7-Let Go

766 95 59
                                    

Trigger Warning:

Chapter ini menceritakan tentang major character death. Mungkin kau akan butuh tisu karena aku pun begitu. Jika kau tak sampai hati, baiknya ambil jeda atau melewatkan bagian ini dulu. Jika kau memutuskan untuk terus melangkah dan akhirnya menemaniku menitikkan air mata, jangan ragu untuk memberitahuku. Barangkali kita bisa saling meminjam bahu.

***

Seandainya saja hidup tak berevolusi, Namjoon ingin agar hidupnya terhenti di titik sebelum ia mendengar diagnosis penyakitnya. Di titik mana pun itu, ia tak keberatan. Bukan karena  kehidupannya lebih menyenangkan, bukan juga karena hidupnya lebih mudah. Dulu, permasalahan hidupnya hanya seputar konsep album, lirik lagu, pertengkaran kecil dalam grup, sesekali diwarnai rundingan melelahkan dengan agensi, atau rasa rindu pada rumah. Semuanya bisa diselesaikan, semuanya menjanjikan jalan keluar. Namun tidak untuk masalah penyakitnya ini. Tak ada jalan keluar yang melegakan. Hari demi hari ia lalui dengan dua pertanyaan senada; sampai kapankah ia sanggup bertahan? Akankah esok pagi ia masih bisa membuka mata dengan Yoongi di sampingnya?

Pernah suatu kali Namjoon berandai-andai. Seandainya saja suatu momen bisa selamanya menjadi fosil, Namjoon akan dengan senang hati melakukannya. Ia telah menemukan momen yang tepat; saat di mana ia bangun lebih dulu dari Yoongi dan bisa melihat wajah tembam itu terkena seberkas sinar matahari pagi yang memberikan efek sendu nan hangat. Namjoon ingin agar fosilnya diisi dengan Yoongi yang terlihat damai dalam tidurnya tanpa perlu mengecek apakah Namjoon masih bernapas tiap kali lelaki bersenyum manis itu terbangun.

Meski gemetar dan masih lemah, jemari panjang kurus Namjoon bergerak menyingkirkan anak rambut yang menutupi wajah Yoongi. Butuh tenaga ekstra baginya untuk bisa mengecup kening Yoongi. Sebuah kecupan yang mungkin akan menjadi kado terakhir yang bisa ia berikan secara langsung. Berbeda dengan hari-hari sebelumnya, bangun paginya kali ini tak disambut dengan dua pertanyaan menyesakkan itu. Ia terbangun oleh bisikan lembut semesta yang mengabarkan padanya bahwa sudah saatnya ia menyampaikan salam perpisahan pada cintanya di kehidupan kali ini. Karenanya, dengan segenap perasaan yang ia miliki saat ini, dengan segenap emosi yang bermuara pada satu kata yang ia sebut cinta, Namjoon mengecup kening Yoongi, lebih lama dari biasanya.

Namjoon tak tahu mana yang membangunkan Yoongi, kecupannya ataukah air mata Namjoon yang p menetes di pipi seputih pualam itu. Begitu telinganya menangkap suara erangan pelan Yoongi, Namjoon pun tersenyum, lalu perlahan kembali ke posisinya semula; berbaring menghadap ke kanan sambil menatap Yoongi. Ia kembali merebahkan kepala ke bantal. Matanya yang teduh menatap Yoongi yang menggosok kelopak matanya dengan jemari panjang kurus yang Namjoon sukai.

"Selamat pagi, Min Yoongiku," kata Namjoon begitu mata mereka bertemu.

"Selamat pagi juga, Kim Namjoonku," balas Yoongi dengan suara serak. Bohong jika air mata Namjoon tadi tak memberikan efek apa pun ada diri Yoongi. Namun, tentu saja ia harus menyembunyikannya. Diam-diam ia bersyukur karena karakter suara rendahnya memang selalu terdengar serak saat bangun tidur.

"Karena hari ini kau bangun lebih dulu dariku, katakan kau mau hadiah apa?" tanya Yoongi. Ia berusaha keras agar kali ini suara paraunya menyiratkan keriangan.

Namjoon tampak berpikir sejenak sebelum akhirnya menampilkan lesung pipinya. "Panekuk. Aku ingin sarapan dengan panekuk dan secangkir cokelat hangat."

Tak ingin membuat Namjoon menyadari kecemasan yang merambati benaknya, Yoongi pun bergegas menyibakkan selimut. Ia bersiap mendudukkan Namjoon lalu memapahnya ke kursi roda. Tidak, Namjoon tak lumpuh. Hanya saja kondisinya terlalu lemah untuk berpindah ke sana ke mari.

Sweater WeatherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang