Chapter. 17

4.3K 201 3
                                    

Vote dan komen. Jangan lupa masukin ke reading list kalian juga hehe.
Sorry, kalau semua part yang aku tulis ga bikin baper apalagi greget :')

Carlote terkejut saat dia baru saja pulang. Dia melihat Jenice yang tertidur di depan TV dengan pakaian yang masih lengkap-- pakaian yang tadi pagi dia pakai. Carlote belum tahu apa yang sudah terjadi dengan wanita ini, Carlote memilih melewatinya dibanding membangunkannya.

"C, kau sudah pulang?"

Carlote yang baru berjalan beberapa langkah kemudian berhenti dan menolehkan kepalanya ke belakang.

"Kupikir kau masih tidur. Ya, aku baru saja pulang." Bibir Carlote gatal ingin bertanya tetapi dia masih menahan diri sampai Jenice menceritakan sendiri apa yang sebenarnya terjadi. Dan, benar saja, Jenice bangun dari posisi tidurnya sambil merentangkan kedua tangannya lebar-lebar, kedua matanya sayu.

"Kau pasti bertanya-tanyakan apa yang terjadi denganku?" kata Jenice dengan sendirinya, seakan dia memiliki kekuatan baru--menebak pikiran seseorang atau mungkin mimik wajah Carlote terlalu mudah untuk dibaca.

Carlote berjalan mendekat ke arah Jenice dan ikut duduk di sampingnya. Dia menganggukkan kepalanya tanpa ragu, dia benar-benar penasaran. Carlote menatap wajah sahabatnya ini beberapa saat, sesuatu yang buruk pasti sudah terjadi, pikirnya.

"Aku bertemu Stev lalu semuanya kacau."

Oh, jadi karena mereka sudah bertemu lagi, lalu dimana letak kekacauannya? Carlote bergumam sendiri di dalam hati.

"Aku di pecat bahkan sebelum aku mulai bekerja."

Tubuh Carlote menegang mungkin karena reaksi terkejutnya. Sebenarnya apa yang sudah dilakukan Stev? Benar-benar kelewatan. Carlote semakin merasa bersalah mengingat dirinya juga sedang bermain api dengan sahabatnya sendiri.

"Ada apa, J? Katakan," desaknya tidak sabar.

"Dia meremas bokongku, C. Aku refleks mengumpat di depan wajah mantan atasanku itu." Jenice menutup wajahnya sendiri dengan kedua tangannya, barulah terdengar suara isak tangis yang mungkin juga sedaritadi dia tahan. Carlote kesal setelah mengetahui semuanya, dia berjanji akan memarahi pria itu, tidak peduli apapun alasannya.

Carlote beringsut mendekat kemudian mendekap Jenice dengan lembut sambil berkata,"sudah jangan menangis."

"Aku.. h-hanya tidak habis pikir," gumamnya di sela-sela isakannya. Carlote memutar otaknya, mencari cara agar Jenice segera berhenti menangis dan melupakan kejadian ini.

"Masih banyak pekerjaan lain diluar sana yang mungkin sedang menunggumu, J. Berhenti menangis." Carlote mengusap airmata wanita itu setelah melerai pelukan mereka berdua. Jenice sendiri masih tersedu-sedu seperti anak kecil.

***
"Aku minta maaf, tapi aku kehabisan akal tadi pagi," ujar Stev meminta maaf tulus. Dia sudah menduga kalay Carlote pasti akan mencecarnya habis-habisan. Well, Stev tidak marah karena dia juga sadar dia sudah kelewatan. Mungkin 'sedikit'.

"Jenice akan semakin menjauhimu. Kau sendiri sebenarnya yang membuat situasi semakin runyam."

"Baik. Pertama, aku salah. Kedua, aku kelewatan. Ketiga, bisakah jangan terus mengomel? Aku butuh solusi, Carlote."

Stev memijit pangkal hidungnya sendiri. Dia berpikir tidak ada cara lain selain menemuinya sekarang juga, Jenice harus tahu betapa dirinya sangat membutuhkan gadis itu--merindukan semuanya, bahkan cara wanita itu bernapas. Stev mematikan sambungan telpon sepihak, menyambar mantel tebalnya kemudian masuk ke dalam mobilnya dengan cepat. Stev tahu ini gila, dia tidak bisa disebut sebagai tamu saat dia datang hampir jam dua belas malam.

Jenice turun dari ranjangnya dengan kesal saat mendengar gedoran keras. Jenice mengumpat beberapa kali sambil berteriak keras agar si tamu yang tidak tahu diri sedikit bersabar.

"APA KAU TIDAK PUNYA SOPAN SAN--"

Tubuhnya mundur dua langkah dari pintu yang terbuka. Mulutnya sedikit menganga, kejadian tadi pagi langsung berputar didalam kepalanya layaknya sebuah kaset. Jenice langsung memasang ekspresi benci yang tidak dia sembunyikan sama sekali.

"Siapa, J?" Carlote juga terkejut saat mengetahui siapa yang datang di pukul hampir tengah malam begini. Jenice sendiri tidak merespon, matanya fokus menatap pria di depannya ini dengan ekspresi muaknya. Carlote sempat mengacungkan kedua ibu jarinya ke udara sebelum berbalik masuk ke dalam membiarkan keduanya menyelesaikan masalahnya.

"Kau tidak tau adab bertamu?" suaranya terdengar dingin. Jantung Jenice berdetak sedikit cepat entah mengapa.

"Aku harus menyelesaikan ini--malam ini juga."

"Aku tidak punya masalah denganmu selain hutangku yang membuat kameramu rusak." Jenice berbalik badan hendak mengambil uang untuk biaya ganti rugi.

"Lupakan tentang kamera, lupakan. Aku tidak pernah benar-benar memintanya. Aku hanya ingin dirimu." Pria itu menyambar Jenice dari belakang, memeluknya dengan cukup erat. Jenice terdiam dan hanya suara detak jantungnya yang mungkin terdengar. Suara napas mereka saling beradu satu sama lain, rasanya Jenice ingin menangis entah harus bahagia atau sedih. Ada secuil rasa bahagia karena dia tahu Stev tidak berbohong dengan perasaannya sendiri.

"Lepas, Stev."

"Tidak, sebelum kau kembali bersamaku!" bantahnya sambil berkata dengan penuh penegasan. Malam ini, Stev harus bisa memastikan Jenice kembali bersamanya. "Kumohon," pintanya kemudian.

Jenice membalikkan tubuhnya sendiri menghadap Stev. Dia menatap wajah kacau pria itu, membuat Jenice bertanya-tanya di dalam hati, mengapa Stev begitu memperjuangkannya?

Jenice berjinjit kemudian mengecup bibir Stev sekilas. "Aku seorang jalang." Demi Tuhan, hati Jenice seperti disayat saat mengatakannya.

"Kau tidak boleh bersama seorang jalang, seharusnya--"

"Seharusnya kita menikah kemudian memiliki anak atau mengajakmu keliling Eropa, berbulan madu di tempat yang kau impikan. Menjadikanmu ratuku dan ibu anak-anakku," sela pria itu. Ada emosi di setiap kata yang dia ucapkan, matanya berkaca-kaca dan itu semakin membuat Jenice tidak bisa menahan diri untuk tidak memeluk pria itu kemudian menenangkannya.

Jemari Stev menyelipkan helai rambut ke belakang telinga Jenice kemudian melanjutkan kalimatnya dengan nada setengah berbisik,"Dan, tentu saja menjadi jalang pribadiku." Ibu jari pria itu turun ke daerah bibir wanita itu, mengusapnya dengan lembut disana. "Aku yang akan menjadi pelindungmu kalau kau takut di cemoh oleh wartawan atau siapapun, aku tidak akan membiarkanmu mati ketakutan tentunya. Siapapun yang berani membuatmu terluka, maka akan aku hapus dari muka bumi ini."

Jenice menggelengkan kepalanya sendiri. "Jangan berucap sembarangan, karena kita tidak pernah tau, bisa saja kau yang malah melakukan itu--menyakitiku."

"Maka hapus juga aku dari muka bumi ini, tapi kupastikan itu tidak akan terjadi, J. Aku mencintaimu, aku tidak akan menyakitimu."

Jenice tidak menjawab apapun, dia memilih untuk duduk. Dia masih tidak siap sepenuh hati meski dia juga sangat merindukan pria itu dan ingin menghabiskan waktu bersamanya lagi. Jenice tidak akan pernah bisa melupakan pria itu, dia sadar akan satu fakta itu. Ada beberapa elemen yang dia rasakan; pertama, dia merasa nyaman. Kedua, dia merasa aman. Ketiga, dia ingin pria itu yang dia lihat disaat bangun di pagi hari dan sebelum tidur dimalam hari.

Belum sempat Jenice menjawab pria itu, Stev lebih dulu menyerang bibirnya, mencecapnya dengan penuh nafsu. Jenice merasakan lelehan bening jatuh di atas pipinya, dia mendorong dada bidang Stev kemudian menatap kedua mata pria itu yang basah. Stev menangis dan Jenice langsung memeluknya tanpa berpikir dua kali.

"Maafkan aku, J."

"Aku yang salah. Aku terlalu mengikuti egoisku, maafkan aku."

"Sungguh, aku merindukanmu, bercinta denganmu. Sial! Kau benar-benar gila," racau pria itu di pelukannya. Jenice mengelus punggung pria itu, bibirnya tertarik ke atas tanpa dia sadari. Dia tersenyum mendengar bagaimana pria itu mengucapkan kalimat rindunya.

"Ayo, pulang."

"Apa?" gumam Stev setelah pelukan mereka terlepas. Stev menatap Jenice agak bingung. "Apa maksudmu, pulang?"

"Pulang dan bercinta," ujarnya dengan nada menggoda.

Baby, J (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang