Selang empat tahun menikah, dalam satu jentikan jari, kehidupan Jeno dan Jaemin berubah total.
Satu tahun sebelumnya, Jaemin sering mengeluh sakit kepala hebat, bahkan hingga pingsan beberapa kali. Pandangan yang sering tiba-tiba memudar, juga tubuh yang terkadang kehilangan keseimbangan tanpa sebab. Ketika diperiksakan ke klinik, dokter di sana hanya mengatakan tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari kondisi Jaemin, semua hanya karena efek kelelahan. Keduanya pun menganggap apa yang terjadi pada Jaemin bukanlah sesuatu yang berbahaya. Hanya perlu istirahat yang cukup dan mengkonsumsi beberapa obat.
Kesehatan Jaemin tidak kunjung membaik. Puncaknya terjadi tepat di akhir tahun lalu. Jaemin tiba-tiba mengalami kejang dan pingsan ketika mereka tengah berlibur di luar kota. Saat itulah Jeno segera membawa Jaemin untuk melakukan pemeriksaan total di dua rumah sakit besar. Jaemin terdiagnosa mengidap kanker otak.
Jeno sangat terpukul akan kenyataan ini.
"Kenapa harus Jaemin?"
Kini hari-hari keduanya banyak dihabiskan untuk mengunjungi rumah sakit. Sejak hari di mana Jaemin siuman dari kejadian di mana Ia mengalami kejang dan pingsan, Ia kehilangan kemampuannya untuk berjalan begitu saja.
Hari demi hari, Jeno rutin menemani Jaemin melakukan berbagai terapi untuk kesembuhannya. Meski sibuk membagi waktu bekerja dan merawat Jaemin, Ia tidak pernah mengeluh apapun. Jeno selalu siap siaga untuk menjaga dan merawat Jaemin.
Di setiap detik yang berlalu saat Jaemin tengah menjalankan kemoterapi di rumah sakit, berbagai doa dan pengharapan Jeno ucapkan dalam hati kepada Sang Pencipta.
"Jaeminku pasti sembuh. Badai pasti berlalu. Aku yakin masih ada harapan untuk Jaemin"
Hanya kalimat sederhana, namun penuh dengan keyakinan.
Sekarang sudah memasuki kali ke-empat Jaemin melakukan kemoterapi. Wajahnya kian menirus, juga tubuh rampingnya yang kian mengecil. Rambutnya juga mulai menunjukkan kerontokan.
"Jeno-ya.."
"Eum?"
"Aku mual lagi"
"Mau ke kamar mandi sekarang?"
Jaemin mengangguk lemah. Setiap selesai melakukan kemoterapi, Jaemin akan merasakan mual yang hebat, hingga muntah beberapa kali. Tak jarang juga Ia menangis karena tidak tahan dengan sensasi tidak nyaman dalam tubuhnya.
"Jeno-ya, apa aku benar-benar bisa sembuh?"
"Sayang, kenapa bertanya seperti itu? Kau pasti sembuh, aku yakin itu"
Jeno bersimpuh di depan Jaemin. Ia tersenyum dan meremas lembut tangan kekasihnya.
"Kau sudah berjuang sejauh ini, dan aku bangga padamu. Kau masih ada banyak peluang untuk sembuh. Jangan patah semangat, ya?"
Jaemin mengangguk patuh dan ikut tersenyum.
"Pertengahan tahun depan, jika kondisimu sudah lebih baik, aku akan membawamu melihat bunga-bunga sakura yang cantik di atas bukit"
"Benarkah?"
"Tentu saja"
Jaemin merentangkan tangannya dengan maksud meminta pelukan dari Jeno -yang tentu saja disambut dengan amat sangat baik oleh sang kekasih.
"Saranghae, Jeno-ya.."
"Nado saranghae, Jaemin-ah"
KAMU SEDANG MEMBACA
Last Sakura [√]
FanfictionJeno harus merelakan kekasihnya pada semesta. [Status] Completed, Revised. [Credit] angelove_