Selalu ada bahasa yang tak bersuara,
ada aksara yang tak memerlukan kata-kata,
dan aku menyebutnya sebagai cinta.Jungkook masih ingat dengan jelas kata-kata itu, kata-kata yang tertulis rapi di bagian tengah notes Namjoon, dikelilingi tulisan cakar ayam yang nyaris tak terbaca. Sisi puitis dan melankolis Namjoon memang sering terlukis jelas lewat lirik lagu yang ditulis, tapi sisi picisannya jarang sekali mendapatkan ruang untuk tampil. Ah, rasanya tak pantas bagi Jungkook jika menyebut tulisan itu dalam kategori picisan, tapi Namjoon sendirilah yang melabelinya, disusul tawa hambar setelahnya.
Bahwa Namjoon selalu menjadi pendengar yang baik tiap anggota bangtan menyampaikan keluh kesah, bahwa Namjoon selalu memberikan tatapan penuh perhatian bagi lawan bicaranya, adalah hal yang diketahui semua orang. Namun, Namjoon yang menatap Yoongi tiga detik lebih lama dari yang seharusnya, menatap Yoongi dengan sorot yang lebih lembut dari yang ia berikan pada yang lainnya, agaknya butuh waktu lebih bagi orang lain untuk menyadarinya. Atau mungkin sebenernya anggota bangtan yang lain pun tahu, hanya saja mereka memilih untuk tak bersuara? Mengingat kedekatan dalam tim mereka, sepertinya pilihan kedua lebih memungkinkan. Karenanya, Jungkook pun menarik diri, memberi ruang bagi Namjoon untuk sibuk dengan pikirannya. Hingga sore itu Namjoon memilih untuk membagi secuil rahasia setelah Jungkook melihat tulisannya.
"Ada hal-hal di dunia ini yang tak bisa diwakilkan hanya dengan satu kata, Jungkooka-ah. Pikiran manusia sering kali terlalu kompleks, terlalu sibuk membuat katalog untuk perasaan yang dialami. Mungkin sekarang aku pun begitu," kata Namjoon.
Jungkook menarik napas dalam, lalu menepuk pundak Namjoon. "Hyung tahu kan aku bukan orang yang pandai berkata-kata, tapi aku akan selalu jadi pendengar yang baik, juga pengamat yang baik."
Hening sejenak sebelum tawa Namjoon akhirnya bergema di studio miliknya. Ada semburat merah jambu di pipinya, tapi kali ini ia tak repot menyembunyikannya. "Jadi kau sudah tahu?"
"Aku tak kaget jika orang itu adalah Yoongi Hyung."
Kembali tawa Namjoon terdengar. Kali ini lebih renyah.
***
Selalu ada cinta yang dirayakan dalam diam.
Sepertinya tak ada kata-kata yang lebih tepat digunakan untuk menggambarkan cinta antara Namjoon dan Yoongi semenjak mereka memutuskan untuk tinggal bersama, menyingkir dari dorm Bangtan yang lebih ramai dan mewah. Bukan karena mereka butuh privasi, bukan tak mau ada intervensi, bukan pula karena risih dengan godaan dari kawan-kawan kesayangan mereka. Hanya saja, Namjoon dan Yoongi ingin menepi sebentar, memberikan waktu lebih banyak untuk satu sama lain. Namjoon ingin memberikan sebanyak mungkin kenangan untuk Yoongi hingga nanti saat ia pergi, kenangan itu cukup untuk untuk membuat Yoongi tak merasa sendiri. Begitu pun Yoongi, ingin dalam masa-masa terakhirnya, Namjoon tahu bahwa ia tak sendirian, bahwa teman seperjuangannya akan selalu ada untuknya, berjuang bersamanya. Apa pun kondisinya.
Namjoon tahu sekuat apa pun semangat hidupnya, sekeras apa pun ia berjuang, kankernya yang telah memasuki tahap metastatis tak bisa begitu saja disepelekan apalagi diabaikan. Ia tak tega jika Yoongi harus melihat ketika rasa sakit yang teramat sangat menyerang Namjoon, tapi ia lebih tak tega jika meminta Yoongi pergi. Dengan tak berada di sisi Namjoon ketika lelaki berlesung pipi itu berjuang, justru akan membuat Yoongi merasa bersalah di sisa hidupnya. Namjoon bukannya tak tahu diam-diam Yoongi menangis ketika malam semakin tua, Namjoon pun tahu seberapa menyesakkannya bagi Yoongi saat melihat Namjoon kesakitan atau saat Namjoon menjalani terapi. Tapi lagi-lagi, mereka sama-sama tak sanggup jika tak bersama.
Jangan tanya seberapa takut Namjoon meninggalkan dunia. Karena meninggalkan dunia ini, berarti ia harus meninggalkan Yoongi sendirian, meninggalkan lelaki berbibir tipis itu menyambut pagi dan melepas hari sendiri. Tak akan ada lagi yang akan meningatkannya untuk tak terus-terusan menambah kopi, tak akan ada lagi yang mengangkatnya dari kursi kerja lalu merebahkan di sofa bed di salah satu sisi studio ketika terlalu asyik dengan musik garapannya. Tak akan ada lagi yang mematikan lampu ketika Yoongi teramat lelah, tak ada lagi yang akan mengingatkan Yoongi untuk sering-sering menyapa matahari terbit alih-alih mengurung diri di studio. Tak akan ada lagi....
Semakin lama, deretan kalimat yang bermula dengan "tak akan ada lagi" itu semakin panjang, pun semakin menyesakkan. Semakin lama, air yang menetes di pipi tirus Namjoon semakin deras. Semakin lama, tangis tanpa suara itu pun akhirnya diselingi sedu sedan.
Tanpa Namjoon sangka, lengan seputih pualam telah memeluknya dari belakang, disusul dagu yang menopang di bahu Namjoon.
"Aku akan baik-baik saja, kita akan baik-baik saja," bisik suara parau yang begitu familiar di telinga Namjoon.
Tangan Namjoon pun tergerak untuk memegang lengan yang melingkari bahunya. Kali ini ia tak berusaha untuk tampil tegar, pun tak berusaha untuk menolak. Ia ingin menunjukkan semua sisi dirinya pada Yoongi, termasuk sisi lelah dan nyaris putus asa yang menggerogotinya hari demi hari.
"Aku lelah, Hyung. Semuanya terasa begitu berat," kata Namjoon di sela isak tangisnya.
Kepala Yoongi mengangguk. Ia pun tak repot-repot menyembunyikan tangisnya.
"Aku tahu. Kau boleh istirahat, kau boleh mengeluh, kau tak harus selalu terlihat kuat. Katakan padaku kalau kau tak baik-baik saja, katakan padaku kalau kau merasakan sakit. Katakan padaku semua yang kau rasakan, Sayang."
Jeda. Hanya ada isak tangis yang terdengar.
"Terima kasih untuk semuanya, Hyung. Terima kasih sudah mencintaiku."
Yoongi melepas pelukannya, memutar kursi Namjoon, lalu menangkup wajah yang begitu disayanginya itu dengan kedua tangannya. Ia perhatikan setiap detail yang ada di sana. Mata yang dalam dan cekung itu masih memancarkan kecerdasan dan kelembutan yang tak terbantahkan. Hidung mungil yang sering ia gosokkan dengan hidungnya di pagi hari, pipi yang dulunya berisi sekarang tampak begitu cekung, hingga akhirnya tatapannya berhenti pada bibir yang tampak kering tapi tetap jadi bibir favoritnya, karena kata-kata yang keluar dari sana tetaplah kata-kata yang mampu membuat Yoongi bersyukur.
"Terima kasih untuk cinta yang begitu indah, Namjoon-ah," kata Yoongi sebelum kembali memeluk Namjoon dan mencium kening Namjoon selembut yang ia bisa.
***
Selalu ada cinta yang dirayakan dalam diam.
Dan hari ini, setelah sekian tahun lamanya, Jungkook akhirnya punya kesempatan untuk melihatnya. Meski kali ini Yoongi menjadi penampil tunggal. Bukannya Jungkook keberatan. Hanya saja, seandainya perayaan itu ditampilkan oleh orang yang berpasangan, terutama Namjoon dan Yoongi sendiri, bukankah akan sangat indah? Ah, buru-buru Jungkook menggelengkan kepala, lalu kembali memfokuskan perhatiannya pada Yoongi yang tampak hati-hati memegang sebuket kecil baby's breath di tangannya. Ah, sepertinya memegang terlalu sederhana, kata menimang sepertinya justru lebih tepat untuk digunakan mendeskripsikan cara Yoongi memperlakukan bunga itu. Sentimental memang.
"Kau tahu kenapa aku lebih memilih baby's breath dibanding krisan putih, Kook?" tanya Yoongi yang memecahkan keheningan ketika Jungkook tak kunjung menyalakan mesin mobil.
Sebagai jawaban, Jungkook hanya menggelengkan kepala."Karena aku tak ingin berduka hari ini. Di mataku, Namjoon dan cinta yang dimilikinya mirip dengan bahasa yang dimiliki bunga ini; suci, murni, dan abadi."
Kali ini Jungkook tercekat. Sayup-sayup Jungkook bisa mendengar suara berat Namjoon yang melantunkan "Love is Not Over", yang anehnya meski sumbang tetap terdengar menenangkan.
Now I say that
You're like hello and goodbye
At my beginning and my end
There
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweater Weather
Fanfiction"Bagaimana rasanya mencintai seseorang yang begitu mirip denganmu, Hyung?" tanya Jimin suatu sore. Yoongi pun tersenyum, lalu menjawab, "Sangat indah. Rasanya seperti aku belajar untuk mencintai diriku sendiri pada saat yang bersamaan."