🍂5🍂

40.7K 2.8K 37
                                    

Ammar terdiam saat mendengar kabar jika Hara mengambil cuti dari Salsa. Awalnya dia hendak menanyakan keberadaan Hara pada Salsa karena ponsel milik perempuan tersebut tidak aktif, namun dia di hadapkan dengan kenyataan jika Hara pergi entah kemana.

"Andai aku tau Hara dimana pasti aku akan mengatakannya kepadamu, Mas. Tetapi aku benar-benar tidak tau Hara pergi kemana. Dia hanya pamit pergi tanpa menyebutkan kemana tujuan perginya." Jelas Salsa.

Ammar menyadari jika penyebab perginya Hara pasti ada kaitannya dengan masalah tempo hari. Dia tau jika perempuan itu enggan memenuhi permintaan Nadira karena memang itu sesuatu hal yang amat sulit. Dia juga tidak akan memaksa Hara menerimanya, saat ini dia hanya ingin bertemu dengan Hara untuk memohon agar mau bertemu dengan Zidan yang sedari kemarin demam dan terus mengigau nama Hara sebagai bundanya.

"Apa mungkin dia pergi menemui Mas Ardi?" tanya Ammar pada Salsa.

Perempuan itu hanya bisa terdiam sambil menggidikkan bahunya. Dia juga tidak tau keberadaan sahabatnya itu, karena memang Hara tidak terlalu terbuka dengan orang lain tanpa terkecuali. Tameng yang digunakan oleh Hara terlalu tinggi untuk di panjat oleh siapapun. Sehingga sampai sekarang hanya Hara dan Tuhan lah yang tau bagaimana kacau dan rumit hatinya tersebut.

"Pulanglah, Mas. Jika sudah tiba saatnya Hara pasti akan kembali. Saat ini mungkin dia sedang menenangkan hatinya." Saran Salsa.

Ammar pun tidak memiliki cara lain selain mengangguk lalu pamit pulang dari rumah Salsa. Tetap berada di sana pun tidak akan merubah keadaan, karena kenyataannya Hara memang tidak di ketahui keberadaannya.

***

"Bagaimana, Am? Apa Salsa tau dimana keberadaan Hara saat ini?" tanya ibunya saat dia sudah berada di rumahnya.

Ammar menggeleng lemah lalu pergi menuju ke kamar anaknya.

Di dekatinya sang buah hati yang masih terbaring lemah di atas ranjang dengan gumaman yang jelas terdengar dari depan pintu.

"Papa ... Bunda Hala ..." Gumam Zidan saat melihat Ammar duduk di tepi ranjang kecilnya.

"Bunda sedang kerja di tempat yang jauh, Sayang. Jadi sekarang kita tidak bisa bertemu dengan Bunda. Nanti, ya ... Idan harus sembuh dulu dari sakit." Jelas Ammar sembari mengusap sayang kening Zidan yang masih panas.

Zidan yang mendengar penjelasan sang ayah mulai melengkungkan garis bibirnya ke bawah seperti hendak menangis. Namun, mengingat pesan terakhir mamanya, dia mencoba untuk tidak melakukan hal itu.

"Zidan harus menjadi anak yang kuat. Tidak boleh mudah menangis, jika Mama tidak bisa bersama Zidan lagi nanti ada Bunda Hara yang akan menggantikan Mama."

Kata-kata itu kembali terngiang dalam pikiran Zidan.

"Idan mau bertemu Bunda, Pa. Idan mau Bunda Hala jadi ibunya Idan. Kata Mama, Bunda yang akan jaga Idan kalau Mama sudah meninggal. Tetapi kenapa Bunda sampai sekalang ndak ada belsama kita?"

Ammar menggepal erat sebelah tangan yang ada di pangkuannya. Dengan sekuat tenaga dia bertahan agar air mata tidak keluar membasahi wajahnya. Mendengar ucapan Zidan membuatnya kembali teringat dengan sosok Nadira yang terbaring lemah di bangsal rumah sakit dan juga puteri kecilnya yang bahkan belum sempat di timang lebih dari dua puluh empat jam.

"Nanti, Nak. Saat Zidan sembuh kita akan menemui Bunda Hara. Jadi, Zidan harus sembuh lebih dulu, ya?"

Zidan mengangguk lemah lalu meminta Ammar untuk memeluknya. Dengan senang hati Ammar melakukannya. Sekarang dia hanya memiliki Zidan, walaupun Zidan bukanlah darah dagingnya, namun dia telah merawat Zidan dari berusia empat hari hingga sampai saat ini. Terlepas ada tidaknya darah dirinya dalam diri Zidan, Zidan tetaplah anaknya.

"Papa sayang Zidan. Lekas sembuh, Nak." Ucap Ammar lalu mencium kening putera kecilnya.

***

"Bagaimana Zidan, Am? Apa dia masih maracau tentang Hara?" tanya ibunya saat dia sudah turun dari lantai atas tempat kamar anaknya berada.

Ammar mengangguk pelan. "Sudah tidak terlalu lagi, Ma. Sekarang dia sudah tidur setelah Ammar memeluknya." Terangnya.

Ratih menatap iba sang anak. Wajah kusut itu dulu pernah dia lihat dari wajah yang sama. Bedanya saat itu wajah tersebut berlinang air mata sedangkan kini hanya benar-benar kusut seperti pikirannya yang kalut.

"Ada apa dengan kamu, Am? Bukankah kamu saat itu meminta Mama untuk melamar Hara? Kenapa sekarang nama itu berubah menjadi Nadira?"

Ammar dengan wajah kacaunya hanya mampu mengusap kasar wajah yang sudah bersimbah air mata.

"Lakukan saja, Ma. Ini adalah pilihan yang telah Ammar pilih." Jawabnya.

Ratih menggeleng dengan cepat sambil menghampiri puteranya yang tampak kacau.

"Ada apa, Nak? Apa yang telah terjadi?" tanya Ratih.

Ammar hanya menggeleng lemah sembari kembali mengusap kasar wajahnya yang tidak kunjung kering oleh air mata.

Ratih mendesah pelan sambil menatap wajah anaknya. Dia tau sedari dulu ada yang salah dengan keputusan Ammar menikahi Nadira, karena sebelumnya anaknya tersebut terus mengelukan Hara padanya dan memintanya meminang Hara sebelum semuanya berubah saat hari itu tiba.

"Pilihlah jalan terbaik untukmu, Nak. Jangan paksakan hatimu untuk menjalani apa yang tidak kamu inginkan. Jangan lagi mengulang kejadian yang sama." Tutur Ratih membuat Ammar menatapnya dengan mata berkaca-kaca.

"Maksud Mama?" tanyanya.

Ratih tersenyum sembari menghampiri sang anak. "Tidak ada yang salah dari mencintai. Karena perasaan itu secara alamiah tertanam dalam hatimu. Jika kamu merasa terbebani karena rasa itu, maka lepaskanlah, tetapi jika perasaan itu sudah abadi untuk satu nama, maka perjuangkan. Mama yakin kamu belum terlambat untuk bahagia."

Ammar meresapi apa yang ibunya katakan. Jika perasaan mencintai itu tidak salah mengapa harus ada yang terluka karenanya? Karena rasa itu Nadira bersedih dan karena rasa itu pula apa yang dipertahankan selama ini kandas tidak bersisa. Masih layak kah dia mencintai setelah semua itu terjadi? Terlalu banyak pemikiran yang belum Ammar mengerti.

"Haruskah aku mencarimu Hara? Memohon padamu agar mau bersamaku dan Zidan? Masih layak kah aku untukmu setelah semua yang terjadi?" Di dalam hati Ammar terus mencoba meyakinkan dirinya untuk memilih jalan yang akan dia lalui di masa depan.

🍂🍂🍂

Hati HaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang