi lebih dalam. Siapa tahu, dia dapat sesuatu yang benar-benar dia butuhkan.

"Haruskah?" Apa? Haruskah? Jawaban macam apa itu? Seokjin mengepalkan tangannya, hingga buku jarinya memutih, rasanya Jimin satu ini mulai memancing emosi dengan perkataannya. "Aku bahkan tidak mengenal dia."

"Tidak mengenal? Bukankah kalian satu ㅡ,"

"Hyung!"

"Jungkook!" Seokjin berlari mendekati Jungkook, sepertinya Jungkooknya tengah bermimpi buruk. Terlihat titik-titik keringat di dahi dan pelipisnya, bahkan rambutnya sudah lepek.

"Tolong aku,"

"Jungkook bangun!" Berhasil membuka matanya, Jungkook terlihat gusar, matanya mencari-cari sesuatu. "Kau mencari siapa, eung? Hyung disini."

"Jimin Hyung," Seokjin ingin menangis, mengingat obrolan singkat namun belum terselesaikan tadi.

Menggeleng, Seokjin mencoba menenangkan Jungkook dengan memeluknya erat. "Dia bukan Jimin Hyungmu,"

"Tidak Hyung, pasti dia Jimin Hyung. Apa dia masih disini?"

"Dia sudah pergi." Terlihat dari luar jendela klinik. Jimin pergi dengan sepedanya. Pasalnya, Seokjin tak melihat Jimin keluar tadi.

"Hyung! Kenapa Hyung tak menahannya! Kenapa membiarkan Jimin Hyung pergi?!" Seokjin benar-benar tak tahan, kelemahannya adalah, saat Jungkook menangis seperti sekarang. Menangis karena rindu.

🍁🍁🍁

Sepulang dari klinik, Jungkook hanya diam memainkan rubik 3 x 3 di tangannya. Seokjin sudah memberi tahu Jungkook. Jungkook benar-benar tidak paham, apa semudah itu melupakan Jungkook? Sesak, Jungkook membuang muka ke arah jendela, saat likuid bening kembali membobol pertahanannya. Seokjin tahu, kalau Jungkook menangis lagi. Dia sangat tahu, adiknya ini berhati sangat lembut. Mungkin, kalau Seokjin jadi Jungkook pun akan begitu. Hidup Jungkook sudah sulit sejak kecil.

Luka kecil masih bertengger di muka mulus Jungkook. Tak merubahnya menjadi jelek. Jungkook masih tampan dan juga manis. "Hyung akan berusaha mencari informasi Jimin nanti. Tapi, bisakah kau tersenyum untuk Hyung?"

Jungkook terpaku mendengar rentetan kalimat Seokjin. "Hyung rindu Jungkook yang sering tersenyum untuk Hyung, akhir-akhir ini, kau selalu menekuk wajahmu. Hyung tidak suka itu. Bisakah? Bolehkah?"

"Maaf Hyung," Jungkook kembali sadar, mungkin Jungkook terlalu egois. Hanya memikirkan perasaannya sendiri. "Aku akan berusaha lebih baik lagi."

"Jangan berusaha, lakukan sebisamu, jangan paksa dirimu. Jadilah apapun yang kau mau, bukan jadi apa yang orang lain mau." Seokjin mengakhirnya dengan senyuman, seraya mengusak rambut Jungkook lembut. "Kita sampai lagi di rumah."

Seokjin tahu, Jungkook adalah orang yang sangat butuh perhatian. Tapi, dia juga melatih Jungkook agar tak terlalu bergantung, meminta perhatian pada orang lain.

🍁🍁🍁

To be continued

Hoiland

Wonosobo, 2019 Juni 11

24/7 = Heaven [끝]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang