#CATATAN_PELACUR_ASHITA
#PART_11
#POV_RIZAL“Ashita … kamu tau, aku menikahimu bukan karena cinta atau apapun. Tapi karena kutergiur dengan tubuhmu, aku lelaki muslim dan tak ingin membuat hubungan yang bisa saja merugikanku kelak. Aku pun tak ingin memiliki keturunan darimu, kau mengerti kan?” kataku padanya malam itu, Ashita terdiam, melengos kemudian menyeringai lalu bulir bening menetes.
***
Ashita Raya itu namanya, dia bukan berasal dari keluarga terhormat, dia juga bukan wanita yang memiliki impian berkeluarga, uang sepertinya adalah tuan baginya, dan aku hanya lelaki yang saat itu membutuhkan teman, butuh seseorang yang bisa kujadikan tempat hasrat untuk menyalurkan kebutuhan biologisku, hanya itu dan sekedar itu saja aku menikahinya.
Malam itu, untuk kesekian kalinya kupandangi wajah Ashita dari jauh. Wanita yang sok jual mahal di antara pendayang lainnya, malu-malu dan enggan mendekati lelaki manapun yang datang. Anak emas, kata teman sejawatnya. Aku menyeringai dan terus menerus menatapnya, ia kenakan rok mini dan berulang kali menarik-narik roknya ke bawah seperti tak nyaman, sepatu berhak tinggi, dengan perona bibi berwarna merah darah yang cukup menggoda. Raut wajahnya ketakutan tapi ia berusaha menutupinya degan senyum sewajarnya. Hingga kemudian lelaki bertato datang menghampirinya dan dia seperti orang bodoh, gelagapan mendekatiku. Lelaki yang terkenal angkuh dan tak membutuhkan wanita, malam itu aku hanya butuh minum. Aku lelaki Aceh, alam bawah sadarku tak pernah memaksa seorang wanita untuk dekat kecuali atas nama halal.
“Aku mau dia!” kata lelaki bertato padaku dengan sorot mata tajam, sementara Ashita menunduk, lengannya melilit rok mini yang sejak tadi tak nyaman ia kenakan, kuperhatikan wajah Ashita dari helai rambut hingga ujung kaki. Anak Emas, ya pantas saja jika julukan itu ia terima. Di antara gadis lainnya, dialah primadonanya. Bibirnya tebal dan sangat menggoda di tambah polesan berwarna merah darah yang membuat kulitnya semakin bersinar. Hidungnya mancung, matanya bulat hitam dan alis matanya asli bukan buatan.
“Dia sudah kubayar!” kataku yang kemudian membuat Ashita menoleh ke arahku.
“Baiklah … setelah puas berikan padaku!” Lelaki itu pergi dengan kekecewaan dan Ashita, memandangku. Matanya berkaca-kaca, ada ucapan terima kasih di mata juga sebuah harapan. Cukup lama aku diam, dan Ashita hanya terdiam di sampingku. Dia tak menggoda seperti kebanyakan pendayang lainnya. Sesekali ia letakkan tangannya di pahaku, dan itu pun gemetar. Kuusap wajahku dan hendak pulang, dan kemudian langkahku terhenti ketika jemari lentiknya menarik lenganku.
“Kamu mau apa?”
“Bukankah, Tuan mau membayar saya?” tanyanya gugup.
Aku diam, memerhatikan wajahnya. Untuk apa kubayar wanita, hanya akan menambah dosa baru. Dan aku tak ingin, ini bertentangan dengan prinsip.
“Tolong, Tuan,” lirihnya ketakutan, sementara bola matanya melirik ke arah jam sembilan. Lelaki bertato yang sejak tadi setia menunggunya. Kemudian kutarik lengannya dan mengajaknya pergi. Cukup lama Ashita terdiam, dan tak henti-henti menghela napas.
“Terima kasih … terima kasih, katanya seraya menangis di dalam mobil.”
“Ini! Keluarlah!” kataku memintanya seraya melempar setumpuk uang, malam itu melihatnya hanya bisa membuat darahku panas, tak sanggup jika berlama-lama bersamanya. Aroma tubuhnya juga kecantikannya membuatku haus, akan dirinya.
***
Malam berikutnya aku kembali, dan lagi-lagi melihatnya di sudut ruang. Ashita Raya melihatku seperti melihat harapan, ia bangkit kemudian mengekor di tubuhku. Aku menyeringai, merasa lucu dengan apa yang ia lakukan. Jika ia tak nyaman di tempat ini, kenapa ia tak kabur saja? Bodoh.
YOU ARE READING
CATATAN PELACUR
RomanceSpin off Ashita Raya dalam kisah Mengejar Rajam. Sebuah kisah yang menceritakan sebuah jalan pertaubatan. Ashita Raya memiliki kisah yang mengharukan, sebuah perjuangan hidup seorang kupu-kupu malam hingga menemukan cinta yang bisa membawanya pada k...