-4-

39 2 0
                                    

Ingat mengenai Kanaya yang sangat membatasi interaksinya dengan laki-laki?

Kanaya memiliki semacam 'radar bahaya' dalam alam bawah sadarnya. Karena ia langsung menarik tangannya menyadari ada tangan lain yang lebih besar, bergerak ke arah yang sama dengan tangannya. Tanpa memedulikan pemilik tangan itu, Kanaya berbalik untuk kemudian melihat tiang bercermin yang memantulkan sosok laki-laki dengan jaket biru langit.

Seakan memang mencari barang lain, Kanaya berjalan ke arah bagian makanan instan. Padahal dia paling tidak suka dengan makanan semacam itu. Hanya untuk menunggu laki-laki itu selesai, agar dia bisa kembali ke sana untuk mengambil kopinya.

Kopinya.

Sesaat, Kanaya tertawa sendiri mendengar pikirannya berbicara.

"Tumbenab lo ke bagian sini, Nay" pertanyaan Azura menyadarkan Kanaya dari lamunannya.  Kanaya melihat sekelilingnya dan menghela napas.

"Salah alamat. Sebentar," Kanaya kembali ke lorong tadi dan mengambil kopinya, lalu menyusul Azura yabg sudah berjalan ke kasir terlebih dahulu.

Sore itu Tyas mengantar Kanaya ke stasiun untuk mengikuti semifinal olimpiade. Setelah kurang lebih dua minggu disibukkan dengan persiapan, Kanaya lolos ke babak semifinal dan hari ini ia berangkat ke kota Bogor.

"Air minum sudah?"

"Sudah" jawab Kanaya tanpa menoleh ke Ibunya.

"Ibu bisa nganter kalau-"

"Udah gapapa, bu." biasanya juga begini tambahnya dalam hati.

Tyas menghela napas, khawatir. Ia mungkin terlihat cuek sebagai Ibu, tapi tentu ia khawatir dengan anak perempuan satu-satunya.

"Yaudah, masuk gih. Udah mau datang keretanya."

Kanaya menoleh ke Ibunya yang menatapnya dengan sorot mata yabg tak bisa ia artikan.

"Assalamu'alaikum, bu" pamit nya sambil memeluk Tyas.

"Wa'alaikumsalam, jaga kesehatan"

Kanaya melepas pelukannya dan masuk ke ruang tunggu setelah menunjukkan tiket pada petugas.  Senin dispen lagi, batinnya dalam hati sambil menghembuskan napas berat ketika ia sudah terduduk di dalam kereta sesuai nomor kursi.

Satu hal yang tak ia suka ketika pergi berkendara dengan kereta -atau kendaraan umum lainnya- tanpa ibunya. Dan-

"Permisi,"

Hal itu terjadi lagi, sore ini. Seorang lelaki duduk di sampingnya -yang sebelumnya sudah ia batasi dengan tas. Entah, dia tidak mengidap phobia, tapi benar benar radar bahaya sudah menancap di alam bawah sadarnya.

Ya, dia tidak suka jika ia pergi sendiri, ada laki-laki duduk di sampingnya -selain keluarganya, tentu saja. Tapi Ibunya tidak bisa ikut karena kakaknya yang kedua, Ryan, tengah sakit. Lagipula walaupun Ryan tidak sakit, Ibunya tidak akan ikut dengan alasan menemani Ryan.

Ibu dan anak laki-lakinya, hubungan yang sangat manis yang tidak bisa Kanaya keluhkan.

***

Hujan masih setia membasahi tanah sore itu, ketika ujian terakhir berakhir. Setelah berdo'a dan kelas dibubarkan, Kanaya berjlana ke arah kantin.

"Mau ke mana, Nay?" tanya Azura yang menyadari Kanaya menjauh.

"Ke kantin, laper gue." jawab Kanaya sekenanya. Memang, tadi pagi ia tak sempat sarapan. Tapi ia ingat masih sempat memakan roti siang tadi sebelum berangkat ujian.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 06, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

KanayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang