Part 6

2.8K 193 14
                                    

#CATATAN_PELACUR_ASHITA
#PART_6
#AIR_MATA

https://m.facebook.com/groups/488655531196343?view=permalink&id=2417733874955156
====

Wajah Bang Rizal terlihat beda begitu menyambutku di pemberhentian Bus Bireun. Sukmaku memuncak bergelora seperti meraih sebuah kemenangan. Kepergianku ke Jakarta kuanggap tepat, karena sepertinya bisa membuat lelaki bertubuh tinggi tegap itu menyesali perbuatannya.

Ia berteriak memanggil namaku “Ashita!” seketika jiwaku terbang. Jika kalian tahu bagaimana rasanya terjun menggunakan paralayang, seperti itulah yang kurasakan, aku terbang dari atas bukit menikmati indahnya alam. Meski takut dan khawatir namun tetap indah. Aku menyambut panggilannya, dan bibirku melengkung tajam ke atas. Lelaki itu berlari, apakah rindu juga menganggu harinya. Ah entahlah, aku bersuka.

“Bang Syafrizal!” teriakku, tampil berbeda dengan hijab pemberian mas Adly diakhir perpisahan kita. Beberapa hari yang lalu, sebelum ia mengantarkku ke Bus Antar kota.

“Pakailah … Mas berharap suatu saat jika kita dipertemukan kembali, kau sudah menggunakannya. Bukan karena Mas, bukan karena siapapun, melainkan karena dirimu sendiri,” kata Mas Adly seraya memberikan hijab yang terbungkus rapi plastik bening.

Sebuah hijab berwarna kuning kuterima darinya. Aku tergugah, perhatian Mas Adly begitu berarti untukku. Tak ada lagi yang perlu kukhawatirkan, masih teringat bagaimana pesannya mengalir hingga masuk ke sukma dan perlahan mengantarkannya ke alam sadarku. Aku Ashita, tak peduli bagaimana sikap suamiku kelak, aku hanya ingin menjadi wanita seutuhnya, menjalankan kewajibanku sebagai seorang istri juga hamba, hingga kelak kemenangan menjemputku.

“Bagaimana perjalananmu?” tanya Bang Rizal, kaos hitam dan celana panjang hitam membuat kulitnya terlihat cerah. Tak mampu aku menutupi rasa bahagia, seketika rasa sakit karena  perlakuannya dulu kepadaku hilang, terbawa rasa bahagia yang perlahan mengalir di aliran darah menjadi panas dan semakin panas ketika kulihat tatapan matanya yang begitu tajam.

“Alhamdulillah, Bang. Oh ya Bang boleh Ashita minta tolong?” kataku seraya menarik lengannya.

“Katakan.”

“Apa boleh Ashita mengajak teman Ashita menginap di rumah, hanya untuk beberapa hari.”

“Siapa? Ashita kamu taukan Ibu seperti apa? Abang bukannya tidak memberikan izin tapi ….”

“Ashita mohon Bang, Ashita harus membantunya. Dia tidak punya siapa-siapa di Aceh, Ashita mohon ….”

“Temanmu di mana?”

Club! Aku tahu, Bang Rizal pasti mengira aku membawa teman dari club malam yang bisa saja hina baginya.

“Aku mengenalnya di Bus, dia anak baik-baik Bang.”

“Boleh tapi hanya beberapa hari.”

Aku menarik lengan Bang Rizal kemudian mengenalkannya dengan Adira Azzahra, mata Bang Rizal beradu. Sepersekian detik ia memerhatikan cara berpakaian Zahra yang terlihat anggun dan sopan, hingga kemudian ia seperti mengubah keputusannya.

“Saya Rizal,” katanya dengan senyum yang berbeda. Sebuah serangan tak nyaman menusuk-nusuk kini. Sementara Zahra aku tahu, gadis itu begitu lugu dan baik. Ia tak mungkin menjadikan dirinya benalu dalam hidupku.

Menyusuri perbukitan Takengon, aku bergelayut manja di pundak Bang Rizal, dan lelaki itu menyambut dan tak menolak. Sementara Zahra masih terdiam duduk di kursi belakang. Danau air tawar juga indahnya perbukitan Takengon yang berliuk-liuk dan terlihat seperti sebuah lukisan ini seperti tak berarti untuknya. Sesekali aku menatapnya, berharap senyuman di gadis itu kembali pulih.

CATATAN PELACURWhere stories live. Discover now