Matahari tersenyum lebar menyapa bumi pagi ini. Membangunkan jiwa - jiwa yang penuh semangat, seperti siswi yang satu ini. Suara hentakan kakinya menggema di seluruh penjuru koridor. Ia berlari cukup kencang dengan diselingi nafas terengahnya.
Di belakangnya, terlihat seorang lelaki paruh baya dengan kumis tebal maskulinnya. Yang siap membuat semua orang menatapnya ngeri. Belum lagi tongkat rotan yang berada di genggamannya.
Di kejar - kejar oleh guru bk dan beberapa anggota osis adalah sarapan pagi bagi seorang Rebecca. Gadis itu tak pernah bosan menghadapi setiap paginya yang akan sama seperti ini. Bahkan, ia merasa begitu bahagia bisa berlarian kesana kemari dan tertawa.
"Hey, hey!" teriak Pak Budiman, begitu keras.
Masih dengan larinya, Rebecca menoleh singkat kearah Pak Budiman yang tertinggal jauh di belakangnya. Gadis itu terkikik geli. Selalu saja seperti ini. Pak Budiman tidak pernah berhasil mengejarnya sampai jauh. Di tengah jalan, guru bimbingan konseling kesayangannya itu selalu menyerah.
Geram karena di tertawakan oleh siswi terbandelnya ini, Pak Budiman lantas menyuruh beberapa anggota osis yang ada untuk mengejar Rebecca. Rebecca pun menghentikan larinya ketika melihat Pak Budiman berhenti mengejarnya.
"Lah.. kok, udah nyerah sih, Pak? Ah, bapak nggak seru, ih," rengek Rebecca.
Yang sedetik kemudian, ia kembali berlari ketika melihat raut muka Pak Budiman memerah menahan amarah.
Rebecca kembali terkikik, melihat di belakangnya terdapat beberapa osis laki - laki yang bersiap untuk mengejarnya. Rebecca menjulurkan lidahnya. Kemudian, ia kembali berlari menyusuri koridor.
Jangan lupakan bagaimana reaksi siswa - siswi lain yang berlalu - lalang di sepanjang koridor. Mau tak mau, mereka terpaksa menghentikan langkah kaki mereka. Mereka hanya bisa menggelengkan kepala, sembari tetap membuka jalan kepada si pentolan sekolah itu. Entah kapan gadis itu berhenti berulah.
Kaki jenjang Rebecca terhenti, begitu ia sampai di depan toilet putri. Tanpa ba bi bu lagi, ia masuk kedalam salah satu bilik toilet. Gadis itu menarik nafas panjang untuk menenangkan nafasnya. Tangan lentiknya juga ikut mengipas - ngipas di depan wajah agar mendapat udara yang segar.
Jika sudah dikejar - kejar seperti ini, pasti sudah cukup banyak yang gadis itu langgar. Biasanya, ia akan dikenai hukuman berdiri di lapangan atau mencabuti rumput liar di taman belakang. Namun, bukan Rebecca kalau ia tak berhasil mengelak dari hukuman.
Dirasa cukup lama dirinya bersembunyi, akhirnya Rebecca keluar dari toilet. Yang langsung mendapat tatapan tajam menilisik dari salah seorang anggota osis putri. Rebecca pun mengusap dadanya pelan karena terkejut.
"Pelanggaran pertama: tidak memakai sepatu hitam, poin 5. Pelanggaran kedua: memakai kaos kaki semata kaki yang harusnya 7cm lebih panjang, warna hitam pula, tak berlogo lagi, total poin 15. Pelanggaran ketiga: seragam tidak di masukkan, dasinya ilang ya, Kak? Total poin 10. Jadi, poin yang berhasil Kakak kumpulin pagi ini ada 30. Dan ditambah dengan poin Kakak sebelumnya—, jadi 325," papar gadis itu, sembari membenarkan letak kacamatanya yang melorot. Ia cukup terkekut dengan total poin yang dimiliki oleh kakak tingkatnya itu.
Rebecca menyipitkan matanya. Mencoba mengenali siapa gadis di depannya ini. Matanya bergulir kesamping, menatap bandana biru yang terikat di lengan atas gadis itu.
Ah, rupanya gadis itu adalah wakil ketua osis baru.
Pantas, ia cukup berani berkata sebanyak itu kepada Rebecca. Sepertinya, gadis itu belum mengetahui dengan benar siapa yang ada di hadapannya saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bulan untuk Bintang
Teen FictionMereka berasal dari langit yang sama. Dibesarkan di bumi yang sama pula dan tumbuh dengan baik dengan pijakan yang sejajar. Bintang mencintai Bulan-nya. Tak peduli, jika Bulan adalah cewek paling badung di sekolah. Sedangkan dirinya sendiri adalah s...