—Tiba - tiba, Brak!
Pintu masuk di tendang paksa oleh seorang pria dewasa, yang dibopong oleh gadis remaja dengan pakaian yang begitu minim. Pria dewasa itu berjalan sempoyongan menuju Mama Eca.
Mata mungil Eca berbinar mengetahui pria dewasa yang tak lain adalah Papanya itu telah pulang. Namun, binar itu hilang begitu ia melihat sosok gadis remaja yang membopong Papnya. Dia siapa?
Mama Eca pun segera menghampiri Papa Eca. Ia menuntut penjelasan. Papa Eca berdiri dengan tegap dan dengan tenangnya merangkul mesra gadis remaja yang sampai saat ini tak di ketahui namanya oleh Eca.
Mata Mama Eca mengembun dan dengan cepat tangannya melayang menampar Papa Eca hingga Papa Eca terhuyung ke samping.
"Dasar, laki - laki bajingan! Apa yang kamu dapat dari wanita prapatan ini, hah?! Kamu mengecewakan aku dan Eca, mas!" bentak Mama Eca dengan suara tercekat.
Eca yang kaget dengan suara bentakan itu pun bergetar hebat. Dan sebutir demi sebutir air matanya luruh. Ia berlari kearah Mamanya dan menggenggam tangan sang Mama. Dengan polosnya ia berkata, "Mama jangan bentak - bentak, Eca takut."
"Papa, tante ini siapa? Kenapa dia ada di sini? Papa, Eca sekarang ulang tahun, loh. Kenapa Papa pulang telat? Papa lupa, ya?"
lanjutnya lagi.Namun, Papa Eca tak menyerukan sepatah kata pun. Ia hanya diam, berdiri di samping gadis remaja yang ia bawa.
"Mas, jawab! Kenapa kamu mendadak gagu. Apa kamu tahu? Eca dari tadi nungguin kamu pulang, mas! Hari ini ulang tahun dia. Dan kamu? Kamu malah seneng - seneng sama perempuan gak tau diri ini!"
Plak!
Satu tamparan dari Mama Eca mendarat mulus di pipi gadis remaja itu. Papa Eca pun menegang. Mukanya merah padam menahan amarah.
"Dasar, perempuan jalang!" teriak Mama Eca di depan wajah perempuan itu.
Bruk!
Tak disangka, Papa Eca malah mendorong tubuh Mama Eca hingga Mama Eca tersungkur kebelakang. Eca yang masih menggenggam tangan Mamanya pun ikut tersungkur.
"Jangan pernah sentuh gadis saya." ucap Papa Eca penuh penekanan.
Sementara Eca yang tak mengerti semua ini, ia hanya bisa menangis. Ia melirik Mamanya yang di dorong oleh sang Papa. Eca berdiri dan mendorong tubuh Papanya balik. Berulang kali, tapi tak berpengaruh apa pun. Papa Eca malah terkekeh dan menarik lengan mungil Eca.
"Kamu juga, anak nggak tau diuntung! Sekarang, silahkan kalian berdua angkat kaki dari sini! Saya sudah muak dengan kalian berdua!" bentak Papa Eca.
Eca pun semakin menangis ketakutan. Ada apa ini? Kenapa semua ini terjadi? Kenapa di ulang tahunnya orang tuanya harus bertengkar? Kenapa kado tahun ini begitu menyesakkan? Kenapa harus di hari ulang tahunnya?
Mama Eca pun berdiri dan berjalan menuju kamar. Mengemasi barang - barang dan memasukannya di koper. Eca pun berlari menuju Mamanya.
"Mama, mau kemana?" tanya Eca dengan terisak.
Mama Eca pun berjongkok, menyamakan tingginya dengan Eca. Setetes air mata itu jatuh di pipinya. Ia merasa kasihan kepada gadis kecil ini. Sebentar lagi, ia akan kehilangan kasih sayang orang tuanya. Sebentar lagi, hidupnya akan kacau.
"Mama jangan nangis, Eca gak suka." ujar gadis kecil itu sembari mengelap air mata Mamanya.
Mama Eca tersenyum memaksa. Hatinya seakan tercubit memandang wajah Eca. Kemudian, ia mengelus surai rambut Eca.
Lalu berkata dengan lirih, "Eca jaga diri baik - baik, ya. Eca harus disini jagain Papa. Mama keluar sebentar sampai Mama nanti bisa beli rumah sendiri buat Eca. Mama janji, nanti kalau Mama udah sukses, Mama pasti jemput Eca. Eca jangan nakal, ya."
Entah mengapa, hati kecil Eca seakan tersayat, perih sekali saat ia mendengar penuturan sang Mama. Meskipun Eca tak mengerti apa yang sedang Mamanya itu bicarakan. Dengan takut, Eca menggeleng kecil kepada Mamanya.
"Eca mau sama Mama, Eca gak mau sama Papa. Papa jahat, Eca gak suka."
Mama Eca pun memeluk erat tubuh mungil Eca. Mungkin, ini adalah pelukan perpisahan darinya. Dan mungkin, adalah pelukan terakhir untuk Eca. Kemudian, Mama Eca mencium kedua pipi tembam milik Eca dan berakhir di kening Eca.
Tanpa mengucap sepatah kata lagi, Mama Eca keluar dari kamar beserta kopernya. Eca pun mengejar Mamanya dengan kaki kecilnya.
"Mamaaa, Mamaa mau kemanaa? Eca ikut Maaaa!" teriak Eca.
Sementara di ruang tamu, Papa Eca tengah berduduk santai dengan ditemani gadis remaja tadi. Mereka berdua malah tampak bahagia sekali.
Eca pun tetap mengejar sang Mama, hingga ia terjatuh dan memegangi kaki Mamanya.
"Mama, Eca ikuuut," lirihnya.
Mama Eca pun kembali menangis dan mengangkat tubuh Eca hingga gadis kecil itu berdiri.
"Maafin, Mama." ucap Mama Eca. Kemudian berlari menuju gerbang dan menutup gerbang itu.
Tangis Eca pun pecah. Kini Mamanya pergi. Akan kemana Mamanya itu? Kenapa Mamanya pergi tanpa membawa Eca? Kenapa Papanya hanya diam saja? Kenapa?
Dengan tangisnya, Eca masih bersikukuh untuk mengejar sang Mama. Ia berlari menuju gerbang dan meminta pada Pak Satpam untuk membuka gerbang.
"Pak Umar, bantuinn Eca. Eca mau ketemu Mama.." teriaknya dengan terisak.
Pak Umar pun merasa kasihan kepada Eca. Diliriknya Mama Eca yang masih tak jauh dari rumah. Pak Umar pun membukakan pintu gerbang untuk Eca.
Tubuh kecil Eca pun berlari sekuat tenaga menuju sang Mama. Digenggamnya tangan wanita itu. Ia tak ingin genggaman itu terlepas sampai kapanpun.
Namun dengan kasar, Mama Eca menghentak tangan mungil Eca, hingga tubuh kecil Eca tersungkur ke aspal. Kaki dan tangannya terasa perih mencium aspal begitu keras, hingga kulitnya lecet dan mengeluarkan darah.
Eca meringis. Dan Mamanya? Wanita itu seolah tak peduli lagi kepada Eca dan malah masuk kedalam taksi yang tiba - tiba saja melintas.
Sekuat tenaga, Eca berdiri dan mengejar taksi itu sembari memanggil - manggil nama Mamanya. Berharap taksi itu berhenti dan mamanya berbalik kepadanya, serta memeluk erat dirinya yang tengah terluka.
Namun sayang, taksi itu semakin jauh dan semakin hilang dari pandangan Eca. Tubuh mungil Eca melemas. Terduduk di aspal dengan tangis rapuhnya. Gadis kecil itu benar - benar terluka sekarang.
Tiba - tiba, sinar terang muncul dari balik punggungnya. Terdengar suara klakson begitu jelas di belakang tubuh mungilnya. Namun seolah kehilangan tenaga, gadis itu tak bisa melakukan apapun.
Ia telah kehilangan cahaya terbesar di hidupnya, seorang Mama.Dan semuanya menggelap.
Bersambung..
KAMU SEDANG MEMBACA
Bulan untuk Bintang
Teen FictionMereka berasal dari langit yang sama. Dibesarkan di bumi yang sama pula dan tumbuh dengan baik dengan pijakan yang sejajar. Bintang mencintai Bulan-nya. Tak peduli, jika Bulan adalah cewek paling badung di sekolah. Sedangkan dirinya sendiri adalah s...