3. Penghianat

17 5 2
                                    

Raja Arvan menghampiri para warga yang datang untuk menemuinya.

"Tenang, ada apa kalian datang kemari?"

Raja Arvan menenangkan para warga yang mulai menyuarakan pendapatnya.

"Kau bilang tenang?! Bagaimana kami bisa tenang, sedangkan raja kami saja berbuat seenaknya kepada warganya sendiri?!" salah satu warga mulai emosi atas sikap Raja Arvan yang terlihat tenang.

"Memangnya apa yang telah ku perbuat pada kalian?"

Para warga sudah sangat geram mendengar pertanyaan yang sudah sangat jelas-jelas tau jawabannya.

"Raja Arvan, kau janganlah bersikap pura-pura tidak tahu. Apakah ini yang namanya raja? Membuat rakyatnya sengsara bukannya membuat kami makmur dan aman disini?" salah satu warga menyampaikan keluhan para warga kepada Raja Arvan.

Raja Arvan yang mendengarnya menghela napas lelah.

"Para warga! Ikuti aku masuk ke dalam dan JANGAN ADA YANG MENGIKUTI KAMI!" perintah Raja Arvan dengan menekankan pada kalimat terakhir.

Raja Arvan melangkahkan kakinya masuk diikuti oleh warga lainnya. Setelah memasuki beberapa ruangan, mereka sekarang berada di ruangan yang kosong dan berdebu. Raja Arvan membalikkan tubuh menghadap para rakyatnya itu.

"Sebenarnya ada yang ingin kusampaikan pada kalian semua. Terserah kalian mau percaya atau tidak, namun di dalam istana ini ada seorang pengkhianat yang berusaha memecah belah kita," jelas Raja Arvan.

Para warga yang mendengarnya tentu saja merasa terkejut sekaligus setengah tak percaya dengan pengakuan Raja Arvan. Sedangkan Raja Arvan sendiri yang melihat reaksi para warga melanjutkan perkataannya.

"Tak apa bila kalian tidak mempercayai perkataanku, tetapi yang pasti, aku sudah menyusun sebuah rencana untuk menangkap pengkhianat tersebut," terang Raja Arvan.

"Lalu? Bagaimana dengan nasib kami sekarang? Apakah kami harus menunggu sampai pelaku itu tertangkap?" tanya salah seorang wanita.

"Dengan sangat terpaksa, kurasa memang harus seperti itu," sesal Raja Arvan menundukkan kepalanya.

Kepala desa yang melihat Raja Arvan tampak bersedih merasa bersalah dan ia maju ke depan. Ia membungkukkan badannya di hadapan Raja Arvan.

"Maafkan tuduhan yang kami berikan kepada Anda, Yang Mulia. Kami kira Anda memang berniat membuat kami sengsara, tetapi kami salah menilai Anda. Maafkanlah kami," tutur kepala desa.

Warga lainnya ikut membungkuk di hadapan Raja Arvan dan mengucapkan kata maaf berulang kali.

"Sudahlah, tidak apa-apa. Aku tahu bagaimana perasaan kalian sekarang, kalian melakukan ini juga demi kalian dan keluarga kalian, kan," kata Raja Arvan tersenyum tulus.

"Adakah yang bisa kami lakukan sebagai bentuk permintaan maaf kami?" tanya salah seorang warga.

"Hmm, sebenarnya aku memang membutuhkan bantuan kalian semua," kata Raja Arvan menatap rakyatnya.

...

*Seminggu kemudian ...*

Sudah seminggu sejak kejadian para warga hari itu. Di sebuah ruangan yang gelap, terdapat dua orang yang sepertinya sedang membicarakan hal yang serius.

"Jadi? Bagaimana? Apa kau mau melakukan hal ini?" tanya seseorang yang sedang menghadap ke arah sinar bulan.

"Apa imbalan yang akan kudapatkan darimu?" tanyanya.

"Apapun yang kau inginkan," jawab orang pertama tadi sambil menyeringai.

"Dengan senang hati, *Tuan*," balasnya sambil membungkuk dan melangkah keluar dari sana.

Akira The True Warrior (HIATUS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang