Lima

572K 19.6K 437
                                    

Selamat malam, selamat beristirahat dan selamat membaca semua. Semoga kalian suka dengan bab ini 💕

===

"Brengsek!"

Zeva menjauhkan ponsel, makian Xavier membuatnya sangat terkejut. Pelan-pelan dia merosot dan terduduk, kakinya tak sanggup lagi menahan beban.

Menelan ludah gugup, Zeva berkata, "Pilih sekarang Pak, atau saya akan benar-benar melaporkan ini pada orang tua Bapak dan Bu Aera."

Zeva memejamkan mata, dia mengurut dadanya yang berdebar. Ini sangat mengerihkan. Jika dia gagal mengancam Xavier bisa jadi lelaki itu akan semakin mengerihkan.

"Berani-beraninya kamu mengancam saya."

Kemurkaan Xavier membuat Zeva menggigiti bibir bawahnya.
"Ingat Pak. Saya masih memiliki nomor pribadi ayah dan ibu Anda. Saya juga memiliki nomor Bu Aera," kata Zeva sembari mengusap keringat di kening.

Suara ribut di sana, membuat Zeva menahan napas untuk beberapa detik. "Kalau bapak berani turun, saya akan benar-benar melaporkannya Pak. Bapak dengar ini"

Zeva merogoh ponsel lain miliknya, dia memainkannya beberapa detik sebelum menempelkan kedua benda tersebut.

"Ada apa Zeva, tumben hubungi Ibu,"

Tanpa menyahut, Zeva langsung mematikan sambungan. Dia berharap Ibu Emma nama ibu Xavier tidak marah padannya. "Bagaimana Pak?"

"Saya akan membunuhmu!"

Zeva memejamkan mata, dia merinding memdengar kemarahan Xavier. "Saya beri waktu dua menit, jika mereka belum pergi juga saya akan benar-benar memberi tahu keluarga Bapak. Bu Aera yang akan saya beri tahu pertama kali, dia pasti akan senang sekali mengetahui kekasihnya memiliki anak dengan wanita lain." Dia langsung memutus sambungan, jantungnya berbebar dengan sangat kuat.

"Zeva... Zeva!" Xavier berteriak marah, dia mengumpat dan menendang udara kosong.

Menarik napas panjang, ponsel di tangannya kembali berdering. "Apa lagi!!" Xavier berteriak marah.

"Ada apa denganmu?"

Bentakan dari seberang membuat Xavier langsung melihat layar ponsel, dia mengeram jengkel tanpa ketara. "Maaf sayang. Aku kira tadi siapa."

Xavier mengumpati kebodohannya, bisa-bisanya dia membentak Aera.

"Kamu ini,"

Mengaruk kepala, Xavier kembali berkata, "Maaf-maaf. Ada apa menghubungiku."

Xavier bukanya tak senang sang kekasih menghubunginya, tapi kini situasinya sulit. Dia harus berpikir dan bertindak dengan cepat agar hubungannya baik-baik saja.

"Memangnya aku tidak boleh menghubungi kekasihku sendiri. Kamu sebenarnya sedang apa? Ayo mengaku, apa yang kamu lakukan sekarang."

"Tidak ada aku sedang menunggu kabar dari bawahanku saja." Xavier memejamkan mata, dia telah berbohong pada Aera.

"Bohong... ini kan hari libur."

"Ayolah sayang, aku tidak mungkin berbohong padamu."

Tidak ada sahutan lagi dari Aera, gadis itu merajuk karena dia telah membentaknya. "Halo, Sayang."

"Sudahlah aku tutup saja."

"Tidak. Ada apa sebenarnya?" Xavier menyandarkan kening ke pintu, dia tersenyum dan kembali meminta maaf sebelum benar-benar memutuskan sambungan.

Menarik napas panjang, Xavier memilih menghubungi anak buahnya. "Tinggalkan tempat ini."

"Maaf, Pak."

Xavier memutar mata, kesal dengan kebodohan anak buahnya. "Tinggalkan tempat ini sekarang juga." Ulangnya sekali lagi.

Ini memang bukan pilihan bijak, tapi dia tidak memiliki jalan lain untuk saat ini. Biarkan Zeva merasa aman, karena dia akan benar-benar menghilangkan janin itu.

"Baik, Pak."

Sahutan dari seberang, membuat Xavier tersenyum puas. "Tunggu," katanya, "ikuti ke mana gadis itu pergi."

Mematikan ponsel, Xavier kembali sibuk membuka pintu. Dia terpaksa menghubungi pengurus gedung ini, agar bisa di bawakan kunci.

====

Perlahan mobil hitam itu menghilang dari pandangan, Zeva yang merasa menang menarik napas lega. Tanpa buang waktu dia langsung menarik koper dan bergegas meninggalkan gedung ini.

Kapan saja Xavier dan orang suruhan lelaki itu bisa kembali.

Zeva sangat takut akan hal itu, dia tak akan selamat jika sampai tertangkap.

Masuk ke dalam taxi, Zeva langsung menyebutkan tempat tujuan. Dia berkali-kali menoleh ke belakang, takut jika ada yang mengikuti.

Tapi syukurlah, sampai di stasiun kereta api, tidak ada mobil Xavier atau orang suruhan lelaki itu.

Zeva sedang duduk, menunggu kereta tujuannya sampai saat kepalanya kembali terasa sakit. Dia mengurut kening, pusing dan mual kembali menyerangnya.

Dia menutup hidung, berharap dapat menghalau aroma-aroma tak sedap di sekitarnya. Tak tahan lagi, Zeva bangkit. Dia membekap mulut dan bergegas ke kamar mandi.

Sekembalinya dari kamar mandi, kepala Zeva semakin pusing saat tak mendapati kopernya lagi. Dia sudah bertanya pada orang-orang yang duduk bersamanya tadi, tapi jawaban mereka membuatnya mual.

Zeva yakin, Xavier atau anak buah lelaki itu yang telah membawa kopernya pergi. Bingung, Zeva memilih duduk, dia kembali mengurut kening.

"Baiklah," kata Zeva pelan. Dia bangkit dan maju, ikut mengantre bersama ratusan orang lain yang memiliki tujuan sama. Zeva sudah memutuskan, meski tanpa koper dia tetap pergi dari kota ini.

Zeva menunduk, mengambil ponselnya yang tergelincir dari tangan. Saat hendak bangkit, dia meringis. Kepalanya terasa berputar, tak sanggup menahan diri, Zeva meluruh ke lantai.

Orang-orang di sekitarnya berteriak, membuat rasa sakit di kepala semakin menjadi. Menutup mata, Zeva merasakan tubuhnya dipegangi oleh beberapa orang.

"Biar saya saja, dia adik saya."

Zeva kembali membuka mata, dia melihat Xavier menunduk di atasnya.

Panik, Zeva hendak mendorong lelaki itu, tapi dia tak memiliki tenaga lagi.

"Kita akan ke rumah sakit."

Xavier berbisik, membuatnya semakin ketakutan. Seringai penuh kemenangan Xavier adalah hal terakhir yang di lihat Zeva sebelum kesadarannya benar-benar menghilang.

Memasukkan Zeva ke dalam mobil, Xavier langsung menyuruh orang suruhannya berjalan.

"Aku akan segera ke sana. Sediakan tempat sekarang."

Pukul 7 malam, Xavier tiba di tempat tujuan. Dia kembali mengendong Zeva dan membawanya masuk. Merebahkan Zeva ke atas ranjang, lelaki itu terdiam sembari memperhatikan Zeva.

"Mulai sekarang saja," kata Xavier pada wanita yang baru saja memasuki ruangan.

"Baiklah, jika itu maumu."

Xavier mundur, dia hendak berbalik. Pergi dari ruangan ini. Namun, langkahnya terhenti saat mendengar ucapan sang dokter.

Berbalik, Xavier berkata, "Kamu tersadar di waktu yang salah." Dia menatap Zeva dingin, lalu kembali berbalik dan pergi, meninggalkan Zeva yang berteriak histeris.







Ayo kita santet Xavier rame-rame 😏😏

Kok dia jahat banget gitu, anaknya itu loh

Terima kasih sudah baca, jangan lupa tinggalkan jejak, Cinta ❤😘😘

Selasa 11 Juni 2019

Xavier & Zeva Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang