Salah.
Sudah pukul 1 siang namun sesuatu yang salah mencegahnya tiba. Sungguh salah kesalahan itu menghalanginya di perjalanan menuju taman ini untuk bertemu denganku.
Sekedar tiga bulan sekali.
Andai sesuatu itu... Siapa atau apa atau keduanya suatu itu? Aku, aku tidak tahu tapi jika bisa ku genggam pasti hancur jadi... Apa? Debu? Bukankah bisa bersatu lagi? Atau angin? Bahkan angin terhirup hidung. Aku, intinya pasti hilang eksistensinya darimanapun. Bahkan roh dan atau jiwa sesuatu itu.
1.10
Kapankah datang? Orang-orang tak acuh itu mulai acuh pada gadis pembawa bunga duduk di kursi taman sejak mereka datang dan ini mulai menjengkelkan!
Salah...
Jam tangan dilirik orang terburu waktu dari seberang kursiku berjarak 10 meter yang seperti berpeer kakinya melesat begitu saja bagai terbang. Wajahnya terlihat bahagia.
Bukankah tidak adil?
Orang itu baru lima menit yang lalu datang ke kursi itu dengan wajah badai seakan dunia kiamat lebih cepat baginya dan bagai sang Masih bagiku, teman kiamat prematur.
Tapi apa?
Hanya lima menit teman itu disana dan sudah di panggil bahagianya. Tidak adil! Apa ini karma? Akibat senang diatas kesedihan orang? Ahahaha... Bukankah ini lucu.
Apa yang lucu!
Dimana dia? Janji via layar datarnya tadi pagi buta tampak konyol sekarang. Padahal seakan peri-peri beterbangan di sekitarku menari ceria dengan banyak gaya saat janjinya tersampaikan tadi. Sekarang hilang sudah warnanya menjadi tua. Kelabu.
Salah.
Kemari kau! Dasar ayam berekor sembilan!
Orang-orang menatapku aneh. Apa tadi bersuara? Tampaknya iya. Dan aku malu.
Tidak gila. Masih waras. Toh aku masih punya malu dan oke deh, lima sepuluh menit atau tiga jam sekalian silahkan datang waktu. Setelah itu jangan salahkan aku jika terjadi sesuatu.
AUTHOR'S POV
"Cakep."
Seorang remaja laki-laki mengangkat kerah bajunya penuh gaya di depan cermin pas badan, memperagakan adegan keren lalu romantis menyodorkan seikat mawar kuning dengan berlutut. Berdecak puas dan menyemprot parfum lagi tiga kali sebelum pergi.
Don Juan kw 2 jatuh cinta rupanya. Bersiul nada gembira, sepanjang jalan dia menyapa orang yang berpapasan. Bahkan senyum langkanya berceceran bagai diobral beterbangan menghinggapi hati gadis tetangga yang lama punya rasa. Semoga sadar saja senyum itu bukan untuknya.
Dia bahagia hingga melepas kontrol kebekuanya. Memilih ceria seperti anak kecil dengan seikat bunga yang tampak sangat berharga baginya.
Di tempat mangkal...
"Weleh weleh... Bidadara es kita mencair... Sapa nih apinya? Pasti panas banget kalau sampe bisa melelehin otot senyumnya yang hibernasi. Kenal..."
"Nah nah nah... Hiperbolisnya kumat... Udah sana berangkat bos. Pumpung masih anget..."
"Apa ikut hiper?!"
"Emang iya? Kok gue nggak ngerasa?"
Tina dan Patt biasa bertengkar saat bertemu kini sibuk berdebat tanpa tahu yang di sebut bidadara bahkan sudah pergi sejak Tina mengucap kata pertama.
Semua tampak berwarna-warni dimata hitam besarnya. Indah. Sampai di tempat tujuan, tiba-tiba warna-warninya menjadi monster kehitaman karena tidak ada seorangpun di tempat itu. Hanya ada sehelai kertas berkelebat tertiup angin namun tidak bisa pergi.
"kalau aku duduk di sana, maka iya. Tapi jika hanya selembar kertas, tunggulah. Aku belum bisa hadir di sana dan! Bukan berarti tidak."
Kekanakan! Tapi dulu kepalanya mengangguk patuh di luar kendali dan masih menunggu hingga menjamur di kolong waktu.
'Haruskah begini?' pikiranya bertanya pada hati yang diam saja. Terduduk lemas memungut kertas yang seperti harapan. Tidak, bahkan harapnya lebih tipis dari itu. Kembali menjamurkan diri dalam harap di tengah waktu. Ia diam di sana menunggu.