Enam

550K 18.7K 239
                                    

Selamat membaca aja deh ya 😔😭😭

Suara tawa Xavier membuat Zeva muak. Dia ingin mengapai lelaki itu dan menghancurkan tubuhnya.

Zeva yakin Xavier bukan manusia, tega-teganya dia menghilangkan calon anak sendiri. Setelahnya tidak ada raut penyesalan, lelaki itu malah terlihat sangat puas.

"Bajingan!" Zeva ingin berteriak marah, tapi dia kesulitan mengeluarkan suara. Bergerak gelisah, Zeva merasakan sesak di dada.

Air matanya mengalir deras, dia sakit hati melihat kebahagiaan di wajah Xavier.

Zeva menggeleng, dia memejamkan mata. Menolak mendengar apa yang baru saja di katakan Xavier. Omongan lelaki bajingan itu, tak pantas didengarkan.

"Bangun?"

Tepukan di pahanya membuat mata Zeva terbuka, dia mengerjap untuk menyesuaikan mata dengan cahaya. "Kamu!!" Zeva berteriak begitu pandangannya bertemu dengan Xavier yang bersedekap dia depannya.

"Ya ini aku."

Lelaki itu tersenyum, membuat Zeva semakin muak. "Brengsek apa yang kamu lakukan padaku!!" Dia berteriak marah, bangun terduduk Zeva melempar Xavier dengan bantal. "Dasar bajingan tak beradap."

"Diam!"

Bentakan Xavier di abaikannya. Dia terlalu marah untuk peduli. Zeva terus melepas Xavier dengan benda yang ada di dekatnya.

"Akh. Sialan." Xavier menubruk tubuh Zeva hingga berbaring ke ranjang, bergerak cepat dia mencekal lengan Zeva dan menekannya ke ranjang.

Zeva melotot, dia bergerak ingin membebaskan diri. "Apa yang kau lakukan, lepaskan aku."

"Tidak akan sebelum kau diam." Tekanan Xavier semakin kuat, dia memerangkap tubuh Zeva di bawah kuasanya.

Zeva menatap Xavier murka. "Sialan aku tidak mau. Pergi kamu dari sini!"

"Diam!!"

Merasa kalah air mata Zeva menetes, dia terisak. Lalu menjerit saat Xavier mengambil pas bunga dari tangannya dan melemparnya ke sembarang tempat.

"Jika kau terus berisik nasibmu dan bayi dalam kandunganmu akan seperti itu," kata Xavier melepas tangan Zeva. Dia bangkit dan menarik Zeva ikut duduk bersamanya.

Xavier mendengkus melihat Zeva memeluk perutnya dengan protektif. Dia menguap bosan, sembari menatap Zeva yang terus menangis.

"Kenapa?" Setalah waktu berselang lebih dari setengah jam Zeva baru berani membuka suara. Dia sangat bersyukur lelaki itu berubah pikiran. Akan tetapi dia juga penasaran kenapa Xavier bisa merubah pikirannya.

Sedangkan Zeva ingat betul, di mana dia berada sebelum kesadarannya hilang untuk kedua kalinya.

"Bukan urusanmu!"

Jawaban Xavier tidak memuaskannya. Dia malah semakin curiga dengan lelaki itu.

Tapi Xavier memang tidak tahu. Dia tidak mengerti kenapa bisa berubah pikiran.

Apa karena kasihan mendengar teriakan Zeva?

Atau malah karena melihat banyak balita dan ibu hamil yang lewat di sekitarnya?

Yang mana pun itu, seharusnya wanita itu bersyukur karena dia batal menyuruh dokter k mengungukan kandungan Zeva.

"Apa yang kamu rencanakan?" Zeva bergerak gelisah, tangannya mendingin melihat Xavier bangkit.
"Aku mau pergi dari sini. Aku tidak sudi melihatmu lagi." Zeva setengah berteriak, dia sangat panik melihat Xavier mengambil botol putih berisi cairan berwarna kuning pekat yang ada di atas meja.

Xavier terkekeh, dia melirik Zeva sinis. "Aku tahu. Aku juga tidak sudi berdekatan denganmu," katanya. Dia menuangkan cairan tersebut ke dalam gelas dan membawanya. "Minum ini."

Zeva menggeleng, dia mundur ketakutan. "Apa itu?" tanyanya panik.

"Minum saja dan kau akan tahu apa ini."

Memeluk perutnya. "Kamu mau membunuhku di sini kan?"

Berdecak, Xavier mengapai dagu Zeva. Dia memaksa gadis itu membuka mulu dengan cara menekannya kuat. "Buka."

Tapi Zeva masih keras kepala, dia terus menggeleng. Air matanya mengalir semakin deras, wajahnya berubah pucat.

Masih segar dalam ingatan, jika lelaki itu tidak menginginkan anak ini. Bukan tak mungkin cairan itu racun yang bisa membunuh anaknya.
"Aku tidak mau." Susah payah Zeva mengeluarkan suara.

Gelas sudah menempel di bibirnya saat Zeva berteriak dan menepis gelas tersebut hingga jatuh ke pangkuan.

"Dasar bodoh!"

Makian Xavier membuat Zeva tersentak, lalu dia mendorong tubuh Xavier manjauh. "Dasar brengsek, apa maumu hah?"

Zeva memukuli tubuh Xavier dengan membabi buta. Dia terus Xavier pelajaran meski tenaganya sudah terkuras habis.

"Itu madu bodoh." Xavier menyentak tangan Zeva dengan mudah. Dia menatap jengkel sebelum bangkit dan mengambil botol di atas meja. "Lihat."

Zeva menggeleng, dia menolak saat Xavier menyodorkan botol tersebut. "Lihat sekarang atau kamu akan benar-benar ku beri racun."

Ancaman Xavier membuat Zeva menatap lelaki itu marah. Dia melotot, lalu perlahan wajahnya maju. Ingin selali rasanya Zeva menghajar Xavier sampai babak belur.

Tapi Zeva tidak bisa melakukannya sekarang, dia tak memiliki banyak tenaga.

"Sudah kan." Zeva mengangguk pelan. Dia menerima saat Xavier menyodorkan air hangat yang sudah di beri madu.

"Habiskan itu. Karena setelah ini ada banyak yang harus kita bicarakan."

Zeva menurut, dia menghabiskan minuman itu dengan segera.

Tersenyum Xavier, bersiul. "Kamu tidak ingin tahu apa yang aku campurkan dalam madu itu?"

Zeva tersedak, dia terbatuk-batuk sampai air terakhir dalam mulutnya keluar membasahi ranjang.

"Apa maksudmu?" Zeva bertanya takut, dia menatap Xavier tajam.

"Aku memasukkan sesuatu ke dalam sana, sesuatu yang sangat berbahaya-"

Xavier belum menyelesaikan ucapannya saat dia mendapat lemparan gelas yang tepat mengenai keningnya.

"Apa yang kamu lakukan, sialan!"

Xavier mengumpat, dia berteriak marah. Memegang kening dia merasakan darah segar mengalir di sana.

Zeva tergugu, dia tidak berniat melukai Xavier seperti itu.

"Cepat ambil obat."

"Di mana?" Bangkit dengan cepat, Zeva meringis merasakan sakit teramat di kepalanya.

"Dapur, di dalam laci nomor tiga."

Tertatih Zeva melangkah dengan ke dapur. Dia mengambil apa yang di pinta Xavier dan kembali ke kamar.

Meletakan kotak obat ersebut di samping Xavier, Zeva berdiri dengan gelisah. Melihat Xavier yang sibuk mengobati lukanya, perlahan dia mundur. Sekarang saatnya melarikan diri.



Xavier & Zeva Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang