Jungkook tidur dalam gelisah. Entah apa yang tengah hatinya rasakan. Seperti ada desakan, terus memikirkan Jimin. Karena tersentak, Jungkook memilih membuka matanya. Ternyata, hari mulai terik, matahari sudah berada pada titik kulminasi.
"Kook-ah," Jungkook mengalihkan fokusnya pada Seokjin yang tengah berjalan, mendekati Jungkook. "Mau bertemu Jimin?"
🍁🍁🍁
Senyum itu telah kembali. Apakah mereka sanggup merenggutnya kembali dari wajah paling manis itu. Senyum si pemilik gigi kelinci itu bahkan telah menjadi candu bagi Jimin. Bagaimana bisa Jihoon tega mengambilnya?
"Kau mau bertemu Jimin? Ah! Maksudku Jihoon. Ya, kau mau bertemu Jihoon kan?"
"Jihoon?" Alis Jungkook menukik tajam. "Siapa Jihoon?"
"Jimin yang kau cari."
Tidak mengerti sama sekali, Jimin yang Jungkook cari? Bukankah Jimin ada di hadapannya sekarang? Jimin yang berbeda, dalam arti tidak mengenal Jungkook, tapi lebih dari itu, Jungkook bahkan sangat bahagia Jimin mau mendatanginya.
"Kau akan tahu nanti."
🍁🍁🍁
Titik-titik hujan mulai mendarat di tubuh Jungkook dan yang lain. Seperti sengaja mengejek, menambah kesan menyedihkan untuk Jungkook atau malah berguna menutupi air mata yang terus meleleh, lalu bercampur dengan air hujan.
"Hyung," Jungkook tengah kehilangan kalimatnya. Dia menunggu seseorang yang bahkan sudah tiada? Jungkook memukul dadanya, karena rasanya sesak, ada sesuatu yang menghimpit paru-parunya, membuatnya susah bernapas. "Kenapa Hyung pergi? Hyung belum menepati janjimu, Hyung!" Bahu Jungkook semakin bergetar hebat, naik turun tak terkendali, isakannya semakin kencang, bahkan setelah Seokjin memeluknya. Itu sama sekali tak berguna.
"Hyung!"
Tak terkecuali bagi keluarga Jihoon, untuk ketiga kalinya mereka mendatangi makam putranya, rasanya masih sama seperti pertama kali. Terpukul pastinya, bukan hanya Jungkook saja yang menderita. Bukan tanpa alasan, mereka setuju memberitahu Jungkook, kenyataan yang terjadi. Ini semua juga demi dirinya, agar tak terus-terusan menunggu Jihoon.
Jimin yang Jungkook kenal, kini sudah tidak ada, hanya kenangan yang tertinggal. Yang biasa menemani Jungkook menggambar, saling menjadi obat setelah sama-sama dipukul oleh wanita gila yang menjuluki dirinya sebagai ibu panti.
Keduanya adalah berlian yang selalu bersinar, walaupun sama sekali tak ada cahaya. Ketika salah satu sinar mereka redup, akan ada salah satu yang membaginya, mentransfer melalui semangat dan senyuman. Namun, kini, setelah berlian bernama Jihoon itu hancur menjadi debu. Berlian yang sama pun tengah menunjukkan retaknya.
"Hai, aku Jungkook, siapa namamu?" yang diajak berkenalan tak pernah menjawab. Tak pernah menunjukkan suaranya. Sampai akhirnya, diusia tujuh tahun, dia berucap, kalimat pertamanya.
"Jimin,"
"Jimin? Namamu Jimin?" bocah kecil itu mengangguk lucu.
"Park Jimin."
Masih menangis, memegang kepalanya erat, dalam sela waktu yang lama. Jungkook masih belum bisa ditemui. Dia dalam kondisi terburuknya, melebihi sedihnya waktu dia divonis lumpuh, karena cedera saraf tulang belakang. Akibat penyiksaan yang dia terima di panti.
"Hyung, haruskah aku pergi? Agar aku bisa bertemu denganmu?"
🍁🍁🍁
"Kalau kata ahli, mungkin Jihoon terkena trauma. Disaat tersesat, dia memanggil nama Jimin, atau yang dia ingat hanya Jimin. Maka dari itu, Jihoon tak sadar mengakui dirinya Jimin."
Jungkook mendengar samar obrolan seorang dokter dan Seokjin dari dalam bangsal. Setelah percobaan bunuh dirinya, menenggelamkan diri dalam bath tub, Jungkook dirawat di rumah sakit. Diawasi selama 24 jam. Takut kalau-kalau, Jungkook melakukan hal yang ekstrim lainnya.
Membuang mukanya, saat Ibunya menyodorkan satu sendok bubur ke depan mulut Jungkook. "Aku mau pulang."
"Oh! Jimin!" Seru Ibu Kim. Ingin membuat atensi Jungkook teralihkan, tapi nihil. Tak ada hasil. Jungkook terus menunduk, kembali dengan rubik kesayangannya.
"Hai, Kook." Jimin tahu, tak akan ada respon. Meskipun wajahnya dengan Jihoon sama, bukan berarti Jihoon bisa tergantikan oleh kehadirannya.
"Bagaimana kalau aku mengabulkan 24/7 = heaven Jihoon, untukmu?"
🍁🍁🍁
To be continued
Hoiland
Wonosobo, 2019 Juni 14.