1. Aku Separuh dan Kamu Utuh

41 7 12
                                    

Namaku Latin Aksara.

Aku hidup sebatang kara. Ayahku meninggal ketika aku berumur 8 tahun. Ibuku meninggal 1 tahun yang lalu, tepat diulang tahunku yang ke 17.

Seharusnya diumurku yang ke 17 tahun itu, aku mendapatkan kado yang indah dan spesial.

Tapi nyatanya kebalikan, sakit ibuku semakin parah dan aku tak memiliki cukup uang untuk mengobati ibuku.

Aku sangat panik, ketika tiba-tiba aku  tak lagi bisa merasakan denyut nadi ibuku.

Ibuku meninggal dunia.
Beliau menghembuskan nafas terakhirnya tepat ketika aku memeluknya erat.

Aku menangis. Menangis di pelukan Ibu. Sebenarnya aku sudah ikhlas jika Tuhan mengambil ibuku.

Karena aku juga tidak tega jika ibuku terus hidup, beliau hanya sakit-sakitan seperti itu.

Tapi jika Tuhan mengambil ibuku, aku tidak punya siapa-siapa lagi, karena hanya ibuku satunya-satunya harta yang aku punya.

"Latin..." Terdengar seseorang memanggil namaku.

Segera aku menuju ke sumber suara itu.

"Ada apa Bang?" Tanyaku pada sosok berpostur tingggi berbadan tegap.

"Nih, hasil mulungmu hari ini." Sambil menyerahkan tiga lembar uang sepuluh ribuan.

"Alhamdulillah. Makasih ya Bang."

"Besok kalau bisa tambahin lagi. Biar kamu bisa dapetin uang yang lebih banyak."

"Baik Bang, besok saya usahain."

"Ya udah, sana kalau mau istirahat."

"Mari Bang, permisi."

Aku meninggalkan tempat penimbangan hasil memulung.

Aku kembali ke rumahku. Rumah yang selama ini membawaku ke dalam pelukan hangat orangtua ku.

Jangan bayangkan rumahku itu mewah, memilki banyak lantai, memiliki teras yang besar dan ada taman di depan rumah.

Rumahku sederhana. Sangat sederhana. Hanya beratapkan seng dan dinding yang tersusun dari kayu-kayu yang sudah lapuk.

Aku tinggal di bantaran sungai. Jika sungainya banjir, rumahku hanyut bersama aliran air. Sungai itu berada di tepi jalan raya.

Rumahku sudah dibenahi beberapa kali. Rumah yang kutinggali sekarang ini adalah rumah yang seminggu lalu aku benahi.

Jangan tanyakan ketika hujan, rumahku pasti bocor. Seng yang menjadi atap rumahku banyak yang berlubang. Maklum, itu hanyalah seng bekas yang aku temukan ketika aku memulung.

Aku tak memiliki dapur dan kamar mandi. Jika aku lapar, aku tidak memasak, aku akan membeli makanan di warteg dekat tempat tinggalku.

Jika aku ingin mandi, aku menuju sungai dan mandi di sana. Tapi, bukan berarti aku mandi telanjang begitu saja.

Di sungai ada kamar mandi yang masih bisa digunakan. Biasanya aku mandi disana.

Pakaianku kujadikan bantal ketika aku tidur. Karena, aku tidak punya almari untuk menyimpan pakaian.

Ketika mataku akan benar-benar terpejam, tiba-tiba ada seseorang yang memanggilku.

"Latin, sedang apa kau?" Tanya seseorang yang tiba-tiba muncul di depan rumahku.

"Lagi mau istirahat, ada apa?"

"Apakah hari ini kamu mau mulung?"

"Tidak Yud, aku mau istirahat saja. Aku sudah capek. Kamu mau mulung ya?"

Atmosfer RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang