Asui menutup mulut, gadis itu gemetar ketakutan. Tubuhnya meringkuk mencari perlindungan dari balik badan Iida.
"K-keterlaluan."
Iida tidak lagi bisa melihat sisa-sisa jejak ruang utama besar yang sempat mereka pakai untuk mencoba almamater tadi. Isi ruang itu hancur, bersamaan dengan meledaknya emosi pemuda misterius di dalamnya.
"Di T.I.U., segala hal, bahkan hal terkecil sekalipun, adalah hasil karya tangan disainer ternama. Semua orang tahu itu, kan?"
Pemuda misterius itu tampak sengaja menyisakan lampu-lampu hias yang menempel di dinding. Sepatu kulitnya mengetuk-ngetuk lantai marmer dingin, menyeruakkan aura mencekam. Ia melangkah menghampiri pelayan tua yang terduduk tidak berdaya.
"Kudengar T.I.U. menyewa seratus arsitektur dan desainer ternama untuk seluruh pembangunnya. Lalu ini apa?"
Pelayan tua itu terbatuk-batuk merasakan kerongkongannya tersekat kuat oleh kerah kemeja. Tubuhnya ditarik paksa menghadap langsung ke kumpulan lampu hias.
"Lihat baik-baik."
Dengan terbatuk-batuk, pelayan tua itu memaksakan kepalanya yang sedikit pusing untuk mendongak ke arah jajaran lampu hias. Pemuda di belakangnya tidak peduli. Mendorong ia semakin dekat, hampir membuat hidungnya menyentuh kaca lampu.
"Puluhan lampu hias di dinding berukir? Melihat sekali saja sudah membuat pening. Ide bodoh siapa ini?"
Kemeja putih menjetak jelas jejak keringat pada hamparan punggung renta, saksi bisu tubuhnya yang gemetar ketakutan. Pelayan tua itu tidak menjawab. Yang terdengar hanya deru napas lemah tidak beraturan.
"Jawab aku, pak tua bodoh. Aku yakin kau cukup mengerti selera. Walau untuk ukuran pelayan tidak berguna sekalipun."
Lirih parau sempat keluar melewati kerongkongan yang masih kesulitan menjari jalan udara. Namun sayang, tidak satupun kata keluar dari bibir kering itu.
"Oi. Jawab."
"M-maaf, Tuan. Saya tidak tahu."
"BAGAIMANA BISA KAU TIDAK TAHU."
Bentakan itu menghadiahi sekujur ruangan dengan gema yang mencekam. Menyisakan suhu dingin menembus nadi, menyakiti sosok renta di dalamnya.
"Tidak baik membuat pengunjung sakit mata dengan tumpukan sampah seperti ini. Dinding ukiran-ukiran emas sudah cukup membuat ruangan ini terasa pengap. Untuk apalagi lampu-lampu itu? Kalian ingin membuat malu nama besar desainer tempat ini?"
"Aku telah menginvestasikan 50% saham pribadiku pada tempat ini dengan kepercayaan yang logis. Tapi lampu ini apa? Aku tidak mengerti. Apa yang ada di pikiran kalian."
Wajah pucat itu tidak lagi memberi kesempatan Midoriya untuk membedakan air mata dengan cucuran peluh. Semua tercampur dalam raut penuh ketakutan. Napas tersengal-sengal, ia yakin di leher tua itu telah tercetak memar merah. Tangan kekar pemuda di belakangnya tetap mencengkeram tanpa belas kasin. Di sini juga, Midoriya merasa sesak.
"Aku harus bicara pada rektor. Dimana dia?"
Pelayan tua tertap tersiksa dengan suaranya. Seakan-akan enggak untuk sekadar keluar menemui malaikat maut. Dengan sabar, ia membuka mulut berulang-ulang. Usahanya membuahkan hasil dengan terdengarnya lirihan parau yang terputus-putus.
"M-maaf, tuan. Saya akan tanyakan kepada resepsionis jadwal rektor hari ini."
Iris merah si pemuda misterius tampak menyorot punggung lemah di depannya dengan pandangan dingin. "Apa itu artinya, kau tidak tahu?"
Cengkeraman di lehernya mengalungi ia dengan rasa sakit. Suara parau yang lirih berbatuk-batuk dengan tarikan napas pendek. Pelayan tua memegangi kerah bajunya dengan tangan pucat. Dingin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Meteor Garden [BakuDeku Ver.] *HIATUS
Fanfiction[Diadaptasi dari drama legendaris Meteor Garden] Midoriya Izuku, satu-satunya mahasiswa yang tidak berasal dari keluarga konglomerat di Tokyo International University. Kehidupan perkuliahannya penuh warna akibat kehadiran grup paling ternama di sana...