BAB IV

96.7K 1.5K 17
                                    

Adegan 21++

Bagi yang dibawah 21++ diharapkan menjauh.

***

Megan Kate

Megan Kate

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Aku bodoh. Menunggu Alakay selama dua jam di Bar dan menghabiskan sebotol vodka membuat perutku berontak. Rasa mual sudah bersarang di tenggorokan sejak tadi. Dan rasa panas dari minuman yang kutegak sudah kebas.

Bayangan Alakay masih belum terlihat. Atau mungkin tidak akan terlihat. Aku tau, harusnya aku tidak mengharap apapun pada Alakay.

Namun, bukan Megan Kate namanya jika aku tidak keras kepala.

Kepalaku sudah sempoyongan dan bayangan Alakay belum datang. Kini decihan sudah mulai ku keluarkan.

Dengan sisa kekuatan ku hentak meja bar hingga beberapa pasang mata melihat kearahku.

“SIALAN KAMU, ALAKAY!!” Jeritku.

“Manggil namaku?”

Suara itu membuatku menoleh dengan sisa kesadaran di tubuh.

Alakay benar hadir di hadapanku. Berdiri dengan tampan tanpa kacamata bodohnya. Dia – hanya – sangat tampan.

Aku menarik tangannya dan menyuruhnya duduk di sebelahku namun dia menolak. Tangannya justru menggamit tanganku dan menarik, eh bukan, lebih tepatnya menyeret langkahku menuju apartemen milikku.

Aku menahan dadanya yang ingin merapat untuk membuka pintu.

“Aku tidak mau disini. Di kamarmu saja.” Sahutku dengan menarik tangannya dan berdiri di depan pintu apartemennya.

Dengan helaan nafas panjang, Alakay membuka pintu kamarnya lalu menarikku masuk. Ia langsung menyerbu bibirku dan melumatnya dengan bernafsu. Aku yang belum siap, membalasnya dengan nafas terengah. Tangannya menarik blazer kulit yang kupakai setelah merebahkanku diatas ranjangnya.

Matanya memandangi tubuhku yang hanya berbalut dress mini bertali tipis.

Aku pasrah. Apapun yang Alakay lakukan, aku siap. Namun, perlakuan Alakay tetap saja membuatku terkejut. Ia masih saja berdiri dengan senyumnya yang membuat meleleh dan mata yang tak terlepas dari tubuhku.

“Kau cantik.” Dua kata itu ku dengar dari bibir Alakay dan rasanya darahku berdesir seketika.

Aku lantas bangkit dan duduk bersila diatas ranjangnya. Dengan semangat yang menggebu, aku menantangnya memainkan permainan. Permainan yang mungkin akan dia ingat. Atau justru aku yang akan selalu mengingatnya.

“Mau main Truth or Dare? Yang kalah, harus menuruti keinginan yang menang.” Tantangku.

Sejenak alis Alakay terlihat mengernyit, sebelum akhirnya berganti dengan seringaian dan ia mengangguk.

“Oke. Lets play.”
Aku mengambil koin dari blazer dan menunjukkannya pada Alakay.

“Burung atau Wanita ?” tanyaku.

Alakay masih menyeringai, “Sebelumnya, harus ditekankan jika peraturanmu bukanlah satu-satunya aturan yang berjalan di permainan ini. Oke?” aku mengangguk mantap.

“Oke, aku pilih wanita.” Lanjutnya.

Aku melempar koin keatas lalu menangkapnya lagi dan meletakkannya di telapak tangan. Wanita! Aku bersemangat menunggu apa yang dipilih oleh Alakay.

Truth.” Ujarnya. Aku tersenyum lebar.

“Bagian mana dari tubuhku yang ingin kau lihat terlebih dahulu?” tanyaku.

Aku sangat penasaran akan jawaban Alakay.

Namun, kegilaanku belum sampai disitu saja. Ketika Alakay ingin menjawab, aku menahannya.

“Kau harus memegangnya.” Ucapku lagi.

Alakay mendekat kearahku hingga kami hampir tidak berjarak. Tangannya mengarah ke dadaku.

“Seharusnya kau lebih spesifik dalam memberi pertanyaan. Mengapa tidak kau perintahkan untuk menunjukkannya dengan bibir saja?” bisiknya sedangkan tangannya meremas lembut kedua dadaku hingga aku mengerang.

Bibir Alakay mencium bibirku lagi hingga aku kehabisan nafas.

Sedangkan kedua tangannya masih intens meremas dan terus meremas.

Aku yang tidak tahan, menahan kepalanya agar tidak menciumku lebih dalam lagi.

“Giliranmu.” Ucapku dengan nafas yang memburu. Ini akan jadi permainan yang sangat lama.

Kini gilirannya yang melempar koin. Wanita, lagi.

“Aku pilih dare.”

Aku merangsek maju kearahnya dan membuatnya terlentang. Aku mengambil alih dengan menaikinya dan mencium bibirnya sekilas.

“Jangan gunakan tanganmu dan jangan melawan.”

“Satu putaran, satu perintah, lady.”

Aku menyeringai dan menciumnya dengan bernafsu. Ia menurut.

Tangannya masih ada diatas kepalanya dan tidak bergerak sama sekali. Sebaliknya, aku merasakan kakinya beranjak naik hingga lututnya mengenai bokongku.

Aku yang terkejut hampir saja melepas ciuman kami namun Alakay menahannya dengan mengigit bibir bawahku pelan.

Kaki Alakay masih menggodaku dengan menelurusi bagian bawahku semampunya. Ia benar-benar membuatku gila. Sesekali lututnya sukses mengenai panties yang kupakai dan menggosoknya pelan hingga membuatku mengerang di sela ciuman kami.

Enough.” Pintaku. Aku melepas ciuman sembari turun dari atas tubuh Alakay.

Laki-laki itu hanya menatapku dengan sorot mata lucu. Sedangkan keadaanku sudah kacau.

Aku mengambil alih untuk melempar koin. Dan, burung!

I choose Dare.” Sahutku mantap.

Alakay menyeringai, “Ambil kardus di dalam kamarmu dan bawa kemari.” Titahnya.

Alisku mengernyit bingung dengan perintah Alakay. Ia terlihat menghela nafas lalu mengetuk dahiku pelan dengan kepalan tangannya.

“Kardus yang bertuliskan ‘From your bestie, Cassie’. Bawa kesini.”

Mataku lantas membelalak. Mau apa Alakay dengan kardus berisi Sex Toy itu?

I'M ON RIDE (21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang