Mala membelalak saat ponsel hitamnya dilempar Rey dengan sengaja ke dalam kolam renang. Segera ia menceburkan diri, mencari benda pipih berlayar 6 inci tersebut. Dalam kegelapan, Mala masuk ke dalam air, mencari dengan perasaan cemas. Berharap tidak terjadi apa pun dengan ponselnya.
Si pelempar ponsel sangat terkejut melihat Mala menceburkan diri ke dalam kolam. "Apa yang kamu lakukan? Cepat keluar!" Rey berteriak. Ia merasa gadis itu bersikap terlalu berlebihan. Pria itu hanya memutar dan memerhatikan kolam renang karena Mala belum juga muncul ke permukaan.
Tidak butuh waktu lama, akhirnya Mala muncul dan naik dengan badan gemetar karena kedinginan. Rey menghampiri dan menatap gadis itu dengan kesal.
"Untuk apa kamu mengambil benda itu, Mala? Aku bisa membelikannya lagi jika kamu mau," bentak Rey, tetapi Mala justru sibuk menghidupkan ponselnya.
"Mala ... Dengarkan aku!" Teriakan Rey membuat Mala menoleh, pipinya memanas. Bukan karena bentakan itu, melainkan benda berharga yang dengan mudah pria bertubuh tegap itu ia hempaskan tanpa berkata apa pun. Rey memandang wajah Mala yang menatapnya dengan mata berkaca-kaca.
"Asal kamu tahu, jika saja ponsel ini harus ditukar dengan nyawamu, aku akan memilih ponsel ini." Mala mulai terisak, dadanya sesak, air mata mulai menetes perlahan.
"Aku bisa membelikanmu yang baru. Ka--"
"Ini pemberian bapak saat ulang tahunku!" Tubuh mungil itu bergetar hebat, air matanya semakin deras. Rey, pria berwajah datar itu sedikit merasa bersalah. Tangannya terangkat, berusaha menyentuh tubuh yang kian lama semakin terguncang karena menangis. Namun, dengan sigap Mala menepis tangan kekar pria yang kini bersetatus sebagai suaminya.
Mala mengangkat wajahnya, ia menatap Rey dengan rasa kecewa. "Tidak semua hal bisa Anda nilai dengan uang, termasuk sebuah kenangan," ucap Mala seraya melangkah meninggalkan pria bermata elang itu sendiri.
Rey bergeming, tak ada keberanian untuk mengejar, ia mengusap wajahnya kasar lalu duduk kembali di kursi sembari memijit kepala yang berdenyut. Disandarkannya punggung di bahu kursi, memandang langit malam.
Entah mengapa ia merasa terjebak dengan pernikahannya bersama Mala. Ia baru menyadari jika semua ini hanya membuat luka, termasuk Mala. Begitu pun dengan perasaannya yang belum ada perubahan atau keinginan untuk mencintai gadis itu.
Sementara itu, Mala yang sudah mengganti bajunya, menggosok rambut perlahan dengan sebuah handuk kecil. Ia duduk di tepi ranjang, matanya menatap ke arah ponsel yang diletakkan di nakas.
Jemari lentik Mala meraih benda pipih berwarna hitam yang sudah tak berfungsi, digenggamnya erat dengan menghela napas berat. "Bapak, Mala rindu ...."
***
"Selamat ulang tahun, Nak." Pak Abdul memeluk putrinya. Sesekali mencium pucuk kepala anak gadisnya yang sudah beranjak dewasa, tapi selalu ia anggap sebagai gadis kecil di mata tuanya.
"Terima kasih, Pak," ucap Mala memeluk tubuh renta itu dengan erat. Keduanya saling berpelukan cukup lama. Menumpahkan kasih sayang sebagai anak dan orang tua.
Pria yang wajahnya penuh keriput itu melepaskan pelukan, ia merogoh tas, mengambil sesuatu di dalam sana. Sebuah kotak berwarna putih dengan gambar ponsel di bagian depan. Pak Abdul menyodorkan kotak itu pada Mala, tetapi gadis itu hanya terdiam dengan menautkan alisnya.
"Ambil, ini kado dari Bapak untukmu," tutur Pak Abdul meletakkan kotak itu di tangan Mala. Gadis itu terdiam, membolak-balikan kotak tersebut.
"Tapi, Pak. Ini mahal harganya, dan ponsel Mala masih bisa dipakai kok," jelas Mala sambil mengelus pundak sang Bapak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hello, Mr. Cold!
Roman d'amourSebuah impian Pak Abdul, pria tua yang sangat mencintai anak gadis semata wayangnya, ia berharap putri kesayangan itu menikah dengan pria baik. Rey Anggara, Bos tempat ia bekerja selama dua puluh lima tahun itu berjanji akan mengabulkan impian sopir...