Halo... Bagaimana kabar kalian?
Semoga masih kuat ngurung diri di rumah😀
Entah bagaimana ini ada ilham buat up, padahal rasanya mau udaha aja kemarin kemarin.
Enjoy the read (bahasa ngawur😀)_
_
"Lucu tahu nggak, kamu itu lucu. Teman setiaku saja kalah, kamu memang lebih baik darinya!"
Dunia Hara perlahan mengelupas dan menua seribu tahun akibat kejadian tadi, ia tercekat mendengar kata-kata tak manusiawi Hira. Lehernya mendadak mengerut hingga udara saja dilarang lewat. Padahal ia sudah menepi di halaman belakang rumah pemilik hajat, dengan harapan bebas dari manusia ter... sulit dikatakan itu.
"Kalau begitu kita jadi..." tapi tidak, dasar tengil tetap tengil.
"Nggak ada jadi apapun bocah! pergi sana ke ibumu!" geram Hara dengan gigi terkatup. Benar-benar terganggu.
"Ya.. Yah... jangan marah dong, nanti aku marah terus nyakitin kamu lho. Dulu dia pernah aku putusin tanganya, salah dia sendiri sih kenapa buat aku marah, terus aku dengan baik hati menjahit tanganya kembali... kalau kamu mungkin aku awetin saja, lebih aman dan tidak berisik. Mnh... Sebelum itu harus dibius dulu, terus jangan sampai mati..."
Lama-lama napas Hara makin sedikit seiring kata-kata Hira yang terus terucap dan bertambah mengerikan, seperti psikopat. Tapi mana ada psikopat doyan bolu coklat? atau... memang ada? Hara pusing sekarang.
"Wajah kamu pucat banget, kenapa? ooh, tahu aku. Kamu maunya diputusin tangannya saja? dasar aneh, tapi boleh kok." pungkas Hira ditambah senyum selebar hasta. Memamerkannya pada Hara yang makin pucat. Kepalanya sekarang berisi penyesalan dan panggilan telepati pada ibunya, berharap segera sadar anaknya hilang dari pandangan.
Sedang Hira sepenuhnya menikmati ketakutannya, meneliti bagaimana perubahan sekecil apapun di wajah Hara sambil memuji bagaimana wajah itu tampak sangat indah. Oke, Hira juga merinding sedikit mengingat pikiran yang terlintas itu.
Hm... sangat polos. Bisik pikirannya, Hira mengangguk kecil. percaya begitu saja perkataan orang, apalagi orang asing. Lihat saja ekspresinya, seperti mau dimakan hidup-hidup saja.
"Hihihihi... lucu sekali. Mana mungkin lah, aku seperti itu, lagian lihat darah saja mual. Kamu berapa sih, umurnya? Jangan-jangan kelas satu.
Ah... pantas saja_""Semester tiga." Hara tidak bisa mungkir kalau manusia sejenisnya memang ada sekarang, ia kira hanya ada di cerita teman-temannya atau sinetron paling tidak, dan dia sudah punya rencana untuk mengalahkan manusia sejenis itu.
Lawan saja, tapi jangan bohong. Pasti akan dijadikan senjata untuk kejahilan selanjutnya.
"Semester tiga ya... eh , memangnya ada semester tiga di SMA sekarang? yah... nggak papa lah, itung_"
"Jurusan kedokteran."
"Wah... ada jurusan itu juga di SMAmu? senang sekali."
Di sini Hara mulai menahan tawa. Bodoh, "universitas dekat punakawan." Mata Hira membulat.
Uni... versitas? tiga?
"Bohong ya... bohong itu dosa besar." Hira kukuh tidak percaya, menggelengkan kepala berusaha maklum, seperti orangtua yang memergoki anak kecil berbuat usil.
"Hum hum hummmmp... tidak ada SMA sampai semester tiga apalagi jurusan kedokteran, itu lucu." Hara melepas tawanya dengan tertahan, ia puas sekarang bisa membalas. "Hara Kumbara, mahasiswa kedokteran semester tiga. Yang terakhir itu kalimat penjelas."
"Tidak mungkin. Mahasiswa seukuran kamu, sangat tidak meyakinkan." kata Hira dengan matanya menelusuri sosok Hara menyeluruh dan kepala yang menggeleng meyakinkan. Dalam hatinya, Hara menyayangkan kemalasannya berolahraga dan berdoa lebih keras untuk ukuran badannya itu.
"Kupikir kamu sekitar tiga sma... Ya tiga sma! Tidak jauh dariku yang kelas dua!" putus Hira yakin. Hara pikir dia bisa kehilangan kendali sekarang, bisa saja dia menyumpal mulut perempuan gila -sebenarnya dalam hati ia memohon maaf pada dirinya karena menggunakan kata itu- dengan keranjang bolu ditangannya itu, menendangnya pulang atau paling tidak kembali pada ibunya disertai surat permintaan ganti rugi. Pada akhir khayalannya ditutup dengan tepukan tangan menyingkirkan kotoran.
"Hei hei! berhenti meremuk bolu-bolu itu! mubazir tahu! Mending dimakan." seruan Hira menutup keras bayangan kemenangannya. Buru-buru ia mengambil lebih banyak bolu dan meremuknya cepat. "Itu untuk semut dan tumbuhan setengah mati ini, kupikir mereka juga ingin makanan enak ini. Jadi..."
"Itu bunga plastik dan... kurasa semut lebih suka ambil makanan segar daripada hasil remukan tanganmu yang terindikasi ketidakbersihannya. Dan sebagai mahasiswa kedokteran pasti lebih tahu hal itu."
"Akhirnya kamu per_"
"Itu menambah kerancuan pengakuanmu tadi, mahasiswa kedokteran? yang benar saja. Bahkan aku yang dua sma jurusan tata boga juga tahu paling tidak dasar kesehatan, karena kesehatan berkaitan erat dengan makanan dan tentu saja berasal dari higenis tidaknya suatu pengolahan makanan itu sendiri. Ehm, satu lagi variabel pematah pengakuanmu yang jelas_" Hira menyadari ada yang salah tak lama setelah Hara angkat kaki dari sana.
Hara memilih menyingkir, mencari tempat aman barangkali perempuan dengan semua keabsurdannya masih belum rela melepaskannya.
'Tiga sma? Yang benar saja'
Di belakang, Hira meneriakkan namannya berkali-kali. Ia mempercepat langkah dan membaur dengan rombongan tamu yang kebetulan baru tiba.
Kalau ingat kejadian itu, tidak bisa tidak ia tersenyum gelo. Habis lucu sih. Pikirnya.
"Masuk mbak Hira, sampai kapan mau berdiri disana?" tanya pak satpam penasaran. Uh, sampai lupa kalau sudah sampai. "Hehe, sekarang saja pak. Terima kasih!"
Ia berlari masuk, meninggalkan gelengan pak satpam yang masih terkejut ada siswi tiba pukul enam dan berdiri senyam senyum di depan gerbang sampai pukul enam dua tujuh. Setiap hari sampai ia sendiri paham namannya.
Yaaah, sampai jumpa lagi Hara. Bisik Hira pada udara.
_
Haloo... berjumpa lagi dalam kata...
Bagaimana kabar kalian?
Semoga baik semua, meski pakai tanda kutip.
Maaf lama up-nya, jadi jika ada kerenggangan kemistri (ini bener gak nulisnya?) ya maklum.