10

74 5 0
                                    

"kenapa dirimu muncul disaat kamu sudah tidak mengingatku?"

-Tami Reani-

×××

"Ta..ma??"

Cowok yang sedang mengarahkan tinju ke tembok seketika tubuhnya menegang, raut wajah cemas terpatri jelas di wajah tampannya.

Lelaki bertubuh jangkung itu segera memakai kacamatanya dan segera pergi dari hadapan tami yang saat itu hampir meneteskan air matanya.

"Tunggu!" Tami berhasil memegang pergelangan tangan cowok berkacamata itu.

"Ma..af, gue sedang ada urusan." Cowok itu berusaha melepaskan tangan Tami dari pergelangan tangannya. Gerak tubuh kikuknya memperlihatkan bahwa cowok itu terlihat sangat culun, ditambah wajah yang tertunduk seolah menyembunyikan kenyataan yang tidak ingin diketahui Tami.

Namun, saat itu juga Tami memeluk erat cowok yang menurutnya adalah Tama, sosok yang selama ini Tami rindukan.

Air mata yang dari tadi ia tahan akhirnya lolos dari mata beningnya. Rasa rindu yang selama ini membuncah akhirnya terbayarkan, sosok yang selama ini ia nantikan akhirnya kembali.

Tami menangis di dada bidang lelaki itu, tangisan yang begitu menyakitkan. Tangisannya mendalam, dia tidak peduli akan keadaanya sekarang.  Dia tidak peduli jika ada yang melihatnya memeluk seorang cowok didepan toilet, dia tidak peduli jika ada yang mencibirnya, menyebutnya murahan atau kata lainnya. Dia tidak peduli!

Tami hanya ingin rasa rindunya terbayarkan, rasa kehilangannya menghilang, dan berharap orang yang ada dipelukannya saat ini tidak pergi meninggalkannya lagi.

Perlahan tangan laki-laki itu membalas pelukan Tami, seolah dia pun merasakan sesuatu yang telah hilang kini kembali. Tanpa sadar, laki-laki itu meneteskan air mata.

***

"Lo pratama kan?" Tanya Tami pada cowok yang ada di sebelahnya. Pandangan Tami tidak beralih sederajatpun  dari sosok di sampingnya.

Di taman yang sepi ini, hanya ada mereka berdua. Ditemani senja yang memancar seolah ikut merasakan kesedihan Tami.

"Gue Aldi."

Deg

"Tidak.... tidak mungkin!" Tami berdiri dari kursi taman yang ia duduki bersama laki-laki bernama Aldi.

"Lo Tama! Lo sahabat kecil gue! Gue inget banget wajah Tama, dia mirip lo! Lo, lo Tama kan? Lo Pratama kan?"

Tami berteriak histeris, dia tidak bisa menerima kenyataan ini. Baru saja dia bahagia karena sudah dipertemukan dengan sosok pelindungnya namun begitu cepatnya kebahagiaannya hancur kembali, harapannya sudah tidak ada lagi.

Tubuhnya melemah, dia terduduk di rerumputan taman belakang sekolah, tangannya menutupi wajah dengan air mata yang terus mengalir di pipinya.

"Lo Tama kan?" Tami tersenyum kepada Aldi, mencoba meyakinkan bahwa Aldi adalah sosok Tama, sosok yang selama ini Tami cari, Tami rindukan, dan Tami nantikan.

Aldi mencoba untuk tidak menatap mata Tami, dadanya seketika merasa sesak melihat perempuan yang ada dihadapannya ini.

Aldi tidak tahu mengapa Tami begitu yakin bahwa dirinya adalah Tama, teman kecil Tami.

"Tatap mata gue, dan jawab dengan jujur." Ucapan Tami sedikit menajam, Tami meraih kedua tangan Aldi dan memegangnya erat.

"Apa apa ingat, tentang impian kita dulu? Lo pernah berjanji gak akan ninggalin gue dan kita akan mencapai impian itu bersama-sama. Apa lo mengingatnya, Tama?"

Deg

Setelah mendengar ucapan Tami, tiba-tiba kepala Aldi merasakan sakit yang luar biasa yang akhir-akhir ini sering terjadi padanya.

Aldi melihat bayang-bayang dua anak kecil, mungkin itu ingatannya dulu. Semakin jelas bayangan itu, semakin sakit yang ia rasakan di kepalanya.

Disisi lain, Tami terkejut dengan keadaan Aldi yang sedang memegang kepalanya kuat. Dia panik, dan bingung harus melakukan apa. Air matanya terus mengalir, yang busa ia lakukan hanyalah memeluk laki-laki itu, dia harap ini bisa menenangkannya.

"Tama, kalo kamu udah besar mau jadi apa?" Gadis kecil yang ada di ayunan itu bertanya pada temannya, Tama. Yang saat itu sedang mendorong ayunan Tami.

"Hmm, mau jadi apa ya? Bingung, heheheh." Jawab Tama yang masih setia mendorong ayunan Tami.

"Kok bingung sih?" Tami cemberut karena jawaban Tama tidak memuaskan hatinya.

"Aku mau jadi tentara deh, biar keren kaya ayah kamu."

Tami tersenyum mendengar ucapan Tama kali ini.

"Kalo kamu mau jadi apa?" Tanya Tama pada Tami yang masih tersenyum.

"Aku mau jadi dokter kaya ibu." Mendengar ucapan Tami, tatapan Tama berubah menjadi sendu. Dia tahu Ibu tami sudah tenang di alam sana, dan Tami mencoba meneruskan karier ibunya.

"Tama akan selalu mendukung Tami, Tama berjanji tidak akan pernah meninggalkan Tami dan menjadi sosok pelindung Tami." Tama sudah meyakinkan dirinya untuk terus menjaga Tami, dan menjadi pahlawan hidup Tami. Meski usianya baru berumur 10 tahun, fikirannya sudah seperti orang dewasa.

"Tami akan selalu ingat janji Tama. Kita akan mencapai mimpi kita bersama-sama." Senyum Tami semakin merekah. Bersama senja, dua sejoli itu sudah mengikrarkan janji mereka.

Aldi terbangun dari bayangan itu, dia ingat wajah anak kecil yang bernama Tami dan Tama. Mereka sangat mirip dengan Tami dan dirinya.

Apakah benar didirinya Tama? Dia juga sering merasa sesak jika Tami bersama cowok lain. Apakah ini perasaan Tama yang sebenarnya?

Dia baru sadar bahwa Tami masih berada di pelukannya, namun dia sedang tertidur. Aldi mencoba melihat arloji yang ada di tangannya, sudah 30 menit berlalu sejak kepalanya sakit.

Namun sampai sekarang kepalanya masih sakit meski tidak sesakit sebelumnya. Ditatapnya wajah Tami, dia terlihat tenang bila sedang tertidur.

Namun dengan cepat dia membangunkan Tami, dan perlahan mata gadis itu terbuka.

"Tama?" Dia bertanya sambil mengucek matanya. Namun dengan cepat ekspresi yang awalnya muka bantal menjadi tatapan penuh kekhawatiran.

"Tadi lo kenapa??" Tanya Tami histeris. Dan lagi-lagi dia mengeluarkan air matanya.

"Gue gapapa, lo jangan nangis lagi. Dasar cengeng." Dengan gemas dia mencubit pipi Tami.

"Eh." Tami merasa aneh karena sikap Aldi yang berubah drastis. Namun P pipi Tami memerah karena itu.

Tami senang melihat senyum yang terpatri di wajah Aldi, melihat itu tangisan Tami mereda dan ikut tersenyum.

Disisi lain, ada seseorang yang sedang memperhatikan mereka berdua. Tangannya mengepal lalu pergi dari tempat itu dengan amarah yang menggebu-gebu.

Hari sudah mulai sore, dan Tami masih bersama Aldi di Taman ini. Meski Aldi bukan Tama, namun kehadirannya seolah mengembalikan lagi Tami yang dulu, Tami yang penuh dengan senyuman, dan Tami dengan penuh perlindungan.

Sama halnya dengan Aldi, meski dia tidak yakin akan dirinya sendiri tapi kehadiran Tami mampu meluaskan jalan yang selama ini membuntu. Beribu rasa gelisah, tanda tanya, akhirnya terjawab karena sosok gadis yang ada disampingnya.

Dan saat itu pula, hatinya tergerak untuk tidak meninggalkan gadis ini.

Mereka asyik dengan obrolan mereka, sampai tak sadar bahwa waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore.

"Di, sepertinya gue harus pulang." Ucap Tami gelisah.

"Mau gue antar?" Tawar Aldi.

"Gak usah, gue bisa sendiri kok." Tami segera bangkit dan membawa tas sekolahnya yang ada di samping kursi taman.

"Gue antar aja." Ucap Aldi bersikeras.

"Baiklah." Ucap Tami pasrah. Berhubung hari sudah mulai gelap dan Tami juga sedikit takut jika pulang kerumah sendirian.

Hitoride (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang