Wajah seorang pria tak dikenal yang pertama kali Jungkook lihat. Netranya mengerjap-ngerjap, kala cahaya terang terasa menusuk di mata.
"Kau bangun?" Suaranya begitu lembut, "siapa namamu?"
Lirih, "Jungkook. Jeon Jungkook."
🍁🍁🍁
"Kook-ah," panggil Seokjin pelan. "Bangun, sudah sampai." Jungkook menyipitkan mata dan memalingkan sedikit wajahnya, akibat merasa silau. Setelah beradaptasi, Jungkook mulai mengedarkan pandangan. Disaat yang sama, Seokjin sudah menyiapkan kursi roda milik Jungkook dan siap menggendong dirinya.
"Ini dimana Hyung?" Seokjin masih diam, dan terus mendorong kursi roda Jungkook, seraya senyum lebar, terus menarik sudut bibir Seokjin. Rumah tradisional Korea, tapi terlihat sangat mewah. Jungkook saja terperangah melihatnya, halaman yang luas, tapi sejuk, karena banyaknya pohon.
"Ini rumah keluarga kita, Kook." Hampir saja menjatuhkan rahangnya. Ternyata keluarga Seokjin lebih kaya dari dugaannya. Kenapa mereka tidak memberi tahu keadaan mereka yang sesungguhnya? Apa karena takut Jungkook akan merebutnya? Hah! Jangan berpikir konyol, Jungkook!
Padahal rumah yang mereka tempati di pusat kota, Seoul, tidak semewah yang ada dihadapannya saat ini. Beruntungnya Jungkook. "Memang jauh dari hiruk pikuk kota, tapi itu lebih baik."
Letaknya memang bukan di kota, tapi tidak bisa di sebut desa, karena jajaran rumah mewah di sekitarnya, jangan lupakan itu. Anggap saja komplek kawasan elit. Tak berhenti sampai disitu, kedua pemuda beda usia itu sudah disambut bungkukkan sembilan puluh derajat, para maid dan bodyguard.
"Tuan muda Seokjin, semua sudah siap. Silahkan." Tutur seorang kepala maid, dengan wajah damainya, wanita yang hampir berkepala lima itu masih setia bekerja pada keluarga Kim. Dedikasinya yang tinggi membuat dirinya tidak sanggup untuk tidak membantu disana. "Dan tuan muda Jungkook, panggil saja saya Bibi Han." Jungkook hanya menganggukkan kepalanya polos, tanpa mengedipkan mata. Benar-benar membuat Seokjin gemas, ingin menggigitnya.
"Terima kasih, Bibi."
🍁🍁🍁
Sepertinya Seokjin sedang hobi sekali mengajak Jungkook jalan-jalan. Iya, sekarang mereka berada di sebuah desa terdekat. Tak mengapa, sih. Dengan pekerjaannya sebagai jaksa, yang menuntut tuntasnya sebuah kasus, membuat Seokjin susah sekali mendapatkan cuti. Apalagi, Seokjin termasuk dalam daftar jaksa yang paling dicari. Artinya, waktu Seokjin untuk Jungkook sekarang, lebih banyak, ditengah kesibukannya.
Jungkook lagi-lagi dibuat terdiam, oleh tingkah Seokjin. Yang kali ini, Hyungnya itu sedang mengeluarkan beberapa alat melukis. Jungkook sudah duduk manis, di kursi rodanya, dibawah pohon besar nan rindang. Menghadap lapangan luas, dengan view pegunungan dibelakang pemukiman warga.
"Hyung, kejutan apa lagi setelah ini?" Seokjin menampilkan raut wajah ㅡ pura-pura berpikir, lalu mengedikkan bahunya. Jungkook cuma mendesah.
"Terima kasih, Hyung."
"Kau tidak perlu berterima kasih, Kook. Sudah seharusnya, ini adalah kewajiban Hyung, Ayah, dan Ibu membuatmu bahagia."
Inilah alasan Jungkook tak mau masuk sekolah atlet. Pecinta komik satu ini juga pembuat komik. Sehari berkutat dengan pensil, kertas, maupun tablet grafis, itu sudah menjadi surga untuk Jungkook. Dia memajang hasil karyanya di blog miliknya. Dengan bantuan media sosial membuat blognya lumayan ramai pengunjung. Jungkook akan tersenyum kala banyak yang merespon, meskipun itu kritikan.
"Hyung memberimu tantangan." Jungkook sudah duga itu, pasalnya, ada cat minyak disana. "Biasanya kamu menggambar dengan alatmu di rumah, kan? Sekarang, gambar apapun disitu," menunjuk kanvas yang sudah siap untuk ditaburi warna, sewarna hati milik Jungkook. "Mulailah."
Walau diam, Jungkook segera meraih beberapa warna dan mengeluarkan isinya. Dengan terampil, Jungkook menyatukan kuas dan cat warna, memutarnya perlahan, lalu menggoreskannya pada kanvas. Seokjin belum tahu Jungkook mau melukis apa, karena memang belum kelihatan.
Hampir dua jam, tangan Jungkook bahkan sudah dipenuhi cat. Lukisannya telah terlihat, belum sempurna. Tapi sudah bisa dilihat dengan jelas. Malam penuh bintang, dengan gradasi warna biru, dengan titik-titik kuning. Sangat cantik.
Gerakan tangan Jungkook seketika terhenti oleh sebuah tawa renyah yang menyapa gendang telinganya. Tawa yang sangat dia kenal.
"Jimin Hyung," gumamnya. Jungkook memutar kepalanya, mencari sumber suara yang barusan dia dengar.
"Kau cari apa Kook?" Kini mata Jungkook menangkap seseorang yang tengah bersepeda. Tanpa pikir panjang, Jungkook membuang palet beserta kuasnya. Tangannya bergerak gusar memutar roda dengan kecepatan maksimal.
"Jimin Hyung!" Tak dinyana, orang itu berhenti dan menoleh. Jungkook makin gencar mempercepat kursi rodanya, ke arah dimana orang yang mirip, ah! Bukan mirip lagi, sepertinya memang Jimin Hyungnya.
"Kau memanggilku?" suara itu, masih sama. Wajah itu tidak ada yang berbeda, hanya pipi gembulnya saja yang menghilang. Jungkook hampir menangis saat melihatnya.
"Jimin Hyung,"
"Maaf, kau ini siapa?" bagai tercabut nyawa Jungkook mendengarnya.
Tertawa hambar, "Hyung, kau bercanda? Aku Jungkook, kau bercanda, kan? Aku menunggumu, Hyung."
"Maaf, aku tidak tahu siapa kau," orang itu perlahan mengayuh sepedanya kembali, mengabaikan Jungkook yang mulai meninggalkan jejak basah di pipinya.
"Hyung!" Tak menyerah, Jungkook terus mengejar orang itu. Seokjin bahkan terlihat kewalahan memburu Jungkook. Tanpa Jungkook sadari, terdapat jalan pendek, tapi menurun. Matanya membola saat dirinya tidak dapat mengendalikan kursi rodanya. Meluncur bebas, hingga menabrak pembatas jalan. Jungkook berguling beberapa kali, membuatnya tergeletak lemas di aspal. Namun, kejadian itu, membuat orang itu kembali pada Jungkook.
"Hyung,"
🍁🍁🍁
To be continued
Hoiland
Wonosobo, 2019 Juni 10