Part 6

7.1K 454 57
                                    

POV Rey

Pesawat mendarat dengan aman di Bandara Udara Internasional Adisutjipto. Aku dan Nirmala segera mengambil koper dan masuk ke dalam mobil penginapan yang sudah menunggu. Mama telah menyiapkan segalanya, termasuk sebuah penginapan di dekat Pantai Parangtritis. Jarak yang harus ditempuh sekitar 38km dan memakan waktu hampir dua jam untuk sampai di sana. Entah tempatnya seperti apa, hanya saja Mama begitu menggebu membicarakan pemandangan di sana.

Sebuah keheningan menemani kami di sepanjang perjalanan, berkutat dengan ponsel masing-masing. Sesekali aku melirik Mala yang asyik dan terkadang tersenyum dengan benda pipih berlayar 7 inci miliknya. Entah dengan siapa dia berkomunikasi, aku sedang malas berdebat dengannya. Hubungan kami memang tidak seperti pasangan normal lainnya, yang ada hanya suasana dingin penuh kecanggungan. Kalau saja bukan Mama yang meminta,  tidak terpikir untuk melakukan 'bulan madu'. Apa itu bulan madu? Sesuatu yang menyita waktu mengingat pernikahan ini hanya sebuah keterpaksaan.

Akhirnya kami sampai di sebuah penginapan bernama Villa Alcheringa. Saat masuk saja mata ini disuguhkan dengan pemandangan yang begitu asri dengan segala penghijauannya. Konsep dari penginapan ini semacam back to nature, sehingga bangunan interior terlihat sangat manis dengan banyaknya tanaman yang menyegarkan pandangan. Aku menoleh ke arah Mala yang tertegun menatap lurus ke depan. Mungkin dia sama takjubnya dengan pemandangan di sini.

"Mau tetap diam atau mau masuk?" tanyaku sembari memakai kaca mata hitam yang tersemat di kemeja dan melangkah mendahului gadis itu. Ia sedikit terperanjat, lalu mengikuti dari belakang.

Masuk ke dalam ruangan. Lagi, mata ini disuguhkan dengan bangunan interior yang menakjubkan. Setelah mengurus segalanya kami langsung menuju kamar. Ini sangat indah, ketika membuka jendela pun langsung berhadapan dengan pemandangan pantai. Pantas saja Mama begitu antusias dengan tempat ini, karena seleranya terhadap nuansa alam begitu menggebu.

Aku melepas kaca mata dan terdiam di bagian samping kamar, menikmati hamparan pantai dan deburan ombak di depan sana. Begitu pun dengan Mala, bibirnya terlihat tak lepas dari sebuah senyuman. Aku memperhatikan gadis itu yang menatap lurus ke depan. Sepoi angin menerpa rambutnya yang sengaja digerai, poni yang jadi ciri khasnya mulai terlihat kusut. Jika diperhatikan seperti ini, Mala terlihat manis. Ah ... pikiran macam apa ini?

Mala menoleh ke mari, dengan segera aku membuang pandangan. Jangan sampai gadis itu tahu jika sedari tadi aku memperhatikannya. Ia terlihat beranjak dan masuk kembali ke kamar. Aku ikut berbalik, dan bergegas naik ke ranjang yang berbalut seprai putih itu. Merebahkan badan, melepas penat karena lelah di perjalanan. Sementara Mala memilih untuk mandi.

Aku memainkan ponsel, mengecek notif grup kantor yang melaporkan hasil kerja para karyawan. Tiba-tiba saja sebuah notifikasi masuk dari Mama.

[Kenapa kamu masih online?]

Aku mengernyit dengan pertanyaan Mama. Kenapa harus menyelidik seperti itu. Dengan segera jemari ini mengetik balasan.

[Banyak sekali laporan pekerjaan yang masuk, Ma. Aku tidak bisa lepas tangan begitu saja]

[Rey, Mama tidak mau tahu. Tinggalkan semua pekerjaanmu dan bersenang-senanglah dengan Mala. Mama sudah menyerahkan semua tugasmu pada Indah, sekretarismu. Ingat ... jangan kecewakan Mama untuk sekarang ini]

[Iya, Ma]

[Matikan data sekarang]

Aku menghela napas berat. Mama terlalu banyak berharap dengan hubunganku dan Mala menjadi lebih dekat. Padahal pada kenyataannya dia tahu hubungan ini hanya tanggung jawab saja. Malas berdebat, data langsung kumatikan--sesuai perintah Mama.

Mala terlihat ke luar dari kamar mandi, ia menggunakan kimono handuk yang telah disediakan penginapan ini dan handuk kecil di rambutnya. Ia melepas handuk di kepala, dan menggosok rambut berwarna kecokelatan itu. Aku segera beranjak dari ranjang untuk pergi mandi.

Hello, Mr. Cold!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang