KITA

5 2 1
                                    

Sebenarnya, dimana letak kesalahan Hara dalam situasi ini?

Tiba-tiba saja Devi datang lagi dalam hidupnya. Ya, deh, itu berlebihan. Tapi Hara tidak habis pikir kenapa Devi sampai membuat alasan dia juga kuliah di sini.

Hara tidak mungkin lupa janji temu mereka sore itu, yang berakhir bertemu Hira dan memilih selesai dari penantian panjang tidak jelas juntrungnya itu.

Hara suka Devi dan ia bertanya apa perasaan Devi juga sama. Sesimpel itu. Tapi Devi berkelit seperti ahli beladiri tingkat mahir, katanya tunggu sebentar.

Mereka sahabat sejak satu SMA, kalau yang bisa buat Hara tertawa itu hanya Devi dan yang bisa buat Devi terhibur itu cuma Hara. Walau tidak terlihat begitu dekat, Hara Devi tetaplah sahabat dan teman mereka paham persis akan hal itu.

Sampai Hara menyatakan perasaannya, Hara masih menganggap Devi adalah gadis yang sangat istimewa. Pastinya sebelum bertemu Hira dan memutuskan melepas penantiannya pada Devi.

Sejak lulus dari SMA, mereka kuliah dan memiliki kesibukan sendiri-sendiri. Hara tetap menunggu jawaban Devi sejak pengungkapannya sebelum fotografer mengambil gambar kenang kenangan kelulusan SMA itu, sabar. Tapi percuma, Devi selalu berdalih macam-macam.

"Ha ha, tahu banget kalau gue bohong. Padahal kan_"

"Nggak ada hubungannya sama itu. Gue kenal lo bukan sehari atau semenit, tapi lima tahun. Buat apa mahasiswi PAUD ada di fakultas kedokteran? kalau bukan buat ngeceng, ya, buat ngerusuh." potong Hara cepat. Itu beneran, ucapannya cuma asal keluar saja. Hara tidak aktif di kampus dan kalau Tina dengar perkataan tidak jelasnya, ia pasti akan... berkata kalau Hara keren. Kalau Hira, ia bakal menyimpan perkataannya dan membuat itu menjadi senjata ledekan. Dan Patt, menggeleng sedih.

"Terus lo tahu nggak alasan gue ke sini? lo kan, jago nebak." tembak Devi. Matanya berbinar dan Hara meneguk ludahnya yang tiba-tiba membanjir.

"Lo mau magang."

Hening. Devi menghujam mata Hara Dalam-dalam. Benar, ia mendapat tugas magang dan kebetulan ada pilihan ke kota di mana Hara ada. Tapi, darimana anak itu tahu? (Soalnya Hara masih kelihatan SMA sampai sekarang).

'apa lo masih nungguin gue, Ra?'

"dan gue bakal nerima lo, nampung lo. lo belum ada tempat buat tinggal kan? sebagai sahabat gue paham banget lo orangnya ceroboh." Lo lo lo. Gue gue gue. Hara malas mendengar apalagi mengucapkan kata-kata itu, rasanya mengganjal.

"Ahahaha... tahu banget kalau gue_"

"Kebetulan banget gue mau pulang dekat-dekat ini, lo tahu, kan? kosan gue di Punakawan itu, kosong. Pakai aja. Kuncinya minta sama Inang. Dan, tenang, di kosan itu sekarang ada ceweknya juga. Oh iya, gue masuk dulu. Ada kelas." Hara beranjak dari hadapan Devi, meninggalkannya dengan tumpukan peraga entah-siapa-punya dan gunungan tatapan aneh mahasiswa yang kebetulan lewat. Devi habis pikirannya menebak sumber informasi Hara yang super lengkap itu. Tapi, yang terpenting adalah Hara menyebutnya sahabat.

"Ya. Oke deh, Ra. Padahal juga_"

"Mbak, boleh saya minta kembali peraganya?" gumaman Devi terputus, seorang mahasiswa tersenyum lebar menjulurkan tangan. Linglung, ia menyerahkan peraga di tangannya. Berjalan keluar dari areal kampus tanpa menoleh lagi.

"Men! itu kenapa cantik-cantik absurd sih?" tanya teman pemilik peraga.

"Bodo. Sana, katanya mau minta nomor hpnya."

"Nggak jadi. Males. Lagian kenapa juga cari urusan lain kalau perut lagi lapar, ya nggak?"

"Ngomong aja takut sama cewek lo." solot si pemilik peraga semangat. Ia mendapat jitakan mateng sebagai ganjarannya.

"Calon pendamping hidup! nggak ada pacaran!"

"Oh, iya. Gue lupa lo juga calon orang pandai agama."

"Hee! sekali lagi lo ulang kata-kata utu, mampus lo!" ia bersiap melotot pada temannya yang sudah lari terbirit-birit.

"Woi! Ck, dasar."

__

"Ra! siapa si cewek kecentilan satu itu?!" Tina menjawil gemas puggung Hara yang hanya megat megot dan membungkukkan badanya makin dalam. Patt, yang duduk di sebelah Tina berkali-kali memperingatkan kalau di depan sana masih ada teman mereka yang presentasi dan ada dosen juga sambil membatin dari manakah Tina mendapat 'kekuatan' agresif itu. Ia tahu Tina menyukai Hara, banget malah. Tapi tidak senekat itu. Tina berubah. Banyak.

"Ra Ra Ra Ra..."

"Ya, silakan Tina. Pertanyaannya boleh kamu katakan sekarang."

Tangannya setengah jalan hendak menyolek punggung Hara terhenti di udara, tubuhnya yang setengah conndong ke depan mendadak tegak.

Brakk.

Ia meringis kesakitan. Lupa fakta kalau tengah duduk di kursi plus meja. Berpasang-pasang mata menatapnya intens.

"Bu bukan bu, saya mau ijin ke toilet." keringat dingin mengalir di punggungnya. Ia malu sekali, tapi tetap berusaha menegakkan kepala. Patt mendengus, 'dasar otak bulus'.

"Silakan kalau begitu."

Tina sempat melirik Hara. Sedang menggeleng pelan dengan kepala menunduk.

'Hara Kumbara... awas saja nanti!' batinnya geram.

__ kenyataan saat Tina menjawil Hara __

Hara: jangan main hp saja, nanti ketahuan guru.

Hira: berarti kalau tidak ketahuan
tidak apa-apa?

Hara: bukan! Dasar pelajar bukan teladan! maksudnya tidak baik main hp saat pelajaran. Bagaimana mau pandai kalau begitu.

Hira: memangnya abang, tidak kuliah?

Hara: Beda! jangan mengalihkan pembicaraan!

Hira: yaaah. abangku juga nggak
baik, masak adiknya baik sendiri?

Hira: siapa yang tidak baik hah?

Hira: ya bang Hara. kan bohong itu
tidak baik. Tapi bang Hara bohong. Masih di tengah kuliah, kan?

dan Hara menundukkan kepala, menggeleng malu. Ia ketahuan berbohong.

Jangan lupa support author ya
(ノ^o^)ノ

TENTANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang