-0-

335 4 1
                                    

"Abis lulus SMA ini, kalian pada mau lanjut kemana?"

Saat itu mereka sedang merebahkan diri di atas hamparan karpet, menghadap langit malam dari atas rumah Kanaya saat Kanaya bertanya.

Azura menghembuskan nafas perlahan, "Gue sih pengennya lanjut ke Surabaya aja, ada kakak gue juga di sana," seraya memejamkan mata, Azura menjawab.

"Kakak atau kakak tuh? Apa bukan buat ngejar Kang Firman yang juga merantau ke Surabaya?" Kanaya menyenggol bahu Azura yang ada di sebelahnya. Azura tidak memedulikannya walau wajahnya memerah.

Kayla membelalakan matanya, "Iya ih. Serius lo? Jauh amaat. Ga ada yang bisa gue tebengin lagi dong. Gue mah di Bandung aja lah, ga kuat kalo pisah dari ortu,"

"Ya itu mah lo nya aja kali yang kelewat manja. Bayangin deh, hampir 18 tahun ini lo udah di Bandung. Dan saat kesempatan merantau tiba, lo tetep pilih Bandung? Like, seriously? Dunia lo terlalu sempit nanti," Aiza dengan mulut tajamnya.

"Ya gimana lagi? Titah si Mami, gue ga berani nolak. Takut kenapa-kenapa," Kayla sedikit meringis mengingat beberapa kali dia membantah perkataan Maminya dan berakhir dengan tidak baik.

Hening sejenak. Kanaya termenung mencerna jawaban temannya. Betapa ia tertinggal jauh dari teman-temannya yang tampaknya sudah merencanakan langkah hidup ke depannya –sedangkan ia bahkan tidak terpikir sedikitpun tentang ini sebelumnya. Miris.

"Gue mau kerja aja dulu, ngebantuin bisnis orangtua gue," ucapan Aiza membelah kesunyian yang sempat hadir. Air mukanya tampak sedih kala membahas keluarganya, namun bisa ia sembunyikan dan sambil bangun dari posisinya, dia menatap Kanaya, "Kalau lo, Nay?"

Sunyi kembali menepi. Kali ini lebih lama, sampai Kayla yang berada di sebelah Kanaya menyenggol bahunya, "Lo gak tidur, kan?"

"Gue.. Gue- Gak tahu,"

"Lo sih ga perlu khawatir laah, pasti dapet SNMPTN, kan? Kampus mana kemarin? ITB?" Kayla ikut bangun dari posisinya.

"Ngawur lo. Ga mungkin gue bisa lolos ke kampus terbaik di Bogor itu. Gatau deh, Kay. Gue ga pernah se-gak-yakin ini," Kanaya menghela nafasnya, "Rasanya kuliah terlalu berat.. Apa gue langsung nikah aja ya?"

"Hee itu mulut dijaga ya, dasar bocah. Baru tambah umur 17 tahun bulan kemarin, udah ngomong nikah-nikah aja. Emang udah ada calon lo?" Azura juga bangun, memelototi Kanaya. Memang, Kanaya yang paling muda di antara mereka.

"Ya belum, sih. Tapi ngebayangin kehidupan kuliah, belajar lagi, rasanya suntuk. Pengennya langsung nikah aja, kalau bisa sama yang udah mapan, jadi gue bisa leha-leha hehe," Kanaya nyengir tak bersalah. Dia bangun dan meregangkan tangannya. Memerhatikan teman-temannya yang sudah berpencar, membereskan tas masing-masing.

"Halah, nikah gimana. Deket cowok aja lo mulut lo mingkem terus,"

"Lo itu masih muda, jalan masih panjang, hidup butuh perjuangan, jangan pengennya males-malesan gitu ah,"

"Iya, hidup butuh perjuangan, kayak Azura yang ke Surabaya buat memperjuangkan Kang Firman gitu, ya?"

"Apaan deh lo. Udah ah gue balik. Mau move on kalian bahas si you-know-who mulu, bye,"

"Eh jangan tinggalin gue, Ra, nebeeeng. Duluan guys," Kayla dengan cepat mengejar Azura.

"Gue pulang ya?"

Kanaya membalikkan tubuhnya. Mengamati langit sendirian, "Hm," ia mengerti, suatu saat akan tiba masanya teman-temannya jauh dari jangkauannya. Ini hanya perpisahan kecil, sebelum-

"Kalo lo cape, bilang mama lo. Lo boleh istirahat, tentu. Tapi seenggaknya bilang sama ortu lo dulu. Jangan diem-diem minta dimengerti, lo tahu ga ada yang punya pikiran cenayang di sini," Aiza memeluknya, membuat Kanaya terkejut. Ia pikir sudah tidak ada orang lain selain dirinya.

"Kan ada lo, yang punya pikiran melebihi cenayang," balas Kanaya dengan cengengesan.

"Gak selamanya gue bisa di samping lo. Bertemu akan berpisah, entah untuk pertemuan selanjutnya atau berpisah yang sebenarnya. Gak ada yang bisa mastiin," Aiza meninggalkan Kanaya yang terpaku.

Dalam kesendirian, Kanaya berpikir lebih dalam, untuk pertama kalinya, tentang rencana hidup.

KanayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang