Tiga

698K 23.2K 812
                                    

Jadi kemarin tuh satu harian aku sakit perut, jadi gak sempat nulis apa pun 😂

Haduhh kalau begini terus, bisa-bisa target gak kecapai.

Oke deh, Selamat pagi, selamat membaca dan selamat beraktivitas semua ❤❤

====

Zeva menggelengkan kepala. Dia tidak menyangka Xavier bisa menuduhnya sedemikian rupa. "Tidak, saya tak pernah berpikir sampai ke sana." Zeva kembali menggeleng, air matanya mengalir semakin deras.

Kecewa dan sakit hati atas tuduhan lelaki itu.

Xavier lelaki tampan dengan karisma yang bisa memukau banyak wanita. Dikagumi, dipuja dan disanjung-sanjung itu ternyata memiliki mulut yang luar biasa jelek.

Kekaguman yang di milikinya langsung hancur berantakan melihat sikap Xavier.

"Kalau begitu buktikan." Tatapan Xavier semakin tajam. Dia kembali bangkit, bergerak gelisah dengan ribuan skenario yang dia pikirkan.

Buntu, Zeva mendongak lalu berkata, "Apa yang harus saya buktikan?"

Susah payah Zeva mengeluarkan suara. Tubuhnya kian mengigil, melihat kemurkaan dari bola mata lelaki itu.

Sempat terdiam selama beberapa detik, akhirnya Xavier membuka suara. "Buktikan kalau kamu tidak pernah membahas hal ini lagi dengan orang-orang yang saya kenal atau mengenal saya," kata Xavier tenang. Matanya menatap tajam Zeva, sangat berharap gadis itu akan takut dan menuruti perintahnya.

Zeva memang sekretaris yang baik, pekerjaannya juga bagus. Andai saja kejadian ini tidak pernah terjadi, dia bisa mempertahankan Zeva sampai bertahun-tahun lagi. Namun, kini melihat Zeva saja dia marah, jijik dan takut.

Marah karena kecerobohannya sampai semua ini bisa terjadi.

Jijik karena dia menamba menyentuh gadis itu lagi.

Dan takut, Zeva akan membocorkan hal itu pada semua orang. Harga dirinya akan tercoreng, bukan hanya sampai di sana, dia juga akan kehilangan Aera, gadis yang dicintai.

"Bagaimana caranya?"

Pertanyaan Zeva mengembalikan Xavier dari lamunan. Menatap gadis itu semakin tajam, Xavier berkata, "Keluar dari sini dan perusahaan. Pergi menjauh dari hidup saya. Buatlah kita tak pernah bertemu untuk selamanya."

Hal itu mungkin terlihat kejam, tapi dia tak punya pilihan lain. Mengusir Zeva menjauh adalah jalan keluar terbaik untuk masalah mereka.

Zeva menggeleng, tidak menyangka dengan apa yang dikatakan Xavier. "Apa itu tidak terlalu kejam, Pak." Zeva mengigil memikirkan nasibnya dan bayi dalam kandungan jika dia harus berhenti bekerja sekarang.

Karena boros Zeva tidak memiliki banyak tabungan, setiap mendapat gaji dia selalu membeli barang-barang pribadi yang tak terlalu penting.

Keluarganya juga hanya tersisa satu, adiknya. Akan tetapi adiknya tidak berada di sini, dia berada di negara yang jauh. Jika dia keluar dari perusahaan, dia harus angkat kaki juga dari apartemen ini. Karena apartemen ini milik perusahaan, dia hanya tinggal gratis di sini. Lalu ke mana dia akan pergi setelah ini.

"Tidak ada kata kejam untuk mempertahankan citra diri."

Kasar dan tak memiliki perasaan, Zeva meremas kedua tangannya. Apa yang harus dia lakukan?

"Tapi saya bersumpah, Pak. Tidak akan memberi tahu siapa pun." Sejak dulu Zeva tidak berani bermain sumpah sembarangan, tapi ini sangat dibutuhkan sekarang.

"Saya tidak yakin kamu akan menepati sumpahmu. Sebentar lagi saya akan melamar Aera, saya tidak mau kamu mengacaukannya."

Sumpah yang sungguh-sungguh dia keluarkan, nyatanya tidak juga membuat Xavier percaya. Lelaki itu keras kepala. Entah hal apa yang bisa lelaki itu luluh dan membiarkannya tetap tinggal.

Melenguh lelah, Zeva berkata lemah. "Apa tidak ada pilihan lain, Pak." Kepalanya berdenyut, perdebatan ini membuatnya sangat lelah.

"Tidak ada, saya tunggu jawabanmu besok."

Ucapan terakhir Xavier terasa melayang, dia jatuh tak sadarkan diri sesaat setelah Xavier selesai memberi ultimatum yang sangat mengerihkan.

Terkejut melihat tubuh Zeva yang jatuh ke lantai, Xavier mendekat.
"Hai bangun," katanya menepuk pipi Zeva. "Sialan." Maki Xavier merasakan suhu tubuh Zeva yang tinggi.

Bergegas dia mengangkat Zeva dalam gendongannya. Xavier sempat terhenti saat lintasan bayangan malam itu kembali ke ingatan. Menggeleng, demi menghapusnya, dia langsung melangkah ke luar dengan cepat.

Xavier mengendarai mobil dengan cepat, meski membenci situasi ini. Dia tidak mau terjadi sesuatu yang buruk pada Zeva, apalagi saat bersamanya.

Sampai di rumah sakit, Xavier langsung meminta perawat memanggilkan dokter handal untuk mengecek keadaan Zeva. Dia menunggu dengan gelisah, saat dokter memeriksa keadaan gadis itu..

"Bagaimana keadaannya dokter?" tanya Xavier begitu dokter selesai memeriksa tubuh Zeva. Dia berjalan mendekat, dan berdiri di samping rajang. Melihat wajah pucat Zeva, Xavier meringis dalam hati sebelum kembali menatap dokter di hadapannya.

"Kandungannya lemah, saya sarankan ada menjaganya dengan sangat baik. Dan jangan biarkan dia memiliki banyak pikiran."

Xavier mengerjapkan mata, apa dia salah dengar?

"Dia hamil dok?" tanyanya untuk memastikan. Jantungnya bergemuruh. Apa yang dia takutkan telah terjadi.

"Ya."

Mundur satu langkah, Xavier mengepalkan tangannya. "Tidak mungkin," katanya tak percaya.

"Kenapa, ada yang bisa saya bantu?"

Xavier menggeleng dengan cepat. "Tidak. Terima kasih, Dok. Saya akan menjaganya dengan baik."

"Baiklah, kalau begitu saya permisi. Biarkan dia istirahat di sini barang satu hari."

Xavier mengangguk, dia mengatar kepergian dokter itu dengan tatapannya.

Setelahnya dia kembali menatap Zeva, dimulai dari memperhatikan wajah pucatnya, lalu turun ke dada, melihat tarikan napas Zeva yang teratur. Tatapannya terus turun hingga sampai ke perut rata gadis itu.

Dia melihat perut itu cukup lama. Apa yang ditakutkan akhirnya terjadi.

Menarik napas panjang, Xavier memejamkan mata. Dia mengurut kening.

Sialan. Apa yang harus dia lakukan pada Zeva dan bayi dalam kandungannya?

Tidak mendapatkan apa-apa, Xavier kembali membuka mata. Dia memilih duduk, menunggu Zeva tersadar.

Hampir tiga jam Xavier menunggu, dia sudah sangat bosan duduk di sini tanpa melakukan apa-apa. Namun, akhirnya yang ditunggu tersadar juga.

"Gugurkan kandungan itu."

Zeva langsung menoleh ke sumber suara. Dia terkejut melihat Xavier ada di sana. Panik, tanpa sadar Zeva menyentuh perutnya. Membuat Xavier semakin menatapnya tajam.

"Apa yang Anda bicarakan, Pak?" tanya Zeva takut.

"Gugurkan kandunganmu itu."

Kepalanya pusing, dia bangun terduduk terlalu cepat. "Tapi... tapi."

"Saya bilang gugurkan ya gugurkan."

Terlonjak kaget, Zeva terisak. Dia memeluk perutnya dengan kepala menggeleng.

Xavier memang minta di hajar ya wkwkwk

Jangan lupa tinggalkan jejak, Cinta ❤❤

Sabtu 8 Juni 2019

Xavier & Zeva Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang