SUASANA

20 4 0
                                    

Seorang gadis dengan seikat bunga.
     Duduk mendekap erat bunganya seakan bunga itu punya kaki dan bisa melarikan diri. Seandainya kursi taman punya mata, ia akan menatap heran pada kegigihan gadis itu dalam menunggu.
     Hahahaha.... Katakanlah 'dasar gila!' atau semacamnya, toh tidak akan berpengaruh lagi padaku. Gadis gigih itu aku dan itulah yang dikatakan kursi taman dengan berbisik tadi, oh oh! Baru saja ding. Kursi taman baru saja menitipkan salam pada kalian katanya 'hai, selamat malam!' kaki empatnya bergerak senang setelah salamnya ku sampaikan dan punggung melengkungnya jadi lebih bersahabat sekarang. Haha, padahal sejak sore tadi kami sepakat untuk berteman tapi sepertinya dia baru tahu keinginanku.
     Hei hei!
     Jangan terlalu rendah juga. Lebih baik kalau normal saja oke?
     Dia takut aku pergi, hehe. Tenang saja, aku tidak akan pergi sampai... kapan? Tidak tahu. Karena hanya kursi taman yang tahu tentangku dan hanya mendengarkan curhatan dengan perhatian penuh jadi, if you want me to stay aku berusaha untuk memenuhinya.
     'lengan kananmu turun sedikit ya, aku mau tiduran dan punggungmu jaga bungaku baik-baik, oke?'
     Dukk.
     Tidak, kursi taman hanya diam tetap pada bentuknya sejak dia di buat. Tidak ada yang terjadi tentang apapun yang aku katakan tadi, kursi tetap kursi dan aku masih menunggu. Kepalaku sakit membentur sandaran tangan. Aku tidak akan mengutuknya tapi sekarang.
     Dasar besi berkaki empat.
     Ya kan? 'akan' dan 'sekarang' itu penunjuk waktu, jadi sekarang dan akan itu berbeda. Sepertinya aku tahu satu hal, dia berjanji bertemu dan mungkin aku terlalu menganggapnya sebagai 'sekarang' bukan 'nanti'. Kata 'nanti' bisa satu dua hari atau seabad, relatif. Mungkin. Dan aku belum dan tidak pernah mempersiapkan hati untuk jenis kekecewaan akibat hal ini.
     Malamnya indah sekali. Suasana tenang membuatku lupa sejenak pada menunggu -kan, ingat lagi- ralat, suasana kali ini menemani dan menenangkan proses menunggu. Lampu mulai berpendar menemani bulan sabit dan bintang, menemani malam dengan angin dingin yang berhembus pelan.
     'Apa dia sudah makan? Biasanya sudah.'
     Plakk! Pipiku sakit. Ganjaran karena ingat lagi. Ck! apa aku benar-benar sudah gila?
     'Apa dia sudah membaca pesanku? Ah! Aku belum mengirimnya! Bagaimana aku melupakan hal sepenting itu! Pantas saja dia belum eh tidak akan pernah datang.
     Plakk! plakk!
     Pipiku! Kenapa reflek tangan lebih cepat daripada pikiranku? Ah, aku lupa lagi. Aku pelupa dan selagi ingat aku harus mengirim pesanya sekarang. Kurasa hapeku masih di saku rok terlalu pendek ini -sebetis. Jangan ketawa! aku tidak suka apa apa yang terlalu. Pendek misal- nah ini.
     Send. Selesai. Aku pulang sekarang.
     "aku sedang tidak di kota kita, bisakah kita bertemu besok sore di kotaku? Taman anggrek? Kutunggu😊"
AUTHOR'S POV
Harusnya hujan deras turun sekarang.
     Bidadara itu masih di kursi tempat janjianya. Taman anggrek yang makin ramai pada malam hari dan mulai berpikir tentang hujan deras hingga sesuai dengan suasana hatinya, tapi langit terang benderang -di matanya saja barangkali, karena langit jelas jelas menampilkan bintang-bintang. Bukankah itu malam. Efek kecewa- dan orang-orang berbondong-bondong datang untuk menyaksikan hiburan malam itu di sekitar panggung yang sejak kedatanganya sudah siap untuk di gunakan.
     "Selamat malam semuaaa... Bla bla bla..."
     Dia berdiri dan mulai berjalan perlahan, menghembuskan napas berat berulang-ulang dan mengamati histeria di depanya.
    Di atas panggung seorang laki-laki tengah baya bernyanyi penuh penghayatan diikuti koor suara penonton. Dia mengerutkan  kening heran pada kerumunan betapa asyiknya mereka bernyanyi, berayun-ayun pelan mengikuti irama.
     Dia berhenti berjalan, mulai tertarik pada mereka dan memutuskan untuk duduk di sebuah bangku tidak jauh dari sana.
     Seikat bunga warna warni tergeletak di atas kursi, ia mengambil dengan berpikir apa mungkin seseorang yang di tunggunya lebih suka seikat bunga yang bermacam macam seperti itu atau mawar kuning yang di bawanya sebelum duduk dan menyingkirkan jauh-jauh pikiran itu. Menghembuskan napas berat dan meletakkan bunga-bunga itu di sebelahnya dan menatap keramaian.
     'Aku lelah menunggu. Mungkin lebih baik jika mengikhlaskanya' pikirnya mencoba meringankan beban hati.
***
"kemana mbak?" tanya supir taksi.
    "Ke... Ah!! Sebentar pak, saya lupa sesuatu. oh! Bunga milik saya ketinggalan pak! Bisakah bapak mengantarkan saya? Eh, tunggu disini juga boleh."
     "Baiklah bapak akan tunggu. Cepatlah ini sudah larut." aku turun dari taksi sambil terus mengucap terimakasih pada kebaikan bapak supir, beliau menganggukan kepala sebagai jawaban.
    Ck! Kenapa bisa lupa sih?
AUTHOR'S POV
Seorang gadis berlari kencang masuk taman anggrek, menoleh bingung di mana tadi dia melupakan bunganya dan karena lupa memutuskan untuk menyisir kursi taman satu persatu.
    Seorang remaja laki-laki berjalan pelan keluar taman membawa dua ikat bunga di satu tangan dan menemukan sebuah taksi parkir tidak jauh dari sana. Mendekati taksi dan melihat apakah sudah terisi.
     Belum. Ia masuk tapi supir taksi berkata kalau sudah terisi. Ia keluar dari taksi dan meminta maaf.
    Gadis itu datang dengan mata sembab yang terus bergumam tentang bunga.
     Dan melihat bunga di tangan remaja laki-laki.
***
Itu bungaku!
     Setelah menangis di keramaian gara-gara seikat bunga itu dan putus asa ternyata bunga itu di sana.
    Srakk! Kurebut paksa dari cengkraman pencuri dan masuk taksi. Tanpa melihat ekspresi si pencuri karena tidak ada tenaga untuk memarahinya.
    "Boleh saya masuk juga?"
     Beraninya pencuri itu...
    "Si... Siapa kamu?"
   

TENTANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang