04. - Tepat Pukul 12

2.2K 230 31
                                    


Hari-hari sudah Tita lewati sekeluarga, mereka tampaknya sudah membaik. Sayangnya, itu tidak berlaku untuk Tita. Tubuh ibu dua anak itu masih lemah, padahal suami dan kedua anaknya sudah sehat dan sudah bisa melakukan aktivitas mereka masing-masing.

"Kalian siap-siap ke sekolah, nak!" ujar Tita yang masih memaksakan diri untuk memasak sarapan. Selama tiga hari kedua anaknya izin tidak ke sekolah karena sakit. Guru anak-anaknya sangat baik dan perhatian terhadap muridnya, masih disempatkan untuk datang menjenguk kemarin.

Kedua anak Tita bersekolah di sekolah swasta. Tepatnya sekolah Islam. Pergaulan anak Tita terarah, mereka tidak pernah membandel dan menuruti perintah kedua orang tuanya, juga patuh.

"Kami tidak ke sekolah saja dulu, Bu. Ibu 'kan sedang sakit," ujar Fajar, anak sulungnya.

Tamara menyetujui perkataan sang Kakak.

"Iya, Bu. Kak Fajar benar. Kalau ibu ada apa-apa nantinya, siapa yang akan lihat? Rumah kita selalu tertutup, mana mungkin ada tetangga bisa mendengar jika ibu meminta tolong? Lagi pula, kalau kita ke sekolah, pikiran kita ada di ibu. Fokus belajar pun terganggu!" timpal Tamar tersenyum.

Tita tersenyum, "Ibu sudah tidak apa-apa. Kalian ke sekolah saja. Ada Tante Sisi yang bisa menemani ibu. Kalian ke sekolah saja, ya?" ia tidak ingin proses pembelajaran anaknya terganggu hanya karena teluh yang menimpanya.

Wajah Tamara cemberut.

"Ibu, dengarkan Tamara. Anak Tante Sisi itu banyak. Ada lima-"

Fajar memotong ucapan sang adiknya.

"Ada enam, Tamara. Jangan sok tahu makanya!"

Tamar mencubit perut Kakaknya gemas.

"Tangan aku menunjukkan berapa?"

"Enam. Begitu saja kamu tidak tahu?"

"Berarti aku benar!"

"Tapi, yang kamu ucapkan itu hanya lima!"

"Iya sudah, Tamara mengalah saja. Kak Fajar memang tidak mau mengalah, benarkan Bu?" ucap Tamar dengan manja.

Tita tertawa melihat kedua anaknya, umur Fajar dan Tamara terpaut dua tahun. Fajar menduduki kelas lima SD, sedangkan Tamara menduduki kelas tiga SD. Saat mereka bertengkar mulut, mereka tampak menggemaskan dimata Tita. Terlebihi lagi Tamara yang sangat cerewet dan selalu bertanya dan ingin tahu.

Hari itu pun di isi oleh Fajar dan Tamara untuk mengurus Tita di rumah.

🌼🌼🌼

Kini jarum panjang berhenti tepat pukul dua belas malam. Antara sadar dan tidak, antara tidur dan tidak, Tita melihat seorang pria paruh baya tinggi, berkulit putih bersih, hidungnya mancung dan memakai jubah hijau, serta sorban putih dikepalanya. Pria paruh baya itu memandang Tita dengan tajam, kemudian menekan kedua lutut Tita.

Tita terkejut, ia meronta untuk dilepaskan. Juga melawan sekuat tenaga, namun sayangnya pria itu makin menekan lutut Tita.

"Nak, jangan takut denganku. Maksud kedatanganku hanya untuk menyembuhkan penyakitmu!"

Tita membisu, ia merasa mengigil disekujur tubuhnya.

Lima menit lamanya pria itu menekan lutut Tita, kini tatapan tajamnya menghilang. Hanya ada sebuah senyum yang terangkat disudut bibirnya. Setelah itu, pria itu menghilang begitu saja.

Tita terbangun. Ajaibnya, tubuhnya terasa segar bugar, tidak seperti kemarin-kemarin yang terasa susah digerakkan.

Tita tertegun sesaat seraya mengingat-ngingat kembali kejadian itu.

GivenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang