Chapter. 19

4K 179 0
                                    

Jenice meminta ijin pada Stev hendak mengunjungi tempat tinggal Carlote. Pria itu mengijinkan, tentu saja dengan sedikit pesan untuk tidak pulang terlalu larut. Dia juga meminta maaf tidak bisa menemani karena harus mengerjakan sedikit pekerjaan.

"Aku pergi dulu," ucapnya, tidak lupa memberikan kecupan singkat di bibir pria itu. Setelah itu Jenice sudah menghilang bersama suaranya, Stev kembali menekuni pekerjaannya. Dia memang sempat tidak menerima tawaran manapun, karena dia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk fokus dengan Jenice saja. Wanita itu benar-benar diatas segalanya!

Jenice membelokkan mobil milik Stev yang dia pakai saat ini ke sebuah minimarket. Jenice ingin berbelanja dan memberikannya pada Carlote. Besok mereka sudah berangkat ke Spanyol dan itu satu-satunya alasan Jenice harus bertamu ke tempat wanita itu malam-malam begini (meskipun belum terlalu malam).

"Terima kasih," ucapnya sopan pada wanita yang ada di kasir. Jenice menenteng semua kantong belanjaannya, tetapi ada yang aneh. Entah hanya perasaannya saja atau memang benar kalau sedaritadi ada sepasang mata yang mengawasi gerak geriknya. Dia mempercepat langkahnya menuju mobil setelah memastikan tidak ada siapapun kecuali dirinya dan wanita kasir yang berada di dalam sana.

Dia mulai memutar kunci mobil sampai suara mesin yang menyala, mengendarai hingga kembali bergabung ke jalan raya. Jarak antara minimarket dan tempat tinggal Carlote sekitar dua puluh menit lagi. Jenice sengaja menghidupkan radio di dalam mobil agar perasaan parnonya menghilang. Usahanya ternyata tidak membuahkan hasil, yang ada perasaannya semakin bertambah buruk, ditambah otaknya yang ikut menyalakan alarm berbahaya.

Semoga saja hanya perasaanku, Jenice mengucapkan di dalam hatinya, berharap dia bisa menenangkan hatinya sendiri. Jenice sampai harus menginjak rem dalam-dalam, sebuah mobil berukuran besar baru saja membunyikan klakson dengan nyaring dan melintas dengan begitu cepat dari arah kanannya. Keringat begitu cepat membasahi wajahnya, jantungnya berpacu sangat sangat cepat.

Kalian bisa bayangkan bagaimana kalau tadi Jenice terlambat menginjak rem mobilnya.

"Apa yang ku pikirkan?" tanyanya pada diri sendiri. Dia menelan ludahnya dengan susah payah, matanya melirik pada jam digital yang ada di dalam mobil yang masih menunjukkan pukul setengah sepuluh malam. Jenice baru menyadari saat ini dia berada di pertigaan jalan, pantas saja mobil tadi membunyikan klakson dengan begitu nyaring.

Jenice kembali melajukan mobilnya setelah memastikan aman dari arah yang lain. Baru sepertigaan jalan, Jenice merasakan ada yang ganjil--sebuah mobil SUV berwarna hitam berada di belakangnya dan dia baru menyadarinya. Aneh. Mobil itu tidak berniat sama sekali untuk mendahuluinya padahal Jenice mengendarai mobil dengan pelan, itu artinya dia memang sengaja mengikuti Jenice.

Dalam keadaan panik yang luar biasa, Jenice berusaha mengambil ponselnya yang ada diatas dashboard dengan sebelah tangan tanpa melihat karena dia harus fokus pada jalanan.

"Oh, shit! Sialan," umpatnya. Ponselnya jatuh ke kolong mobil. Di keadaan sedang menyetir begini, Jenice tidak ingin mengambil risiko atau mempercepat kematiannya sendiri. Jangan konyol! Belum cukup rasa takut yang melingkupi dirinya dan rasa kesalnya terhadap ponsel yang jatuh tadi, sekarang mobilnya berhenti berjalan.

"Mogok? Yang benar saja." Dia terkekeh hambar menyadari kesialan yang menimpanya secara bertubi-tubi seperti ini. Jantung Jenice semakin berdebar saja saat melihat mobil SUV hitam yang kini berhenti tepat di depannya. Napasnya tercekat, tubuhnya juga menegang menunggu pemili mobil yang belun juga membuka pintu dan turun.

Baiklah, sebelum pemiliknya turun, aku harus cepat menghubungi Stev, pikir Jenice. Dia menunduk mencari ponselnya yang ternyata berada di bawah kursi pengemudi, Jenice tersenyum senang sambil kembali menegakkan tubuhnya ke posisi semula.

Lagi-lagi dia kembali dikejutkan dengan orang-orang berwajah sangar yang berdiri di depan mobilnya. Wajahnya datar dan ada seperti bekas luka di wajah mereka, tubunya penuh dengan tato, badannya besar dan kekar seperti gargantuar.

"Mau apa mereka? Ya Tuhan." ujarnya panik. Melihat orang-orang itu yang mulai berjalan mendekat, membuat Jenice semakin panik hingga lupa untuk menghubungi Stev. Di dalam keadaan seperti ini, yang ada di pikirannya hanyalah semoga ada sebuah keajaiban misalnya ksatria baja hitam yang datang menolongnya atau seperti Harry Potter dengan sekali sentakan tongkat sihirnya. Sial! Mereka sekarang sudah di depan mobil--tidak, lebih dekat dari apa yang bisa di deskripsikan.

"Buka!" kata salah satu pria sangar itu. Jenice menatap mereka semua dengan raut ketakutan sambil menggelengkan kepalanya tanda tidak mau. Pria sangar yang lain tersenyum miring kemudian mengeluarkan pisau semacam belati yang kelihatannya begitu tajam.

Jenice membuka mobil dan keluar dari dalam tidak lupa sebelumnya dia sudah menyembunyikan ponselnya di sela pakaiannya. Dia tidak ingin mereka murka lalu menghancurkan mobil milik Stev, jika itu sampai terjadi maka hutang Jenice akan semakin bertambah.

Salah satu dari mereka menarik tangan Jenice dengan kasar hingga wanita itu mengaduh kesakitan,"aw! Pelan-pelan." protesnya.

"Diam!" bentak pria itu. Ada sekitar tiga orang pria berwajah sangar yang dia hadapi saat ini. Bukan, maksudnya yang menghadang Jenice.

"Maaf, jangan tersinggung. Aku hanya ingin bertanya apa belati itu tajam? Bisa setajam itu, diman kau mengasahnya atau misalnya menggunakan apa kau mengasahnya?" Mata yang melotot adalah pertanda kalau pria berwajah sangar ini enggan menjawab pertanyaannya itu. Padahal, Jenice ingin tahu saja apa rahasianya bisa setajam itu, pisau itu benar-benar sangat mengkilap dan tajam. Sekali goresan saja pasti akan langsung membuat kulit tersayat lalu mengeluarkan darah.

Punggung Jenice di dorong dengan kasar oleh pria yang tadi menarik pergelangan tangannya. Jenice memutar kedua bola matanya merasa kesal antara pria ini yang kasar atau dia memang tidak berhati.

"Hei, tunggu!" teriak wanita itu lebih dulu sebelum dimasukkan ke dalam mobil SUV hitam. Para pria sangar saling melemparkan pandangan mereka satu sama lain seolah berpikir 'mau apa lagi wanita idiot ini?'

"Aku belum mengunci mobilku, bodoh. Aku harus memastikannya aman disana selagi kalian membawaku entah kemana," tuturnya panjang lebar. Tidak ada sahutan dari ketiganya, bahkan raut wajahnya belum berganti sedikitpun. Jenice kesusahan saat hendak mengambil kunci di dalam sakunya.

"Kau tidak lihat aku kesusahan? Bisa tolong lepaskan sebentar? Oh, tenang saja, aku tidak akan macam-macam." Dan, seperti dugaannya, mereka mengabulkan permintaan Jenice. Melepaskan satu tangannya yang digunakan untuk mengambil kunci mobil. Jenice menekan tombol kunci hingga mobil itu berbunyi, seulas senyum terbit di wajahnya sambil kembali mengantongi kunci mobil.

"Jangan coba-coba memperlambat pekerjaan kami lagi," ujar salah satu pria sangar dengan nada suara dingin. Jenice membalasanya dengan putaran bola matanya. Entah kemana perginya rasa takut yang sempat hinggap pada dirinya, menguap begitu sja. Jenice bahkan terlihat santai.

"Nikmatilah malam terakhir kalian," dia bergumam dengan sangat kecil di sela langkahnya menuju mobil orang yang menculiknya.

Sungguh, kalian akan menyesal karena menculik Jenice. Kematian segera menyambut kalian, sobat.

Vote Komen Share
Tambahkan ke reading list kalian dong♥♥

Baby, J (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang